Kenalan dengan AHT
Yuk berkenalan dengan A Home Team (AHT). Keluarga A. istilah yang dipakai untuk membentuk versi keluarga terbaik bagi kita. Cerminan yang dipakai diri sendiri. Bukan tetangga, saudara, teman apalagi orang tua. Diharapkan, dengan berada di circle A membuat saya bisa menerima dan menularkan energi positif. Tentunya hal ini berdampak di keluarga saya.
Sebagai ibu, saya ingin membangun rumah yang nyaman untuk anak. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat berpulang yang dirindukan. Rumah juga menjadi tempat saya belajar. Pun rumah menjadi sarana komunikasi saya, suami dan anak-anak.
Sebagai pribadi yang juga terbentuk dari sebuah rumah. Saya ingin membangun rumah yang layak untuk keluarga saya. Saya tidak ingin pengalaman pahit menjadi warisan. Tidak sepenuhnya buruk, tetapi pengalaman di rumah saya dulu lebih banyak yang ingin dilupakan. Karena itulah saya tertarik dengan AHT ini.
Sebagai seorang anak, rumah yang diciptakan orang tua dulu, bisa dikatakan “panas”. Cek cok sering terjadi. Pertengkaran menjadi makanan harian. Pun kalau ada yang emosi, saya dan adik sering jadi pelampian. kami pun lebih memilih bersembunyi. Semua itu berasa hingga saya beranjak SMA. jadilh, saya bertekad untuk keluar rumah, bagaimanapun caranya. Alhamdulillah jalan itu terbuka, saya kuliah di luar kota. Saya pun akhirnya berpisah dari orang tua, rumah, serta kenangan masa kecil.
Titik Awal AHT Versiku
Perasaan bahagia ketika menikah dan menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) tak sepenuhnya bertahan utuh. IRT menjadi pilihan setelah diskusi panjang dengan suami. Di awal waktu, saya merasa di rumah itu mudah. Aktivitas sudah berjalan sesuai rutinitas, tak perlu repot berhubungan dengan banyak orang dan juga semua tinggal minta suami. Ah, gampanglah mengurus suami dan anak.
Kenyataannya, tidak semudah itu Ferguso! Ada perasaan kecewa tatkala kita melakukan sesuatu, tetapi tak dihargai. IRT tak menghasilkan uang. Sebagian besar ya! Sisi kepercayaan diri saya tersenggol. Dulu, saya bisa mandiri. Sekarang? Harus bergantung pada suami. Rasanya serba tak enak dan serba salah.
Rutinitas monoton itu juga ternyata membuat saya stres. Di saat itulah, saya selalu mendambakan anak. Adanya anak diharapkan mampu meningkatkan mood keluarga, khususnya bagi saya. Doa pun kencang terucap dari bibir dan hati ini.
Ternyata, semakin kita mendapat banyak hal, ujian juga turut menyertainya. dari awal, saya ingin momen kebahagiaan ketika menikah, hamil hingga melahirkan anak pertama (laki-laki) bisa terjaga hingga akhir hayat. Allah membuat anak kami menjadi salah satu cobaan hidup. Kehadiran anak justru membuat saya harus banyak berpikir dan berlatih sabar. Pun ketika saya mendengar diagnosis ADHD pada si sulung.
Pernyataan kenapa harus keluarga kami, selalu saya enyahkan. Memang sulit tetapi otak harus dilatih untuk menerima tanpa menyalahkan orang lain. Seiring berjalannya waktu, hal itu tetap saya syukuri. Walau di jalan selalu ada halangan, saya masih selalu berusaha untuk bersyukur atas nikmat Allah pada keluarga kecil saya.
Daya Tarik AHT


Circle A Eksklusif. Begitulah pelatihan yang saya rasakan. Lebih intens. Hanya bertiga, saya, Mbak Nina dan Mbak Voe. Bersama mentor Mbak Ayiek dan Mbak Atina, kami menggali tentang potensi yang ada dalam keluarga. Kami berlima, di hari Sabtu bertepatan di awal Februari menjalani pelatihan di daerah Bantul dengan mindfullnes.s
Saung Bahagia nama circle yang sejatinya ide dari Mbak Ayiek tanpa adanya penolakan atau penentangan. Memang sebahagia itu saat mengikuti pelatihan ini. Kegiatan selama dua jam rasanya kurang. Diskusi tentang keluarga itu ternyata menyenangkan. Anak dianggap keberkahan bukan gangguan. Walau dari kami bertiga termasuk saya membawa bayi, suasana tetap berjalan penuh hikmat dan menyenangkan.
Sesi 1, secara runut, kami diajak untuk mengenali keluarga inti. Sudahkah kita mengenal mereka? Masing-masing tanpa adanya penghakiman ataukah prasangka. Sudahkah kita menerima mereka secara terbuka? Disinilah saya merasa tersentil. Ketika fokus saya ke arah negatif si sulung, sejatinya secara sadar atau tidak sisi positifnya justru tersingkir. Jadilah hubungan kami semakin jauh.
Saya kembali refleksi. Dalam keluarga saya, terdapat saya, suami, Hakim (8 tahun) dan Hanna (1,6 tahun). Pribadi masing-masing yang saya kenali, semua berasal dari PoV saya. Belum ada diskusi keluarga tentang semua ini. Di sanalah kami memulainya saat suami pulang nanti. Pun saya menulis kembali kebahagiaan bersama anggota keluarga masing-masing. (Plan 1)
Refkeksi sudah. Saatnya memperbaharui komitmen diri. Pun untuk membuat perubahan, sebagai ibu/ istri yang sekaligus manajer keluarga, saya harus upgrade kemampuan dan kemauan. Sayangnya hal ini terlupa karena rutinitas.
Saya memulai lagi dari nol. Saya kembali menyentuh sisi welas kasih sebagai ibu. Alasan ikut training karena berada di titik terendah saat membersamai anak. Mengakui semua itu bukanlah hal tabu. Saya punya batas, di titik inilah saya perlu refleksi diri dan menata kembali visis misi hidup. Di mana hal yang bisa diperbaiki, dihentikan ataukah dikembangkan.
Pun saya juga diajarkan perihal komitmen dalam pelatihan. Saya berusaha untuk meluangkan waktu, menabung jika ada pelatihan lagi serta menjaga komunikasi dengan suami. Bersamanya, saya berusaha membangun pondasi keluarga yang kuat dan kokoh.

Sesi 2, lebih memaknai keluarga sebagai tim. Tidak hanya kerumunan dari sekumpulan anak-anak dengan orang dewasa. Keluarga tidak sesempit itu. Keluarga A perlu ditata dan dikondisikan. Karena itulah, di dalamnya perlu tujuan, tata nilai, koordinasi dan komunikasi. Kami juga perlu belajar menjalankan peran secara optimal dan terarah.
Oleh-oleh dari AHT
Recharge tangki syukur saya semakin tumbuh setelah ada sesi sharing. Penerimaan saya selama ini masih belum optimal. Anak sebagai berkah dan hadiah Allah ataukah anak hasil ekspektasi. Nyatanya, ekspektasi pada si sulung, melemahkan rasa syukur saya. Perlu adanya perencanaan dan pembicaraan lanjut bersama keluarga.
Dari cerita Mbak Nina saya semakin tersadar akan peran seorang ibu yang memang perlu dibenahi. Rasa Lelah saya bukan alasan untuk semakin jauh dengan si sulung. Kelemahan saya bukan alasan untuk membuat si sulung merasa tersingkirkan. Apalagi sampai membuatnya jadi beban hidup.
Saya belum menjadi ibu yang mampu memberikan kasih sayang secara utuh pada anak. Perasaan untuk menjauh dan menolak kehadirannya mulai tumbuh. Saya takut perasaan itu akan menguat dan membuat saya semakin menjauh dari Hakim.
Saya kembali meminta maaf pada si sulung. Selama ini, bukan hanya dia yang perlu diterapi, sayalah yang sejatinya perlu berbenah untuk mengeratkan kembali hubungan kami.
Dari Mbak Atina saya belajar sekaligus bersyukur akan apa yang orang tua berikan. Memang tidak semuanya sesuai keinginan. Disitulah saya belajar survive dengan kemampuan sendiri. Tidak ada yang gratis. Sejak kecil saya diajarkan untuk bisa mendapatkan segala sesuatu diutamakan dari hasil keringat sendiri. Pun dalam hal uang ataukah barang.
Rasa yang awalnya kekecewaan karena diperlakukan keras ternyata salah satu cara mereka menyayangi saya. Tanpa sadar karakter ini membawa saya hingga sekarang.
Orang tua yang terlanjur menuruti segala keinginan anak justru membuat kepribadian dan pendirian anak melemah. Ia akan justru bergatung pada orang lain. Sulit bertahan hidup di kala sendiri.
Mbak Atina
Mbak Ayiek mengajarkan saya untuk bisa menjaga hubungan dengan keluarga. Salah satunya dengan menjaga dan menumbuhkan budaya keterbukaan. Komunikasi terbuka mulai dibiasakan. Orang tua tidak mengekang anak, anak pun bebas menyampaikan aspirasi. Segala sesuatu disikusikan. Anak dan orang tua saling tahu kebutuhan dan keinginan masing-masing.
Wow, di sesi 1 dan 2 AHT yang dipelopori Ibu Septi Peni Wulandani sebagai pendiri Ibu Profesional daging semua. Tidak sabar mengikuti sesi selanjutnya di tanggal 8 Februari 2025 di waktu dan tempat yang sama.