❤Rapor Merah Orang Tua♥️


Aku merasa seperti di neraka. Keberadaanku tidak diinginkan. Jika bisa memilih aku ingin menjadi anak orang lain. Aku benci mereka.

-Diary lembar ke 123

“Sepasang mata penuh ketakutan mengintip dari celah dinding peron. Mereka mulai mengendap dan berlari mencari mangsa. Dunia atas penuh dengan kesibukan, mereka seakan tidak peduli terhadap makhluk kotor yang kelaparan. Berbeda dari kebanyakan orang, sang pemilik toko roti menyadari keberadaan mereka. Berbekal sebilah kayu di tangan sang pemilik toko berjaga di pintu. Inilah perang yang sesungguhnya! Antara sekelompok tikus dan si tukang roti, menurutmu siapa yang menang?”

“Sekelompok tikus” –Tangan mungil itu membentuk bulatan menggunakan tangannya.-“Kalau sudah besar aku mau menjadi tikus seperti itu. jumlah mereka sangat banyak pasti menang.”

“Benarkah? Kenapa memilih tikus.”

“Kasihan mereka! Tikus hanya butuh makan kalau meminta kepada tukang roti pasti akan di beri dan tidak perlu dipukul. Bukankah kalau aku meminta makanan pada mama dengan sopan, mama akan memberikannya?” senyum memancar dari keduanya.

Naif, itulah yang terlintas dibenakku, bagaimana mungkin seorang anak sekitar usia empat tahun diceritakan cerita yang menjijikkan seperti itu. Semua orang sudah tahu kalau tikus adalah hama, mereka perusak dan harus dibasmi.  Mereka berbeda dengan manusia.

Sekilas kulihat wajah wanita yang membacakan cerita. Si anak masih setia dalam pelukannya. Mulut mungil itu sesekali membentuk moncong seperti mulut makhuk pengerat dalam cerita. Merasa diperhatikan wanita itu menoleh dan mengangguk.

“Cerita yang menarik!” kataku perlahan. Tatapan wanita berjilbab merah marun itu seperti dapat menembus pikiranku.

“Terlalu menghakimi orang lain membuat kita lupa siapa diri kita sebenarnya.”

“Apa maksudnya?”

“Saya berbicara tentang cerita saya, sebagai orang dewasa saya akan berpikir bahwa tikus itu seharusnya dibunuh saja. Tapi apa hak kita? Kita bukan yang menciptakannya. Terkadang anak memilki pandangan berbeda dalam menyikapinya.”

Aku hanya tertegun sesaat mencerna setiap kata yang ia lontarkan, “Sepertinya anda sangat berpengalaman dalam mengasuh anak.”

Pembicaraan berlanjut, kamipun berdiskusi mengenai perkembangan anak dan bahkan peristiwa yang hangat di kala itu. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang mengagumkan, berbekal pendidikan S2 ia membuka cakrawala pengetahuannya tanpa bersandar pada batasan profesi. Cerita tentang banyaknya peristiwa pemerkosaan, MBA (Maried Be Accident) dan peristiwa lainnya yang membuat bulu kuduk merinding dapat disikapinya dengan santai melalui penuturannya yang ringan namun terselip sebuah solusi yang realistis.

“Kesempatan itu akan ada jika kita mau lebih peka dan membuka diri. Tinggal diri kita memilih arah yang benar ataukah tersesat dan menyerah.” katanya sembari membersihkan kotoran yang melekat di celana anaknya.

Tidak berapa lama diberitahukan ada keterlambatan kereta, semua penumpang mendesah dan gelisah. Stasiun jadi semakin sesak, lantai menjadi tempat duduk gratis nan menyesakkan. Stasiun menjadi arena piknik dadakan. Tanpa terasa satu jam berlalu, sang anak sudah mulai bosan dan merengek, ia menempel pada ibunya. Aku hanya takjub pada sikap ibunya yang tetap tenang dan tidak pernah terlontar perkataan kasar yang membuat anaknya ketakutan.

Wanita itu pergi menjauh membelah kerumunan mengikuti langkah anaknya. Aku masih terdiam memandang bayangan mereka. Mataku terpejam sesaat sekedar meringankan rasa pusing yang akhir-akhir ini sering mendera.

Enam bulan sebelumnya

Seperti memasuki lorong gelap dan panjang, kuputar lembaran memori yang tersimpan dalam kapsul waktu. Pagi itu semuanya masih terasa baik-baik saja. Ayah pergi berjualan, anakku berpamitan ke sekolah dan aku menyusulnya untuk mengambil raport. Tidak seperti biasanya uang SPPnya belum terbayarkan selama tiga bulan. Tanpa berpikir panjang akupun melunasinya. Mungkin uang itu masih tersimpan dan ia lupa membayarkan, pikirku mencoba untuk berpikir positif.

