Apakah Kita Bisa Normalisasi Kejahatan Seksual?

Setujukah kita melihat pelaku/ terduga pelaku kejahatan seksual menerima normalisasi di masyarakat?

Pernahkah Sobat di rumah mengalami pelecehan seksual?

Kalau saudara? Teman?

Bagaimana keadaan mereka sekarang?

Cermin Kejahatan Seksual di Sekitar

Saya pernah, bukan hanya saudara ia sudah saya anggap sebagai belahan jiwa. Sebut saja A. Ia mengalami kekerasan dan juga pelecehan yang menyebabkannya hamil di luar nikah. Pelakunya tak lain adalah kekasihnya sendiri.

Peristiwa itu sudah berlalu beberapa tahun lalu. Namun, saya masih bisa melihat gurat kesedihan sang bapak. Kalau ibu? Jangan dibayangkan bagaimana penyesalan yang dialaminya.

Di saat kejadian, tak ada senyum di mata mereka yang sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri. Sejak kecil mereka mengurus dan juga merawat saya layaknya anak sendiri. Saat saya sedih, mereka selalu mengusap air mata ini. Namun, sekarang? Saya tak sanggup melakukannya.

Seminggu pertama, A hanya terdiam di kamar. Pun dengan kedua orang tuanya. Apalagi waktu sang pacar justru menuduh keluarga mereka yang tidak tahu diri dan justru menjadi penggoda bagi anak mereka yang akan melangsungkan pernikahan.

Hancur. Keluarga mereka mulai menarik diri, dari jabatan dan juga dari lingkungan. Fokus mereka untuk melindungi A dan janin dalam perutnya.

Setelah sekian tahun apakah keluarga mereka bisa sepeti dulu? Tidak sepenuhnya. Masih ada sisa luka yang kini menjelma menjadi phobia ataupun penyakit yang bersarang di tubuh.

Janin itu telah tumbuh, A mulai membuka diri dan bekerja. Sedangkan kedua orang tuanya telah renta, tetapi harus melewati hari-harinya melawan penyakit yang tak pernah diderita sebelumnya. Ada migren dan juga infeksi lambung.

Jika ada yang bertanya perihal peristiwa lalu, sang bapak bisa langsung lemas tiba-tiba. Sedangkan sang ibu, darahnya langsung naik. Sedangkan A, tak jauh beda. A

Apalagi ketika anaknya dilabeli “haram” oleh masyarakat sekitar.

Kasus Saiful Jamil

“Sekali doang, jadi dibuka (celana korban,
read), nunduk langsung hap, dia langsung kaget. Setelah itu dia kayak orang
marah,” ujar Bang Ipul, sebagaimana dikutip dari Twitter @dewahoya.

Pengakuan
belum tentu sebuah kebenaran!Saiful Jamil (SJ)  melangkah keluar dari
penjara 2 September 2021 karena kasus pelecehan yang dilakukannya tahun 2016
silam kepada anak laki-laki sekitaran usia 15-20 tahun. Bagaikan pahlawan, ia
disambut bahkan diundang di stasiun TV.

Miris dan juga menyakitkan!

Kejadian ini menyentil ingatan saya akan peristiwa yang dialami A. Kejadian yang
melibatkan SJ tak sama persis dengan yang dialami A, tetapi dari segi apa yang
dialami bisa diibaratkan, SJ sebagai tersangka yang menjadi (mantan) narapidana
sedangkan A adalah korban.

SJ dihukum 3 tahun, sedangkan A belum pulih sepenuhnya setelah 10 tahun berlalu.
Bagaimana dengan kedua orang tuanya? Pun sama. Lamanya tahun ternyata belum
mampu menambal luka yang ada.  

Sedangkan korban SJ? Bagaimana kehidupannya?

Dari segi pelaku, apa yang dilakukan oleh stasiun TV dapat mengundang opini kalau
apa yang dilakukan SJ dapat dengan mudah dilupakan. Apa yang
dilakukannya tidak serius, cuma menurunkan celana dan hap saja!
Selain
itu, apa yang dilakukan SJ dapat memberikan angin segar kepada pelaku yang
lain. Pelaku pelecehan, pencabulan bahkan kekersan seksual itu memang
hukumannya “ringan” dan nyatanya bisa diterima di masyarakat.

Normalisasi Pelaku Kejahatan Seksual

Kejahatan seksual termasuk, pelecehan, kata-kata kotor, umpatan, hingga pemerkosaan. Korban sebagian besar dari pihak perempuan ataukah anak-anak. Sedangkan jenis kelamin, tidak memberikan perbedaan.

Apa yang dilakukan oleh SJ termasuk dalam kategori pedofil, di mana anak dijadikan pemuas nafsunya. Pelaku kejahatan ini disebut sebagai predator anak. Apa yang mereka lakukan, dapat memberikan dampak negatif untuk membentuk predator baru yang merusak mental generasi bangsa.

Korban dalam kejahatan seksual yang melibatkan perempuan memiliki jurang dilema yang dalam dan lebar. Selain karena pihak perempuan yang dipersalahkan, stigma masyarakat pun tak kalah kejam.

Perempuan sering disudutkan. Mulai dari pakaian, perilaku ataupun ucapan, semuanya menjadi senjata untuk melemahkan peran perempuan.

Padahal kenyatannya, kejahatan seksual ini dapat terjadi di berbagai tempat. Rumah, sekolah, bahkan tempat umum ataupun ibadah bukan hal yang sepenuhnya aman untuk perempuan. Pelaku pun ada yang berasal dari orang asing, tetapi sebagian dari orang terdekat.

Sayangnya, sedikit dari kejadian itu yang akhirnya masuk dalam ranah hukum. Pun kalau dalam pelaporan, kelengkapan berkas menjadi alasan lain yang membuat korban mengurungkan pelaporannya.

Jadi, sebelum melaporkan ke polisi, lebih baik menyiapkan beberapa hal untuk pemberkasan.

  1. Bukti, dapat berupa bukti fisik atau digital. Fisik dapat dilihat dari apa yang terlihat, misal pakaian, darah, luka, dll. Sedangkan digital bisa melalui media sosial ataupun chat yang berupa ancaman, dll.
  2. Visum, hal ini penting dalam menunjukkan bukti secara terpercaya dan melihat keparahan yang ada.
  3. Memberi tahu orang terdekat. Sewaktu ke kantor polisi sebaiknya membawa saksi, ataupun pengacara. Hal ini untuk menghindari pertanyaan yang kurang etis, semisal “Apakah kamu menikmati semuanya?” Jika pihak korban ragu bahkan menjawab iya, kekuatan hukum tak bisa digunakan karena dianggap berdasar suka sama suka.
  4. Kalau laporan belum ditindaklanjuti lebih baik lapor ke Komnasham ataukah LBH lain.
  5. Bila masih belum ada tanggapan, viralkan!

Bagaimana dengan pelakunya? Pelaku dalam pelecehan ada yang karena terdesak atau memang itu sudah menjadi “rutinitas” untuk memuaskan hawa nafsunya. Hal ini perlu diperjelas! Kenapa? Untuk memberikan rehabilitasi yang tepat.

Selain  mendapatkan hukum pidana mereka juga seharusnya dibawa ke psikiater/ psikolog. Agar mereka “tahu diri”. Mengukur laut itu lebih mudah daripada mengukur pikiran dan hati seseorang.

Seperti SJ. Apakah kita bisa yakin SJ sudah berhenti dari aktivitas seksualnya? Apakah ada yang bisa memberikan jaminan ia tidak mengulangi lagi perbuatannya? Apakah seseorang seperti SJ mau membantu korbannya hingga traumanya hilang?

Mengubah perilaku itu sulit, apalagi untuk mereka yang memiliki kuasa. Dalam kasus SJ, apa yang dilakukannya tidak dibenarkan. Sayangnya, kenapa masih ada yang memberikan ruang di ranah publik?

Seharunya media komunikasi semacam TV ini memberikan edukasi yang memadai bagi masyarakat. Sayangnya, semua itu sudah terkikis. Rating dan juga pemasukan uang lebih dikedepankan. Entah apa yang ada di pikiran penjahat seksualitas di luar sana?

Trauma, Apakah Sama dengan Luka Fisik yang Dapat Sembuh?

Trauma merupakan luka psikologis yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat terutamanya di usia produktif karena dapat menurunkan daya intelektual, emosional dan perilaku. Penyebabnya sendiri bisa berupa kekerasan, perkosaan, ancaman yang datang tiba-tiba (bencana, banjir, gempa, atau tsunami).

Trauma bisa menimpa siapa saja, tidak peduli ras, umur ataupun waktu. Lukanya seringkali tak terlihat, tetapi tersimpan dalam tubuh. Tekanan dan juga perasaan inilah yang biasanya menyebabkan gangguan emosional atau psikologis “Post Traumatic Stress Disorder” (PTSD).

Siapa pun yang mengalami PTSD akan dihantui pengalaman traumatis. Seperti halnya si A, setiap hari ia sering bermimpi buruk hingga mengakibatkan sesak. Kadang, bila mengalami situasi buruk, ia mudah panik (panic attack), menangis sendiri ataupun mudah marah.

Sebagaimana kita tahu, kesehatan manusia secara holistik itu selain fisik juga ada psikologis. Faktor psikologi melibatkan emosi di dalamnya. Sama seperti fisik (tangan, kaki, otak, organ dalam, dll) psikologis pun juga melangalami hal yang sama.

Saat psikologis terluka, mood (suasana hati) juga berubah. Dalam dunia kedokteran, perubahan mood dan juga emosi dapat disebabkan oleh respon otak dan juga perubahan hormon.

Di dalam otak manusia, trauma disimpan di alam bawah sadar. Dapat muncul jika ada pemicu yang mirip dengan penyebab trauma. Atau bisa juga karena melihat pelaku/ orang yang mirip pelaku.

Amigdala merupakan suatu zat abu-abu yang terdapat dalam otak besar, berfungsi sebagai pemberi isyarat adanya bahaya yang mengancam diri. Karena itulah, dalam situasi terdesak, hanya ada dua pilihan lari atau menghadapinya.

Penderita trauma mengalami perubahan litar limbik yang berpusat di amigdala.  Sistem di amigdala ini menjadi sensitif dan sangat aktif. Apabila amigdala terlalu cepat tergugah, maka kita menjadi terlalu waspada, penakut atau sangat agresif.

Sebaliknya, apabila amigdala terlalu lambat memberikan isyarat, kita akan tidak waspada, atau terlalu berani, yang pada akhirnya membawa kasus buruk yang dapat mencelakan diri sendiri.

Meredakan Trauma

Dalam memberikan penanganan kepada penderita truma perlu adanya penanganan secara profesional. Namun, tidak semuanya mau berperan aktif dan memiliki kemampuan finansial untuk melakukan konseling di sana.

Kita tidak boleh menyerah,ari jalan lain untuk terus berubah dan berkembang. Untuk bergerak dan memperbaiki diri, setidaknya kita harus melngkah dan menjemput bola.

  • Menerima peristiwa yang terjadi

Dalam hal ini ada banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya mendekatkan diri dengan Sang Pemilik Hati. Bagaimanapun, emosi mempengaruhi fisik dan juga pikian kita. Semakin berat emosi dan tekanan yang ada, risiko untuk menderita sakit pun semakin besar.

Hal lain yang bisa dilakukan tentu saja bergerak positif. Selain menikmati keindahan alam dan ciptaanNya, kita juga perlu mencari ilmu. Ilmu ini akan membuka pemahaman dan juga pola pikir yang selama ini kita yakini.

Semisal si A, menerima kehadiran janin dalam rahimnya sangat berat. Namun, ketika belajar (misal ikut parade ruang pulih), ia  menyadari kesalahan dan melihat senyum anaknya, ia juga bisa bisa menjadi kuat. Pemahaman ilmu, menarik kita untuk dapat mengubah cobaan menjadi hikmah.

  • Menghargai diri sendiri

Segala sesuatu terjadi karena sudah ada yang mengatur, Allah. Sudah selayaknya kita menerima dan berlapang dada. Kejadian yang terjadi pun bukan sepenuhnya kesalahan kita. Belajar memaafkan diri sendiri memang berat, tetapi layak untuk dicoba.

Setidaknya katakana berulang-ulang sembarimengusap bagian yang ada.

“Tubuhku, aku memaafkanmu atas apa yang terjadi. Tangan, ini bukan salahmu karena tak bisa menahan pintunya. Hati kaau telah menaruh cinta pada orang yang kuang tepat, selanjutnya lebih selektif lagi, dll”

  • Mencari dukungan dari orang terpercaya

Seperti rekan-rekan dan keluarga. Mencari grup yang mendukung setelah peristiwa traumatik. Setidaknya menari teman untuk mendengarkan cerita.

  • Melepaskan emosi dengan tepat.

Meningkatkan perasaan positif dalam menghadapi bahaya. Mempunyai strategi menghadapi keadaan yang buruk, atau mendapatkan pembelajaran dari peristiwa yang ada, karena sebagian mampu untuk bertindak dan merespon setiap kasus walaupun masih ada perasaan takut.

Tiga fungsi domain manusia yang menyumbang kepada kesehatan baik fisik dan mental: penguasaan yang baik, menyanyangi orang lain, menentukan tujuan hidup yang bermakna dan penguasaan lingkungan yang baik dengan merujuk kepada keupayaan untuk membentuk dan memenuhi kebutuhan seseorang.

Flannery

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *