Aku “Bangga” Menjadi Koruptor

“Bu, aku ingin menjadi koruptor”, ungkapan jujur dari seorang anak menunjukkan betapa memilukannya masa depan generasi muda Indonesia. Anak-anak tidak hanya melihat ataupun mendengar tetapi mereka adalah peniru dan cerminan dari pendahulunya

 

Inikah Indonesia Yang Kita Impikan?


Istilah korupsi cukup populer dan menjadi trending topicdi setiap waktu dan selalu ditayangkan dalam berita. Inilah namanya penyakit yang meluas dan menjadi wabah, walau telah dicoba untuk diberantas namun tetap berkembang. Korupsi dapat terjadi karena lemahnya iman dan mental, ada kesempatan, kerapuhan sistem serta lemahnya penegakan hukum. Berbicara memang mudah namun saat menghadapi uang di depan mata, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Pemikiran dan kepentingan setiap orag berbeda, sehingga ini menjadi celah untuk memasukkan generasi kita ke lingkaran korupsi.


Koruptor, para pelaku korupsi ini bukanlah orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pandai namun miskin hati. Kepintaran mereka terlihat dari sistematika korupsi yang terjadi di Indonesia. Dimana, korupsi ini bukan hanya pada satu tingkat tertentu saja, akan tetapi korupsi ini sudah merambah, merajalela dan merasuki semua lini kehidupan. Korupsi bisa terjadi dimana saja, di pemerintahan, sekolah, perusahaan ataupun rumah. Sistem secara kecil ataupun besar telah diintai oleh koruptor. Bila diibaratkan air dan pohon, korupsi air, dan sistem di Indonesia adalah pohonnya. Air telah menyebar keseluruh bagian pohon bahkan ke pohon tetangga. Sehingga pencegahan dan pemberantasannyapun memerlukan langkah-langkah sistemik dan komprehensif.


Praktek korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, Indonesia bahkan pernah mengukir prestasi sebagai “Negara Terkorup Di Dunia.” Aneka lembaga penegak hukum di Indonesia terbukti belum mampu memberantas korupsi. Seperti kita tahu, bahwa sebagian aparat penegak hukum juga ikut “bermain dan menikmati” korupsi. Kakek Oce kaligis yang notabene adalah pengacara senior justru menjadi tonggak bagi para koruptor lainnya. Kita tidak tahu berapa banyak lagi aparat yang sudah ikut dalam pusaran korupsi. Namun, bisa dipastikan tidaklah sedikit. Itu hanyalah satu kasus, bagaimana dengan kasus lainnya? Jadi mana mungkin sapu yang kotor bisa untuk membersihkan lantai?


Kita sebagai orang dewasa harus lebih waspada pada dunia anak-anak, sulit mendeteksi pemikiran ataupu interpretasi mereka atas apa yang telah terjadi. Perbedaan latar belakang menyebabkan pola pikir merekapun berubah. Anak yang setiap hari terpapar akan  mengenai korupsi berbeda dengan mereka yang dididik dalam lingkungan sosialis dan beragama. Seorang anak dididik untuk menghargai waktu berbeda pemikirannya dengan anak yang suka korupsi waktu. Begitu juga dengan anak yang dari kecil dididik untuk menjadi jujur memiliki pola piikir berbeda saat mereka diharuskan untuk berbohong.


Anak-anak memenuhi dunia mereka dengan mimpi dan imajinasi yang diaplikasikan ketika mereka telah beranjak dewasa ataupun ketika mereka dewasa. Dari dunia anak-anaklah semuanya dimulai, karena itu kualitas pengajaran dan pendidikan anak-anak akan menjadi tonggak saat mereka dewasa. Pengembangan pemikiran dalam menghadapi era modern yang penuh dengan tantangan harus dipersiapkan sejak anak-anak. Jangan sampai mereka terlena akan angan dan impian namun terhempas dan jatuh saat menghadapi realita yang sebenarnya.


Masa Depan Mereka Tanggung Jawab Siapa?

            Gambaran Indonesia saat ini sangat menakutkan, seandainya ditanya siapakah yang memulai? Adakah yang bisa menjawab. Tidak ada yang tahu darimana budaya ini telah mengakar dan terbentuk di negara kita. Ketika melihat ke atas, pemimpin kita belum cukup mampu untuk dijadikan panutan dan saat kita melihat ke bawah, dimanakah posisi kita? Apakah kita cukup mampu memberi pengaruh kepada generasi kita?


Hidup tidak semanis madu dan tak sepahit biji mahoni. Semuanya dapat terjadi dalam hidup, itulah yang terjadi saat ini. Disaat pemerintah gencar-gencarnya melakukan program pembangunan justru disisi lain generasi kita menjadi lemah dan rusak. Hal ini terjadi karena adanya efek dari berbagai aspek kehidupan, antara lain: sosial, kepentingan politik dan lainnya. Keselarasan dalam memaknai aspek tersebut dan pengaplikasiannya dalam realita belum didapatkan antara masyarakat dengan pemerintah. Prinsip peraturan dibuat untuk dilanggar masih digunakan.


Salah satu aspek mendasar yang tidak dapat dipungkiri adalah mengenai perubahan peradaban. Tantangan akan kecanggihan jaman tidak dapat ditolak. Media menjadi salah satu pemegang peranan penting yang harus diperhitungkan. Media telah banyak berkembang dari era kuno ke era modern. Kesalahan dalam penggunaan kecanggihan media informasi memiliki efek besar dalam kehidupan. Misal, dengan adanya penyalahgunaan informasi yang disampaikan oleh media dapat merusak memori generasi kita.


Kehidupan koruptor diekspos, hukuman dijalankan dalam kemewahan, uang mengalir ke saku mereka dan ketenaran didapat. Hukuman sosial yang diterapkan belum mampu menahan gejolak korupsi ini, terlebih melalui aparat hukum. Istilah hukum dapat dibelipun bukan hal tabu lagi untuk dibicarakan. Anak-anak melihat dan mengamati apa yang terjadi, termasuk berita yang ditayangkan di TV. Pemikiran mereka yang seharusnya diisi oleh impian kini tergantikan oleh angan dan akal licik. Terlebih disaat sulit seperti ini, uang adalah raja.
           

Pernah suatu kali, ada materi dalam pembelajaran tentang mimpi di masa mendatang. Hasil yang didapat sangat mengejutkan. “Bu, aku ingin menjadi koruptor”, ungkapan jujur dari seorang anak menunjukkan betapa memilukannya masa depan generasi muda Indonesia. Anak-anak tidak hanya melihat ataupun mendengar tetapi mereka adalah peniru dan cerminan dari pendahulunya. Saat ditanya mengenai alsan adalah karena uang dan mereka lebih tenar daripada selebritis bahkan tetap dihormati oleh masyarakat. Di lain waktu, mereka masih bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah ataupun jabatan penting lainnya.


Anak-anakpun mampu menilai apa yang terjadi, menganggap koruptor sebagai cita-cita baru merupakan sebuah kemunduran. Hal ini tidak terjadi pada satu anak tapi lebih, kalau seandainya mereka yang akan menjadi pemimpin, apa yang terjadi pada negara kita? Miris memang, inilah realita.


Korupsi sudah menjadi pekerjaan baru dan kebanggaan bagi sebagian orang. Hidup terus berjalan, estafet kepemimpinan akan berlanjut hingga kita tidak tahu dimana titik jenuh kita. Mempersiapkan calon pemimpin dan penerus bangsa sedini mungkin adalah hal yang masuk akal. Semua perlu regenerasi, untuk itulah perbaikan perlu dilakukan. Sekolah yang notabene dijadikan tempat untuk mengajar dan mendidik menjadi tumpuan untuk memberikan solusi dalam permasalahan ini. Melihat betapa seriusnya masalah ini, dapatkah sekolah melakukannya?


“Sekolah” Sarana Penyelamat Masa Depan

Masalah korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat. Upaya secara aktif yang dilaksanakan  berkesinambungan, konsekuen, dan konsisten harus mulai dilancarkan. Namun karena fenomena ini sudah mendarah daging maka sulit untuk diberantas. Perlu keberanian untuk memulainya.


Bukankah mencegah itu lebih baik dari pada mengobati, hal itulah yang perlu digalakkan. Terutama di lingkungan sekolah dimana sekolah merupakan tempat utama generasi kita mulai membangun karakternya. Secara sistematis pendidikan karakter di negara kita harus dikembangkan, mulai dari play group, TK, SD, SMP, SMA/SMK bahkan perguruan tinggi sekalipun harus tetap ada dan berlanjut. Jika diperlukan, kehidupan sosial dan beragamapun mulai diterapkan dan menjadi aturan institusi pendidikan.