Sepulang sekolah tidak kujumpai anakku, kamarnya rapi. Ada suatu kejanggalan, tidak biasanya. Rasa khawatir mulai mendera, kemanakah ia? Kuperhatikan kamarnya, entah berapa lama aku tidak masuk ke kamarnya. Semuanya telah berubah, dekorasinya telah ditata ulang sesuai seleranya. Saat mencoba berbalik menutup pintu, sesuatu terhampar di dekat pintu kamar mandi yang itu tidak lain adalah sebuah catatat kecil. Berwarna pink, bergambar artis muda dengan sunggingan senyum menawan.

“Anakku ternyata sudah memasuki dunia remaja.”

Rasa penasaran mulai hinggap di hati, godaan membukanya semakin besar hingga kusadari mata ini perlahan mengikuti deretan huruf di dalamnya. Di sana ia menuliskan tentang pacar dan kegiatannya di sekolah.

“Pacar?”

Selama ini aku tidak mengetahu ia pernah punya pacar.  Semakin ke belakang rasa penasaranku semakin membukit, “Inikah anakku?”, anak yang selama ini pendiam dan penurut bisa seperti ini? Lembar demi lembar kususuri perlahan hingga aku menemukannya, ia menuliskan tentang kami, kedua orang tuanya.

Membacanya membuatku semakin marah, tidak hanya marah tapi terluka dan kecewa. Apakah ini isi diary dari anak SMA? Anakku sendiri? Lembaran dimana tanggal hari ini tertera di depan mataku, tidak seperti lembaran lainnya ia hanya menuliskan:

Aku hanya ingin ayah yang mengambil raporku.

Kubaca kalimat itu berulang-ulang. Segitu burukkah kami dimatanya? Apakah dia tidak mengganggapku sebagai ibunya? Semua pertanyaan menghinggapi hati? Namun tidak satupun menemukan jawaban pasti. Kegundahan melanda. Sekejab semuanya terasa berbeda, ada rasa sakit di dada. Apakah ini semua karena kami? Bukankah kami sudah melakukan yang terbaik?

Semuanya terasa menyakitkan lebih menyakitkan daripada melihat nilai merah di rapor anakku. Kucoba memejamkan mata berharap semuanya akan lenyap saat aku membukanya kembali. Aku ingin kebahagiaan kami kembali seperti sebelumnya. Namun, semuanya tetap sama. Tidak ada yang berubah saat mata terbuka. Mengingat perkataan guru di sekolah membuat hatiku semakin goyah.

“Maaf, Ria belum membayar uang SPP dan iuran kelas. Apakah ada sesuatu? Akhir-akhir ini dia menjadi sosok pendiam. Nilainya semester ini menurun jauh daripada sebelumnya. Dia lebih senang menyendiri dan beberapa temannya melaporkan kalau dia terlihat beberapa kali bersama anak-anak yang bisa dikategorikan nakal. Kami sudah mencoba menasehati namun sepertinya tidak berhasil. Sudah dua kali ini kami mencoba mendatangkan orang tua ataupun keluarganya namun tidak ada yang datang. Semoga kedepannya ia menjadi lebih baik.”

Maghrib menjelang,malam merambat naik menunjukkan kuasannya akan kegelapan. Kabut menghinggapi hati kami. Kepulangannya bagaikan bom waktu, ia datang dengan senyuman. Kami tidak bisa membalas, hati sudah terlanjur sakit. Ayah tidak bisa mengontrol emosi, malam itu merupakan malam kelam dalam sejarah keluarga kami. Rumah menjadi medan pertempuran antara anak dan ayah. Rahasia hati mulai terkuak. Gelas melayang, buku berserakan dan pintupun terbanting keras.

Ia hanya terduduk di kursi, menunduk tanpa kata. Aku melihatnya, ia bergetar, gigi menggigit bibir. Perlahan ia mengangkat wajahnya, telaga itu menyayat hati. Kenapa aku tidak melihatnya selama ini?

“Apakah sudah selesai?” Ia berdiri seolah tidak terjadi sesuatupun. Kami terhenyak.

“Apakah ini balasanmu? Katakan sesuatu!” Ayah seperti tersulut emosi, ia menggebrak meja hingga semua yang diatasnya ikut bergetar.

“Seandainya aku tidak dilahirkan aku juga tidak menyesal, lebih baik seperti itu!”

Perdebatan tidak dapat dihindarkan, hingga ia berdiri dan berlalu ke kamar. Sebelum pintu pemisah diantara kami tertutup ia mengatakan sesuatu yang kurasakan seperti sebuah godam yang menghantam kepalaku.

“Kakak, semua ini karenanya. Hanya dialah anak kalian!”

Apa? siapakah yang berbicara dihadapanku saat ini? Aku seperti mengenalnya padahal sebaliknya. Saat itu juga baru kusadari ternyata aku hanya berpura pura semua baik-baik saja. Tidak ada yang tersisa, semuanya terluka. Kubuka lagi lembar demi lembar tulisan anakku. Kucoba memaknai setiap curahahan hatinya. Dia sangat merindukan kami. Mataku meleleh.

Kutelusuri lagi lorong waktu mencoba menemukan dimana titik kecacatan yang kami tanam. Kami memiliki dua orang anak. Aya lahir setahun setelah pernikahan kami. Kami memberikannya curahan kasih sayang. Kedekatan diantara kami membentuk jaring kasih sayang yang tak kasat mata. Ia menjadi seorang anak yang penuh energik dan sangat pandai dalam pelajaran sekolah, sekali belajar ia dapat dengan cepat menguasainya. Ia penurut dan tidak terlalu banyak bicara.

Berbeda dengan Aya, Ria hadir empat tahun kemudian disaat kami mulai kesulitan ekonomi. Kebutuhan hidup memaksaku lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Ia memang anak yang tidak rewel dan mudah beradaptasi.Tidak jarang ia diasuh orang lain karena kesibukan kami. Perilaku Aya sebagai kakak membantuku mengawasi Ria.

Ria tumbuh sebagai anak yang senang berbicara namun pemahamannya tentang pelajaran lebih lamban. Ria memang kelewat energik hingga terkadang ia menguras tenaga kami. Ia memang sangat menyukai seni namun kami sebagai orang tua kurang menyukainya.Doktrin kepintaran dilihat dari nilai masih kami anut. Menurut kami itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan jaminan. Sekolah merupakan harga mutlhak. Berhadapan dengan kerasnya Ria, tanpa disadari membuat kami memberikan hukuman fisik yang selama ini tidak pernah diterima Aya.

Suatu hari, kepergian Aya yang secara tidak terduga menggoyahkan segalanya. Rumah menjadi lebih dingin, senyum memudar. Sebagai orang tua kami masih sulit menerima namun Ria berbeda, ia bersikap seperti biasa dan menurutku itu sangat membantu. Bahkan ia terlihat lebih rajin daripada biasanya. Nilainya semakin menanjak dan ia tidak pernah mengeluh.

Tiga tahun berselang, rumah kami mulai beradaptasi dengan tawa. Kehidupan ekonomi semakin meningkat. Pekerjaan ku sebagai trainer pendidikan mulai memperoleh celah, bahkan predikat trainer terbaik di wilayah lokal pernah kusandang. Bisnis ayahpun demikian, usahanya semakin berkembang. Mobil sudah di garasi, rumah sederhana menjadi kokoh dan tanah semakin luas. Bahkan untuk urusan rumah tangga terkadang kami dibantu Mbok Ijah. Kami merasa lega dapat beristirahat sejenak menikmati semua jerih payah kami selama ini.

Kebahagian semu telah membutakan mata kami. Ternyata semuanya hanyalah ilusi sesaat, hanya kamilah yang merasa lebih baik bukan anak kami. Sesaat aku teringat perkataan wanita tadi,“Terlalu menghakimi orang lain membuat kita lupa siapa diri kita sebenarnya.”

“Benarkah itu yang kulakukan?”

Jika diingatpun aku tidak pernah menanyakan apakah ada yang ia sukai? Bagaimana harinya di sekolah? Pertanyaanku pasti seputar nilai sekolahnya. Kalau dibawah standar maka les tambahanpun rela kubayar. Dan tentang pergaulannya? Aku bahkan tidak memiliki nomor handphonetemannya sekalipun. Aku benar-benar buta akan dunia anakku.

Pertanyaannya, sejak kapan?

Suara lengkingan kereta menarikku ke sebuah dimensi waktu yang sebenarnya. Terhuyung kumencari tempat duduk. Setidaknya bersandar pada kaca membuatku sedikit bernapas lega. Beberapa jam lagi aku akan bertemu dengannya, dengan anakku yang sudah terpisah lebih dari enam purnama.

Terpaan badai cobaan masih berlanjut sejak saat itu, anakku mencoba praktek aborsi hingga mengancam nyawanya. Tanpa sepengetahuan kami ia hamil hasil hubungannya dengan sang pacar. Uang bulanan yang kami berikan ia gunakan untuk mengakhiri hidup darah dagingnya. Percobaan bunuh diri yang hanya diketahui oleh Bi Ijah menjadi sebuah rahasia besar dalam keluarga.

Pikiran akan kehormatan keluarga membuat kami seakan tidak percaya pada hamparan kenyataan di hadapan kami. Aku yang seorang trainer teladan ternyata gagal dalam mendidik anak, dan ayah yang notabene adalah orang terhormat di daerah kami pasti akan kehilangan semuanya saat lembaran ini terbuka. Dilihat dari sisi manapun kami telah kehilangan semuanya.

Jika dilihat dari nilai rapor sekolah, perbaikan dapat dilakukan. Kalau seperti ini bagaimana kami bisa mengembalikan kebahagiaan anak kami? Dapatkah kami mengubah nilai kehidupannya? Hanya ialah satu-satunya yang tersisa. Kami tidak menyadarinya hingga hari itu, dimana roda kehidupan membuat kami berada di posisi terbawah.

Hidup mati anak kami berada di ujung tanduk.Tangisnya meremukkan hati, kata maafnya menyayat telinga ini. Melihatnya berbaring di ranjang tidak berdaya membuat kami saling menyalahkan. Dan akhirnya semuanya kembali ke ibu! Ibulah yang disalahkan di saat seperti ini.

Entah bagaimana kami harus bersikap, mulut lebih banyak terkunci. Hanya doa dan tangis jawabannya. Menyesal? Sudah tidak berguna. Menyalahkannya? sangat tidak adil. Lalu apa yang bisa kami lakukan? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kehidupan keluarga kami sudah berakhir. Kehormatan telah hilang bahkan semangat hidup terkikis hingga di ujung tebing.

Dalam sujud malam aku sebagai ibu hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Jika berkaca sebelumnya ini adalah sujud malam pertama sejak aku kehilangan Aya. Inikah tandaNya? Kami tidak melupakan anak kami semata tapi kami juga melupakanNya sehingga Allahpun cemburu. Ya, sangat cemburu!

Kami sebagai orang tua telah gagal menjaga. Perlahan kami menyadari tidak perlu mencari dalih menyalahkan orang lain. Inilah tanggung jawab kami. Yang bisa kami lakukan hanyalah setia mendampinginya untuk bersiaga menghadapi bahaya kehidupan yang lebih besar. Kalau bukan kami siapa lagi? Disaat kami tertatih dan mendekati titik nol hanya Allah tempat kembali dan mencari pertolongan .

Kepergian Ria tidak dapat dihindarkan. Selain untuk pemulihannya ia mempunyai semangat melanjutkan kuliahnya di kota lain. Kami berat melepaskannya namun inilah jalan terbaik. membiarkannya dalam asuhan orang lain membuatku semakin tersiksa namun inilah hidup. Segala sesuatunya berbayar. Mengembalikan kepercayaan dirinya dalam lingkungan dan keluarga baru seakan memberikan pelita harapan. Ia masih ada kesempatan untuk terus melanjutkan kehidupannya. Realita akan semakin keras padanya. Kami harus bisa menjaganya kali ini!

Kesunyian membuat kami lebih banyak waktu berpikir. Perlahan kami mencoba mulai berbenah diri, Ayah menjadi lebih lunak. Walau hanya sekata ia mulai memberanikan diri berbicara dengan Ria di telepon. Ia memperbaiki intensitas pertemuan dengan Ilahi. Akupun juga sama, aku berusaha membangun kepercayaan dari Ria dan Sang Pemberi Maaf.

Setiap waktu kucoba memberitahuakn segala perasaanku padanya. Pesanku tidaklah istimewa, namun aku tetap berusaha untuk mengirimnya setiap minggu. Aku tidak mau menggunakan handphone karena aku ingin dekat dengan caraku. Ria memang senang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan seni. Berbekal belajar dari internet akupun mempelajari origami. Hingga kertas yang kubuatpun beraneka ragam bentuknya. Satu bungkus Origami dikamarku telah habis, pertanda sudah berpuluh bahkan beratus kertas kugunakan untuk bisa berkomunikasi dengannya. Entah kapan semua ini akan membuahkan hasil setidaknya kami tidak mau menyesal untuk kedua kalinya karena kehilangan anak kami.

Priiiit…

Kupegang erat kertas berwarna-warni dalam genggaman. Deritan rel meninggalkan siluet stasiun dalam balutan sinar keemasan. Sesaat bayangan wanita itu tertangkap mata. Ada sesal di dada, kenapa aku tidak menanyakan namanya?

Surabaya, 29 Oktober 2012

Related Posts

One thought on “❤Rapor Merah Orang Tua♥️

  1. urveillez votre téléphone de n’importe où et voyez ce qui se passe sur le téléphone cible. Vous serez en mesure de surveiller et de stocker des journaux d’appels, des messages, des activités sociales, des images, des vidéos, WhatsApp et plus. Surveillance en temps réel des téléphones, aucune connaissance technique n’est requise, aucune racine n’est requise.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *