Ramadan tahun 2025 telah berlalu. Apa yang tersisa darinya? Apakah kita merasa lebih baik dari sebelumnya ataukah menjadi lebih buruk? Atau kita berada di posisi yang tak ada beda dengan hari biasanya?
Ramadan ibaratnya recharge energi selama setahun dengan diri sendiri dan juga dengan Allah. Bismillah. Kali ini, saya merasakan banyak hal yang dirasa sepele dari Ramadan sebelumnya. Selama beberapa Ramadan, saya merasakan kehampaan. Entah sejak kapan. Saya sendiri lupa kapan tepatnya bisa menikmati kekhusyukan bulan suci.
Hati merasa biasa saja. Puasa ya sahur dan buka. Tidak ada yang spesial. Waktu habis untuk mengerjakan rutinitas harian. Emosi masih meluap-luap. Energi juga cepat terkuras. Rasanya hanya menahan lapar dan haus. Setelahnya? Ya sudahlah. Silaturahmi ke keluarga, mudik dan kembali ke rumah dengan perasaan lelah.
Energi fisik, emosional, sosial, spiritual rasanya terkuras tanpa terisi. Pun dengan hari raya. Euforia dan penantian semasa saya kecil hilang. Semasa kecil, setiap habis maghrib saya sudah menantikan salat Id keesokan hari. Mukena sudah dicuci, putih bersih dan wangi. Baju baru sudah tersetrika rapi.
Saya pun semangat ikut takbir di langgar depan rumah. Walau sampai malam bercampur dengan teman laki-laki, orang tua membiarkan. Mereka seakan memahami kebahagiaan ini dan tahu kalau kami bisa saling menjaga. Canda dan tawa saat menyalakan petasan menghilangkan gengsi dan rasa lelah. Saya ikut deg-degan saat melihat persiapan sekaligus launching balon udara setelah salah Id.
Semua saling bahu membahu. Ada yang mengumpulkan iuran uang, menyiapkan camilan untuk begadang, ada yang mencari kayu bakar untuk persiapan esok hari. Semua layaknya punya masing-masing jobdesk tak tertulis. Secara sukarela dan sukacita.
Sayangnya, semua itu hanya berupa kenangan yang layak untuk disimpan dan diputar tatkala rindu menyeruak. Tahun 2025, saya bertekad tau mau mengulang. saya tidak ingin lebaran habis di rumah saja, khususnya dapur.
Kenapa Ramadan 2025 spesial?
Tahun 2025, ketakutan akan mati sangat terasa. Keinginan untuk bisa pulang kampung sangat kuat. Rasanya ingin berlama-lama di rumah tempat saya dibesarkan. Terutama membersamai orang tua. Walau biasanya hanya di rumah dan waktu dihabiskan di dapur dan rumah, kali ini saya ingin merasakan kelelahan itu lagi. pekerjaan sama dengan nilai berbeda.
Dulu, saya tak menikmati apa yang saya kerjakan. Di saat ini, saya merasa sangat berguna. Kecil. Terlihat hanya sekadar rutinitas dan tugas harian anak perempuan. Namun, membuat kebiasaan sekaligus apa yang saya sukai menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Senang bersih-bersih rumah menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Saya nyatanya dinanti. Di saat itu pula saya merasa dibutuhkan.
Pun di awal tahun 2025, satu per satu orang tua dari teman dan kerabat tutup usia. Mereka dijemput Allah baik saat sakit atau sehat. Ah bagaimana dengan orang tua saya? Rasa rindu semakin membuncah. Saya takut kehilangan. Kali ini saya ingin menghabiskan momen kebersamaan lebih banyak. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari. Selama masih ada kesempatan, saya ingin memanfaatkan semua itu.
Mendengar Bapak Mengaji
Bapak minta dibelikan Al-Quran. Pesan Ibu di awal Ramadan melalui wa. Harus saya yang beli dan kirim. Saat itu bukan perasaan senang yang muncul. Justru kekhawatiran. Saya teelpon adik dan menanyakan perihal bapak. Apakah ia memiliki permintaan yang sama? Pun saya mengkonfirmasi lagi ke ibu, ini beneran?
Nyatanya memang semua itu benar. Bapak yang selama hidupnya jauh dari Al-Quran tiba-tiba meminta Al-Quran. Ia yang biasanya menolak diajak belajar, kini berinisiatif untuk memulai. Ya Allah, ini bukan pertanda burukkan?
Perubahan menuju kebaikan ini merupakan anugerah. Di sisi lain menghidupkan alarm waspada. Jangan sampai ini permintaan terakhirnya. Ketakutan untuk kehilangan pun semakin kuat.

Saat saya pulang kampung, suasana rumah lebih adem dan nyaman. Permintaan Bapak bukan sementara. Semuanya memang murni atas keinginannya sendiri. Kami pun lebih banyak cerita. Selain saya yang merasa takut kehilangan, bapak juga merasa kalau ia sudah semakin tua. Kapan pun bisa mati. Satu per satu kesadaran untuk berhijrah mulai tumbuh.
Setelah sekian tahun (entah sudah berapa tahun, sampai lupa), saya akhirnya bisa mendengar Bapak mengaji. Masih terbata dan bacaannya jauh dari sempurna, tapi itu menjadi bacaan terindah dan teradem yang pernah saya dengar.
Bapak dan Ibu Sakit Bergantian
Seiring bertambah usia, penyakit itu juga turut serta di dalamnya. Ibu dengan darah tinggi sedangkan bapak dengan osteoporosis dan asam uratnya. Rasanya sedih saat melihat mereka setiap hari mengkonsumsi obat. Tidak hanya satu. Biasanya minimal tiga pil dalam sekali minum.
Saya merasa tak bisa hanya menasehati, mereka tetap harus beraktivitas dan bekerja untuk hidup. Mau diminta istirahat penuh juga percuma. Saya juga tak mampu memberi dan menanggung masa tua mereka sepenuhnya. Setidaknya, saat ini saya berusaha menebus dengan cara lain. Membantu pekerjaan orang tua di rumah dan di kandang (bapak sebagai peternak ayam potong) sekarang terasa lebih enteng. Walau pekerjaan tiada henti, perasaan jauh lebih ringan dari sebelumnya. Jika di masa dulu, saya merasa capek tenaga dan kesal, kini yang ada perasaan lega. Ah, senang saat ibu dan bapak menghargai apa yang saya lakukan dan berterimakasih atas semuanya.
Belum genap saya menikmati perasaan itu, hati saya kembali disentak oleh kenyataan. Ibu dan bapak jatuh terpeleset dalam waktu berdekatan. Ibu yang jatuh dalam posisi miring, tubuh bagian kiri sulit digerakkan. Sedangkan Bapak yang jatuh terlentang mengeluh sakit kepala setiap saat.
Sekali lagi, saya tak bisa membantu banyak. Saat menemani mereka berobat, saya semakin bersyukur karena ada rezeki dan memiliki suami yang baik karena mensupport orang tua. Salah satunya dengan membelikan susu lansia setiap bulan. Pun masih banyak kebaikan dari sanak saudara dan tetangga yang tak bisa diremehkan.
Sekeluarga Sakit

Dimulai dari Hanna yang harus opname karena pneumonia sekeluarga harus rela bergantian sakit. Hakim sakit saat Hanna di masa pemulihan. Saya berikutnya. Badan panas, mata merah karena belekan, kepala pusing dan diikuti batuk. Mertua datang menjaga sejak Hanna di rumah sakit. Sedangkan ibu saya menjemput di saat saya tumbang. Mudik dipercepat.
Belum berhentis sampai di sana. Beleken ini juga bergantian dialami oleh keluarga di kampung. Bulan puasa kali ini, sakit menjadi sahabat kental. Sangat dekat. Alhamdulillahnya, semua sakit itu dapat sembuh dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Di saat satu sakit yang lain masih bisa mengurus. Saling bergantian untuk menjaga.
Ah, tidak bisa membayangkan kalau sakitnya bersamaan. Apa yang akan terjadi pada kami?
Khatam Al-Quran
Khatam sekali dalam sebulan sulit diraih sejak ada bayi dan bocil. Biasanya hanya sampai juz 20 atau 25an. Alhamdulillah kali ini bisa selesai sebelum malam takbir. Sakit membawa keberkahan juga. Biasanya anak-anak on fire setiap hari. Tiada hari tanpa kegaduhan dan kerusuhan.
Sejak awal Ramadan, mereka lebih anteng. Lebih banyak tidur. Seharusnya ini menjadi pertanda ya kalau mereka dalam kondisi kurang fit. Sayangnya, di hari-hari itu saya kurang responsif. Malah mengajak mereka lebih banyak beraktifitas. Seperti Hanna, bayiku yang belum genap 2 tahun. Di siang hari saya gendong ke sana ke mari dengan bersepeda motor. Perjalanan jauh pun saya terjang. Jadinya sakit justru cepat menyebar.
Hakim Kali Pertama Puasa
Di usianya yang ke-8, hakim mengawali puasa Ramadan 2025 seharian. Sedari pagi tidur, siang bangun lihat laptop/ ponsel. Kemudian tidur lagi. Tidak ada keluhan ini dan itu. Alhamdulillah bisa sampai finish. Maghrib.
Hari kedua drama dimulai. Ia mulai merengek haus dan lapar. Jadilah sejak saat itu ia puasa tengah hari. Seminggu awal semua berjalan lancar. Menjelang minggu kedua di saat saya mengurus Hanna opname, pengawasan Hakim mengendor. Ia kadang makan dan minum bila tak ada orang. Belum lagi kalau haus, ia akan tetap minum di saekolah.
Di sisi lain, saya merasa bangga. Setidaknya, ia sudah mau mencoba dan bersemangat untuk menyelesaikan sebulan penuh. Sebagai ibu, saya juga ikut bersemangat untuk menyokong usaha Hakim. Salah satu diantaranya mengenai pilihan menu berbuka/ sahur. Saya mengusahakan apa yang bisa menggugah semangat berpuasa, salah satu kesukaan Hakim brownies Amanda. Menu lain tentu saja adanya Indomie goreng dan es teh.
Silaturahmi ke Saudara Bersama Suami

Sejak awal menikah, suami jarang sekali libur lama. Lebaran pun dibagi dua, di rumah orang tua dan mertua. Pergi ke sanak saudara pun tak pernah tuntas seperti masa lajang. di mana semuanya didatangi. walau masih belum lengkap dalam bernjung, setidaknya kali ini kami lebih banyak mengunjungi mereka. Yang terbaru, kami bisa pergi ke Malang dan Magetan.
Alhamdulillah, cerita Ramadan kali ini lebih beragam. Bagaimana dengan Sobat semua? Adakah yang Istimewa dari Ramadan dan lebaran kali ini?