Trigger
Sedari pagi, suami menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit yang mendera perut. Walau hanya sekadar nyeri sesaat, ia ingin menghilangkannya. Memang rasa sakit itu jauh berkurang sejak minum obat, tetapi terlalu lama tidur atau rebahan justru membuat badannya kaku. Jadilah bergumul dengan mobil menjadi jalan ninja yang dipilih.
Mur, baut, bor dan peralatan lain sudah berserakan di garasi selepas sarapan. Kalau sudah begini, Saat si bocil melihat, ia ingin memainkan benda itu. Namun, suami melarang. Perdebatan kecil tercipta. Si bocil pun mengalah setelah dijanjikan akan dibuat mainan kereta kardus kesukaannya.
Sepanjang hari si bocil bermain sendiri di sekitar suami. Kadang ada interaksi lucu dan menggemaskan di antara keduanya. Saya yang melihat dari kejauhan hanya tertawa. Alhamdulillah.
Siang yang damai terlewati hingga menjelang Maghrib. Suami yang sudah terlihat kehabisan tenaga, memilih untuk duduk santai di teras.
“Mana kereta kardus Hakim? Ayo buat, Pak?”
“Iya, nanti setelah makan.”
“Nanti buat yang kereta cepat ada banyak jendela ya, rodanya bisa berputar dan relnya juga panjang….”
Si bocil dengan ceria menceritakan kereta idamannya. Karena ia juga tak sabar, peralatan untuk membuat kereta kardus sampai disiapkan sendiri. Kardus, lem tembak, gunting, cutter dan juga replika kerenya sudah ada.
Setelah makan malam. Suami ternyata memberi janji palsu. Permintaan bocil nyatanya diiringi janji. Hingga tanpa disadari sudah menjelang jam 21.00. suami terlihatmengantuk dan berencana mau tidur lebih awal. Namun, karena rengekkan bocil yang tiada henti, ia pun bangun setengah sadar sembari mengeluarkan segudang gerutuan.
Puncak masalah terjadi ketika kereta bikinan suami tak seperti yang dijanjikan. Kereta ala kadarnya itu tak berwarna, tak beroda bahkan tertutup semuanya. Tanpa pintu atau jendela. Si bocil merengek lagi. Kali ini disertai dengan derai air mata.
Melihat bocil nangis, suami semakin risih. Ia terlihat jengah. Perkataan tak enak hingga menggap bocil sebagai pengganggu keluar dari mulutnya. Bocil pun kembali menangis sejadi-jadinya. Suami pun seperti semakin tersulut, perkataan dan emosi yang biasanya ramah dan tenang, meledak begitu saja.
Bocil yang mendengar nada tinggi, langsung melempar barang tiada henti. Saya yang melihat keduanya pun berusaha melerai dengan memeluk bocil dan meminta suami keluar kamar. Sekali, dua kali permintaan saya tak digubris. Jadilah nada suara saya tingkatkan bukan lagi tolong tapi menjadi perintah.
Suami pun pergi ke kamar untuk tidur sedangkan bocil melanjutkan main dengan saya hingga tangisnya reda.
Menyampaikan Pesan dengan Jelas.
Suasana pagi masih terasa menyesakkan. Namun, suami terlihat santai dan merasa semua sudah berlalu. Sedari bangun tidur saya masih merasa dongkol. Jadinya, saya memutuskan untuk jalan sebentar. Sembari membeli sayur juga memikirkan lagi apa yang terjadi semalam. Terutama bagaimana memberitahukan ke suami kalau perilakunya memang keliru!
Sesampainya di rumah, suami sudah menyambut dekat pintu garasi.
“Maaf, Bu. Masih marah perihal semalam?”
Saya pun hanya mengembuskan nafas dengan kuat sebelum memberinya jawaban.
“Menurut, Bapak?”
Kami berdua akhirnya duduk di teras. Saya mengutarakan kekecewaan yang terpendam di hati. Bagaimana ia tega menggunakan kelemahan anaknya yang tak mampu membaca dan menulis (salah satunya karena ada ADHD). Pun ia selalu menyalahkan anak yang meminta waktu luang lebih padahal sudah berusaha sabar menunggu sejak pagi.
Saya pun menjelaskan, sikap seperti itu kurang bijak. Omongan orang tua bagai doa. Seandainya ia dengan mudahnya berkata seperti itu, bagaimana dengan orang lain? Bagaimana kalau kondiri bocil semakin parah dan melambat seperti perkataannya semalam? Bagaimana perasaan si bocil?
Si bocil melakukan semuanya karena sangat sayang. DI usianya yang menginjak waktu 6 tahun, ia masih belum tahu benar arti dari sakit itu. Memang suami sakit, tetapi kan dari yang terlihat ia bisa beraktivitas seperti biasanya. Menghabiskan waktu bersama mobil kesayangan bisa sampai berjam-jam. Namun, kenapa bersama anak sendiri justru tak tahan walau hanya sebentar?
Bahkan, suami dengan tega menggunakan alasan sakit hanya untuk menolak permintaan si bocil. Walau sebenarnya, ia bisa melakukannya dengan duduk atau rebahan di sampingnya.
Selama ini, bocil selalu membanggakan suami sebagai bapak hebat, bapak kesayangan dan juga bapak serba bisa. Apa yang diminta selalu mampu diwujudkan. Bukankah itu seharusnya disyukuri? Namun, kenapa suami justru terbebani dengan semua itu? Bukankah itu juga termasuk dzolim?
Suami semakin menunduk. Saya juga merasa iba. Saya tahu ia butuh hiburan sebagai pengalihan perhatian. Namun, kalau bisa anak jangan sampai dikorbankan.
Suami pun meminta maaf, saya juga demikian. Yang lebih penting! Saya meminta suami minta maaf ke bocil, selain itu tak lupa menjelaskan kembali apa yang terjadi semalam. Konfirmasi perasaanlah istilahnya. Semoga hal seperti ini tak terjadi lagi ke depannya.
Komitmen Pasangan dalam Menjalankan Peran Ibu dan Bapak
Sebelumnya saya sudah meminta ke suami, kalau ada permasalahan harus selalu dibicarakan. Kalau anak tak selayaknya tahu, lebih baik kita menyelesaikannya berdua. Seperti kondisi semalam, kalau salah satu di antara kami ada yang sampai memarahi anak, yang lain harus berusaha menahan diri.
Entah benar atau salah, setidaknya kami tidak melanjutkan perdebatan di hadapan anak. Pun lebih baik anak tak tahu kalau di antara kami ada yang berperan sebagai pembelanya.
#tantanganzona2
#harike-5 #bundasayang8
#institutibuprofesional
#ibuprofesionaluntukindonesia
#bersinergijadiinspirasi
#ip4id2023