Penanaman karakter di sekolah tidak semudah membalikkan tangan, ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan, antara lain: guru, sistem di sekolah itu dan hubungan sekolah dengan orang tua ataupun masyarakat. Keselarasan dan keseimbangan diantara unsur itu akan mampu membentuk suatu sistem yang mampu membentuk karakter generasi kita sesuai visi-misi yang diinginkan. Belum ada sekolah ideal di Indonesia, tapi untuk memulainya tidak ada yang salah.


Sekolah yang baik merupakan sekolah yang mau mengenali peserta didiknya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melalui guru. Guru tidak hanya mengajarkan materi tapi juga melakukan pendekatan psikologi pada mereka. Kedekatan peran guru dengan siswa perlu terjalin untuk membentuk sebuah kepercayaan. Guru harus mampu membagi perannya, disaat yang sama ia harus mampu menjadi pengganti peran orang tua, teman bahkan kakak bagi muridnya.


Guru merupakan pembimbing, panutan sekaligus teman saat di sekolah. Selama ini guru dan murid merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun dalam penerapannya tidak selaras dengan maknanya. Guru harus dihormati dan diperlakukan istimewa ketika salah dibiarkan dan semua perilakukanya dibenarkan serta dimaklumi. Namun saat murid salah guru bisa langsung menghakimi dan menghukumnya tanpa memedulikan alasan murid.


Murid seharusnya cerminan dari gurunya, sebelum menjadi guru seharusnya ada tahapan yang harus dilewati yaitu sekolah akhlak. Saat guru berbuat baik dan setiap hari maka tanpa dihukum ataupun dikomandu muridpun akan mengkuti dan meneladaninya. Tapi jika kita hanya berpura-pura menjadi guru teladan maka jangan salahkan murid kalau mereka nantinya akan melakukan hal yang sama ketika besar.


Guru teladan tanpa adanya sistem pendukung dari sekolah tidak akan berjalan. Dalam kehidupan sekolah rasa kepedulian, tanggung jawab, menghormati dan beragama sesuai dengan Pancasila harus diterapkan. Memajang di gerbang sekolah tanpa adanya penerapan dari sekolah tidak akan membawa perubahan.  Disisi lain, sekolah yang mampu menerapkan disiplin dengan tetap memperhatikan privasi siswanya sebagai bagian dari sekolah akan mampu mengikat hati para anak didiknya. Kesepakatan antar warga sekolah menumbuhkan rasa nyaman dan memiliki yang dapat mereka gunakan sebagai barier dalam mengatasi masalah.


Sesuai dengan tujuan pendiriannya, sekolah merupakan tempat pijakan generasi kita untuk mengenali jati diri mereka sendiri. Sekolah tidak hanya tempat mereka untuk memperoleh materi akademik, namun agama, sosial dan pola pikir juga didapat. Sekolah merupakan benteng selanjutnya saat benteng rumah dalam meningkatkan wawasan mereka mengalami gangguan. Sekolah juga tempat mereka mendapatkan kasih sayang, kepercayaan dan tanggung jawab. Saat semua itu tidak didapat dari sekolah maka jangan heran kalau generasi kita memiliki jiwa “tempe”,saat pagi enak dimakan tapi kalau siang atau malam tidak tahu apa yang terjadi.


Keterlibatan orang tua adalah dalam hal menyimak lingkup sekolah juga diperlukan antara lain karena peraturan sekolah yang terlalu keras atau terlalu lunak. Selain itu, komunikasi antara guru ,kepala sekolah, siswa dan orang tua siswa harus lebih intens. Dari kondisi ini, suasana sekolah tidak lagi monoton tapi sesuai dengan kebutuhan warga didalamnya. Dengan demikian karakter anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya.


Seseorang yang melakukan korupsi pasti memulainyapun dari hal kecil, untuk itulah kita perlu menanggulanginya sejak awal. Sebagai orang berilmu, kita jangan bertingkah sebagai orang “tahu” padahal kita tidak paham. Jangan mengubah sekolah menjadi neraka, jadikan sekolah menjadi rumah kedua mereka. Saatnya untuk saling berbenah, coba untuk mulai mengenal dan dekat dengan mereka. Selamatkan generasi kita, bagaimanapun mereka adalah penerus perjuangan Bangsa Indonesia.

Salam sayang dari keluarga D.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *