Menanamkan Rasa Malu pada Anak Sejak Usia Dini

“Bocah sakiki ndak duwe isin!”

Rasa malu kian terkikis seiring perkembangan zaman, itulah guyonan yang sering terlontar dari mulut Bapak. Dulu, saya tidak terlalu peduli akan semua ini. Nyatanya, kasus anak membunuh orang tuanya kian marak. Pencurian merajalela dan menjadi momok yang tidak pernah habis. Ah, kenapa kita terlalu memikirkan sesuatu yang jauh.

Setidaknya kita merefleksikan diri,  apakah urat malu itu masih menempati hati dan pikiran?

Selama ini, pernahkan kita memerhatikan kebiasaan anak laki-laki yang terbiasa pipis sembarangan? Entah di dekat pohon, lapangan terbuka, ataukah di sungai tanpa merasa risih akan segala sesuatu yang terjadi di sekitanya? Atau pernahkan kita meihat anak perempuan hanya mengenakan celana dalam dan kaos dalam berlarian lepas di halaman rumah?

Berkaca pada diri sendiri memang sulit, tetapi demi anak kita perlu melakukannya. Agar anak dapat mengenal rasa malu, yuk kita mulai mengenalkannya di rumah. Bagaimana caranya?

Mengenal Emosi

Emosi merupakan sesuatu yang mendorong untuk sesuatu. Misal anak merasa sedih, maka ia akan menangis. Emosi yang dimiliki manusia memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri, tidak hanya berdiri sendiri, kadang emosi bisa melebur dan dirasakan di saat bersamaan.

Pernahkah kita gagal dalam ujian sekolah? Bagaimana rasanya?

Melalui
Melalui permainan anak lebih mudah belajar tentang emosinya.

Tentu saja ada perasaan marah, kenapa bisa gagal sewaktu kita sudah belajar dengan giat. Ada perasaan sedih juga, bila teringat akan pejuangan oang tua dalam menari nafkah. Kadang disertai kebahagiaan karena dapat mengulang. Namun, terselip juga rasa malu karena kita dianggap sebagai murid berpestasi.

Nah, pahamkan kalau emosi itu bisa berupa hal negatif ataukah positif?

Sekarang bagaimana dengan anak kita? Apakah mereka juga mempunyai emosi? Tentu saja mereka punya, walau belum mengetahui atau memberi nama emosi yang dialami, secara naluriah tubuh dan sikap mereka akan menunjukkannya.

Perkembangan Emosi Anak

Perkembangan emosi pada anak berjalan seiring dengan betambahnya usia, untuk itu diperlukan kepekaan dan juga perhatian dari orang terdekatnya.

  1. Usia 18 bulan sampai 3 tahun

Tahun petama anak lebih banyak belajar dari pembiasaan orang tedekatnya. Pun dengan tahun kedua. Ketika mereka memasuki usia tiga tahun, kata mulai keluar dari mulut. Sayangnya, mereka memiliki keterbatasan dalam merangkai, untuk itu perlu dikenalkan dengan emosi yang terjadi. Semisal anak tidak mendapatkan mainan, ia melempar barang. Di saat itulah kita mengenalkan emosi marah.

“Apa yang kakak rasakan itu namanya marah. Bukannya melempar barang sebaiknya kakak katakan kalau kakak marah. Maaf, ibu belum mempunyai uang, minggu depan kalau Bapak sudah pulang ya.”

Melalui percakapan seperti ini, anak akan tahu mengenai efek negatif dan positif dari apa yang dilakukan. Pun ia juga mengekspresikan diri sekaligus menahan diri atas keinginannya sendiri.

  • Usia 3 sampai 5 tahun.

Kemampuan anak mengalami kemajuan pesat dan inisiatif semakin bekembang. Mereka juga menunjukkan ketertarikan belebih pada hal baru. Dalam mengekspresikan emosi ada keberagaman sikap yang patut dijadikan tanda dan pembeda. Semuanya dipercepat ketika hubungan sosial anak meluas, selain keluarga ada juga teman, guru, tetangga, ataukah sanak saudara yang jauh.

Keunikan di usia ini, anak juga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.  Selain itu, mereka juga belajar kalau satu peristiwa bisa menimbulkan efek berbeda pada orang lain. Semisal anak melihat permainan bola, bagi pihak yang menang ini merupakan sebuah kebahagiaan. Namun, bagi yang kalah, semua ini bisa berupa kegagalan, rasa malu, dan juga kesedihan.

Dalam dunia anak-anak yang ada hanyalah permainan. Karena itu, perlakuan orang di sekitarnya sangat mempengaruhi pola pikir ke depannya, apakah mereka akan menjadi seorang penakut dan tidak mau mengungkapkan perasaannya ataukah mereka dapat percaya diri. Jika anak mengalami pemasalahan dalam mengungkapkan perasaannya, bisa dilihat dari alternatif cara yang digunakan.

  • Usia 5 sampai 12 tahun.

Di usia ini anak sudah bisa diajak diskusi, pemahaman dan pengetahuan mereka akan suatu permasalahan lebih terbuka. Sedikit demi sedikit mereka memahami akan kondisi dirinya sendiri. Apa yang membuat lemah, takut, sedih ataukah bahagia. Dalam lingkungan sosial, mereka menunjukkan proses adaptasi yang cepat. Pun untuk rahasia, mereka sudah mengetahui makna dan mampu manjaganya.

Yang paling penting, kita memberikan anak kesempatan untuk mengutarakan aspirasinya sekaligus mendidik sebagai pendengar yang baik. Pun kalau tidak, takutnya anak mulai belajar berbohong demi kepentingannya. Kalau ingin mengetahui cara melihat kebohongan anak, bisa dilihat di sini.

Menanamkan malu pada anak

Semuanya dimulai dari keteladanan, diawali dari kegiatan sepele hingga yang rumit. Namun, sebelum memulai aksi, sebaiknya kita memberikan anak kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas dan juga emosinya. setelahnya, kita menyusupkan semua aturan itu dalam interaksi sehari-hari.

Bisakah? Yuk, dicoba dulu.

  • Menutup aurat

Hal yang pertama dilihat anak adalah orang tuanya, dalam hal ini ketika menjelaskan batasan aurat kepada anak perempuan, sang ibu juga harus member ntoh. Pun sama dengan anak laki-laki. Keterlibatan sosk bapak sangat bearti.

  • Toilet training

Seperti yang diketahui, melatih toilet training jug abemanfaat untuk melatih moal anak. Bila anak tebiasa BAB/ BAK di kamar mandi, privasi dapat terjaga. Pun kalau anak betanya, manfaat pintu untuk menutup. Tunjukkan kalau segala sesuatu yang kita miliki berharga, harus dijaga. Pun kalau ada oang yang ingin melihat takbisa sembarangan.

  •  Bijak menggunakan fasilitas umum.

Kalau di luar perilaku kita juga mencerminkan sikap anak. Semisal kebelet pipis di jalan, apakah kita akan mencari toilet umum ataukah justru mencari tempat sepi asalkan bisa segera terselesaikan.

  • Mengucapkan maaf dan terimakasih

Anak-anak memiliki jiwa yang rapuh selama kita memberikan dorongan secara berkala kepercayaan diri mereka akan meningkat. Pun kalau ada kesalahan dalam proses pendidikan kita, kata maaf mampu menjembatasi hubungan orang tua dan anak. Hal ini juga mampu melatih anak untuk peka akan kehidupan di sekitarnya.

Ketika melakukan kesalahan akan meminta maaf, kalau anak melakukan sesuatu yang baik sebagai apresiasi diberikan ucapan terimakasih. ini namanya membiasakan diri sedari kecil. Jangan pernah jera untuk mengenalkan anak akan emosi yang dialami, biarlah dari emosi ini anak akan lebih mudah berkompromi dengan dirinya sendiri dan lingkungan.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *