Berbicara mengenai pandemi, permasalahan finansial menjadi sesuatu yang penting. Inilah kali pertama sebagai ibu rumah tangga saya bingung mengelola keuangan keluarga. Gaji yang biasanya lebih dari cukup harus disesuaikan untuk memenuhi kehidupan. Ditarik kebutuhan kanan kiri, atas bawah bahkan yang di samping dan mendadak membuat saya kalang kabut. Belum lagi permintaan bocil yang ingin mainan, susu, jajan dan juga jalan-jalan.
Bagaimana dengan Sobat semua?
Di Jogja pandemi belum sepenuhnya berakhir. Kondisi bisa terbilang sepi bila dibandingkan dari sebelumnya. Walau lockdown tak diperlakukan lagi, masih ada kekhawatiran untuk bebas bepergian keluar. Apalagi untuk sekadar mengajak belanja atau jalan bersama keluarga. Kadang, saya beranggapan kalau di lingkungan luar rumah bukan lagi hal yang nyaman untuk anak-anak.
Dari sinilah ada penyesalan, mengapa sebelumnya saya sebagai IRT dan suami tak membicarakan perihal keuangan ini bersama. Kalau saja memiliki mobil yang layak, kalau rumah kami nyaman dan tak lembab. Dan masih banyak kalau-kalau lainnya.
Financial Parenting
Kunci dari finansial dalam rumah tangga dimulai dengan adanya kesepakatan dalam mengelola keuangan bersama. Kesepakatan ayah dan ibu tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh pemahaman serta materi yang memadai. Apalagi untuk kehidupan bocil ke depannya.
Bila perlu, kita belajar perihal ilmu finansial sebelum menikah. Tak harus mengambil kursus jika dirasa terlalu mahal, belajar menabung sudah termasuk dari upaya belajar.
Sayangnya, dalam keberagaman keluarga masih ada perbedaan pemikiran akan hal ini. Apalagi kalau dikaitkan dan dimasukkan dalam rencana pengasuhan di rumah. Masih ada perdebatan klasik di dalamnya, antara lain:
- Membicarakan perihal uang termasuk hal sensitif dalam keluarga apalagi bagi anak.
- Kurangnya keteladanan komunikasi terbuka dalam membicarakan keuangan antara ayah dan ibu.
- Masih adanya dominasi kepercayaan kalau laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Secara tradisi ia memegang pengaturan keuangan.
- Perempuan dirasa kurang cakap dalam mengurus keuangan, PMS diperkirakan memberikan efek pada jumlah pengeluaran uang dan juga alat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Memberikan pengetahuan finansial sejak dini pada anak dianggap terlalu membebani.
Hal ini pulalah yang semakin menekankan saya untuk untuk bicara mengenai uang kepada anak sejak dini agar mereka memiliki persepsi yang tepat mengenai uang. Bukan hanya kita bicara perihal harga atau nilai. Lebih tepatnya, bagaimana anak mampu memanfaatkan uang untuk beradaptasi di lingkungan.
Apiida Sokoomah
Sejak kapan kita mengajarkan financial parenting?
Anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Di usia dua tahun, ia sudah mulai memahami perihal adanya simbol ataupun isyarat dari orang lain. Ia juga mampu memberikan feed back, walau seringkali hanya berupa celoteh tak jelas.
Semakin bertambah usia, mereka semakin pandai pula dalam mengelola informasi yang ada. Apalagi untuk bocil usia 5-7 tahun yang sejatinya memang sudah memasuki TK ataukah SD. Mereka sudah paham mainan, jajan dan juga adanya pertukaran uang dan barang.
Di sisi lain, sedikit dari mereka yang paham akan nilai uang itu dan juga proses untuk mendapatkannya!
Semuanya dimulai dari rumah
Seperti yang saya rasakan sekarang. Setiap waktu, sejak dulu, saya terbiasa diurus oleh orang lain. Apalagi orang tua. Ketika kuliah pun tak jarang mereka masih turut campur.
Perasaan merdeka tumbuh ketika saya menikah. Namun, harus ada usaha ekstra untuk lebih mengendalikan tangan dan pikiran dalam membelanjakannya.
Nah, untuk itulah perlu ada perubahan konsep pengasuhan. Agar tak sepenuhnya membosankan perlu strategi yang membuat anak tertarik pada finansial secara tepat, di antaranya:
Mengembangkan pikiran anak agar lebih fleksibel
Anak mudah menyerah, apalagi kalau melihat usaha itu tiada hasil ataukah pujian. Untuk itu perlu pemikiran kreatif dan fleksibel agar dapat bersaing dan memperoleh uang.
Mendaur ulang sampah adalah contoh sederhana yang mudah diterapkan. Selain dapat menjadi bahan kreativitas baru seperti tas atau hiasan dinding, juga membuat mereka berkreasi dengan kemampuan yang dimiliki.
Selain itu, memanfaatkan hobi untuk menghasilkan uang sekaligus mengajak anak juga menjadi alternatif pilihan yang layak dicoba. Seperti yang dilakukan Mbak Santi, ia yang biasanya mengajar kini lebih memilih berjualan online. Pelanggan lebih banyak kerabat ataukah tetangga dan sesama orang tua di sekolah. Jadi, kalau waktunya antar jemput anak sekalian bisa bertransaksi.
Membiasakan anak mengutarakan kata dan energi positif
Mengubah mindset adalah kunci utama yang sering terlupakan. Semisal pemikiran, orang mengemis dapat uang, bekerja di kantor dengan pakaian mahal pun dapat uang apalagi artis. Dengan bekerja seadanya pun orang tetap dapat uang.
“Ibu tidak punya uang untuk membeli barang.” (X)
“Kita menabung dulu, uang ibu belum cukup untuk membeli mainan ini.” (V) (memperlihatkan dan membandingkan jumlah uang dengan harga yang tertera.)
Atau bisa juga kita berdiskusi perihal profesi dengan anak.
“Jadi tukang parkir bisa dapat uang juga, Bu. Kan enak tinggal mengatur kanan dan kiri.”
“Tukang parkir bukan pekerjaan buruk. Apakah Adek tidak ingin bekerja di tempat yang teduh? berpakaian bersih dan lebih bisa santai? punya banyak teman lagi.”
Pun untuk setiap pekerjaan, kita meminta anak untuk menghargainya. Tidak hanya yang berpenghasilan besar, untuk sekelas tukang parkir pun harus dihormati. Ini akan membantu mengajari mereka cara berpikir kritis, menghemat uang, dan membantu lingkungan pada saat yang bersamaan.
Mengajarkan untuk membeli kebutuhan sendiri
Untuk membantu anak belajar mengelola uang, penting untuk memahami perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Contoh sederhana bisa dimulai dari mainan, jika anak menginginkan mainan, cari tahu harga dan jumlah yang harus dipenuhi.
Pun untuk makan, biarlah ia merasakan kelaparan, tak memiliki baju bagus dalam kurun waktu tertentu. Selain untuk melatih mereka hidup sederhana juga melihat respons pemahaman mereka.
Ketika sekolah masuk, kita membiasakan untuk membuat daftar barang belanjaan, sesuai dengan apa yang ditulis anak. Semisal dimulai dari tas, buku, sepatu, es krim, mainan, atau sepeda. Dari uang tabungan, kita dapat melihat harga di aplikasi oranye atau hijau. Membandingkan jumlah tabungan dengan barang yang sekiranya akan dibeli.
Sejak dini mengajarkan finansial pada anak
Dini bukan berarti sejak awal kita mengajarkan anak menjadi mata duitan. Kita bisa mengenalkan sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan mereka. Saat anak dua tahun, kenalkan mereka bentuk uang (kertas atau koin), sebut jumlah dan gunanya ketika membeli.
Dalam pengenalan ini ,orang tua perlu berperan aktif. Bagaimanapun mereka lebih mudah belajar dari pengalaman daripada hanya sekadar kata. Bila kita mengajarkan untuk berhemat, maka orang tua perlu memperbaiki gaya hidup dan belanja seperlunya.
Uang dan tugas rumah
Waktu anak di masa pandemi lebih banyak digunakan di rumah. Bisa dikatakan sepenuhnya di rumah. Apalagi untuk yang masih belajar online. Pendapatan uang saku pun berkurang. Ada orang tua yang memanfaatkan momen ini untuk membuat kesepakatan bersama dan menghargai bantuan anak dengan uang.
Ini bisa menjadi challenge menantang jika orang tua tak menghadirkan paksaan dan juga sindiran. Ungkapan kasih sayang dalam bentuk sederhana seperti terima kasih dapat menjadi momen untuk membuat anak menjadi semakin bersemangat.
Ada masanya kita membuat imbalan dari tugas itu tak hanya materi. Bisa berupa makan besar, ciuman, pelukan, nonton bareng atau kegiatan yang sekiranya asyik. Selain dapat mempererat hubungan juga untuk menghindari pemahaman anak tentang meminta imbalan saat menolong orang lain.
Menabung itu pilihan bukan paksaan
Siapa yang tak suka anaknya menabung?
Selain dapat berhemat juga sebagai bentuk dari pemahaman anak tentang uang ini. Namun, tak jarang pula orang tua terikat akan pilihan ini dan memaksakan anak untuk menabung, padahal ia membutuhkan uang itu untuk keperluan lain.
Saat anak sudah mengetahui nilai uang itu, cukup sediakan tabungan. Tak perlu dipaksakan setiap hari mengisi. Cukup hargailah keputusannya. Jika kita melihat ia menabung, setidaknya puji dan berterimakasih. Jika belum, tanyakan alasan kenapa menundanya.
Selain itu, ada cara ampuh tanpa adanya paksaan. yaitu tidak menuruti setiap permintaan anak, terutama pada hal yang bukan kebutuhan.
Memberikan pemahaman tentang kartu kredit/ debit/ ATM
Ketika mengambil uang di ATM bocil selalu saya ajak. Kadang ia suka mengambil uang, kartu ataukah sekadar struk sebelum membersihkan tangan dengan alkohol. Sekali dua kali ia terpesona, tetapi setelahnya ada pernyataan menohok yang membuat saya syok.
“Ibu ada uang, ayo ambil di depan Olive—di tempat ATM berada.”
Perkataan itu selalu muncul di kala kami mengatakan kalau uang jajan tak cukup lagi. Dari sinilah saya menyadari kalau perlu memberi tahu perihal bagaimana ATM ini dapat digunakan. Selain memberi tahu fungsi, juga bagaimana kerasnya usaha sang ayah untuk dapat mengisinya dengan uang.
Kalau perlu berikan pemahaman pada anak, bahwa uang dalam kartu kredit bersifat pinjaman. Jika kita menggunakan akan ada biaya tambahan di setiap hari atau bulan.
Bersedekah
Tujuan hidup tiada lain adalah akhirat. Sedekah menjadi salah satu jalan untuk bisa meraihnya. Memberikan contoh atau teladan merupakan hal penting bagi anak. Bisa berupa memberi bantuan telur/beras ke tetangga setiap Jumat. Ataukah memberikan masker secara cuma-cuma kepada orang yang lewat. Pun kalau memesan ojek online dapat menambahkan tip dan bintang lima.
Sekiranya itulah yang bisa kita lakukan di rumah. Pandemi memberikan dampak berkepanjangan dalam hidup. Namun, jangan sampai mematikan hati nurani dan menghalalkan segala cara untuk memaknai uang.