Belajar Menahan Amarah Pada Anak di Rumah!

Sebagai seorang ibu, sabar dalam menghadapi anak merupakaan dambaan setiap hari. Namun, realisasinya sangat sulit dilakukan. Bentar teriak, bentar bilang jangan, belum lagi kalau lagi banyak kerjaan, dan masa PMS pula. Suara bisa naik 8 oktaf atas apa yang dilakukan bocil.

Ini lah yang coba saya atasi di rumah. Saya ingin menjadi ibu yang lebih sabar. Bisa mendengarkan anak dengan seksama. Mampu membersamai anak dalam segala kegiatannya, walau kadang hanya sebatas pada cerita. Yang lebih penting, saya juga memiliki waktu uintuk diri sendiri di kala malam menjelang. Saatnya semua istirahat, semua pekerjaan selesai dan saya pun juga dapat beristirahat. Setidaknya gegoleran di kasur sembari scrol media sosial, shopee ataukah hanya sekadar melihat video youtube.

Yang penasaran Puasa ponsel saya.

Gambaran Anak

Fokus utama saya kali ini pada si sulung, Hakim. Hakim tumbuh sebagai anak lelaki yang periang, tambun dan banyak tenaga. Di usianya yang memasuki tahun ke 8, ia sudah duduk di SD kelas 1. Sebagai anak yang didiagnosa ADHD, Hakim bisa dikatakan memiliki perilaku over. Tangan dan kaki tidak pernah bisa diam. Pernah suatu waktu, ia diam duduk di depan komputer. Matanya fokus melihat youtube tetapi tangannya memegang dan memainkan keybord. Dengan keahlian jari-jarinya, letak huruf dan angka di keyboard bisa berganti dan bahkan terbalik.

Tidak hanya berhenti di sana, kadang ia memainkan kacamata saya hingga lapisan pelindung gagangnya lepas. Taplak meja digunting, ada juga bagian yang berlubang karena dimainkan dan digigit. Mainan ataukah segala sesuatu yang dia pegang pasti ada saja yang lepas atau berkurang fungsinya. Kasarnya, rusak! Ya Allah, pokoknya kelakuannya selalu ada sesuatu yang baru.

Belum lagi kalau makan atau minum, segala sesuatu (seperti sisa makanan atau sampahnya) disimpan dan disembunyikan. Entah di belakang komputer, di dalam tas, di balik bantal, kasur atau bahkan disembunyikan di kotak mainan. Kadang, kalau say  malas membersihkan. Saya tinggal eencari di mana semut bersarang, di sanalah harta karun Hakim tersimpan.  

Hal lain yang membuat saya senang tapi terkadang istighfar tentu saja bagaimana Hakim selalu memanggil nama saya dimana pun dan kapan pun. Mau ambil air putih, Buk! Ingin ke kamar mandi, Buk! Minta ini dan itu, Buk! Mau mandi juga Buk! Belum lagi kalau bertengkar dengan adiknya. Semua kalau bisa dibantu dan dibersamai. Semuanya harus ibu!

Hakim seorang anak yang penakut akan kegelapan. Daya imajinasinya berlebih sehingga perkatannya seringkali dikaitkan dengan video atau segala hal yang ditonton di youtube. Jadilah, ia seringkali minta ditemani. Walau hanya duduk dan melihat video di rumah, saya harus berada disampingnya.

Di balik keunikan dan sikapnya di luar nalar, Hakim sangat pandai berbicara, ia penyayang dan juga sangat berbakti sebagai anak. Intuisinya untuk melindungi sangat besar. Sebagai anak pemalu, Hakim mudah dan cepat membaca situasi di sekitar. Ia tidak mudah dekat dengan orang, tapi sekali lengket, ia bisa sangat loyal.

Yah, masih banyak hal yang menggambarkan sosok si sulung ini. Namun, saya ingin lebih fokus ke sikapnya yang seringkali menyulut amarah saya.

Reaksi Saya Sebagai Ibu

Sikap saya selama ini berusaha memahami atas apa yang dilakukan Hakim. Namun, sering lepas kendali. Terlebih sebelum saya tahu apa yang terjadi dengan anak saya. Keinginan dan pandangan saya tentang anak masih sangat jauh dari yang seharusnya. Saya ingin anak saya manut, bisa diberitahu, enak diajak bicara dan juga bisa menempatkan diri.

Label anak nakal seringkali terlintas dalam pikiran. Walau tak sampai keluar dari mulut secara langsung, predikat itu secara naluriah tumbuh begitu saja. Apalagi kalau dia sudah berada di lingkungan baru. Byuh, sikap penasaran dan rasa ingin tahu yang disertai aksi tak terduga membuat saya seringkali istighfar dan berkata jangan.

“Jangan naik pagar!”

“Awas, meja bisa pecah kalau dinaiki.”

“Hati-hati pintu kulkas bisa patah kalau kau menaiki dan menutupnya dengan kencang.”

“Itu susu! Bukan mainan. Kenapa ditumpahkan di lantai?”

“Di rumah tak mau tidur, di sekolah tidur mulu!”

Ah, pokoknya masih banyak hal yang sebelumnya orang-orang mengatakan saya pendiam, ternyata bisa mengomel sepanjang itu hanya karena anak.

Pandangan dan semuanya terasa berbeda saat saya mengetahui kondisi Hakim. Ternyata, semua tingkah lakunya dilakukan secara otomatis. Saya berusaha memahami dan menyelaraskan cara berkomunikasi kami.

Proses bicara dan keterbukaan mulai berjalan. Kami jadi semakin dekat. Pun untuk kebersamaan, di antara yang lain sayalah yang bersamanya 24 jam.

Langkah awal yang saya lakukan, mengenalkan emosi dan bagaimana saya mengekspresikan diri bila marah, senang, sedih ataupun kecewa. Pun saya juga mengenalkan Hakim pada kemampuan dasar yang harus dikuasainya. Termasuk, makan, mandi ataukah cara berpakaian.

Dari proses itu, tidak semuanya bisa berjalan lancar. Ada kalanya saya juga tersulut emosi negatif. Jadilah Hakim merasa sering dimarahi, disalahkan dan juga tidak puas akan yang saya lakukan. Jadinya, ia terluka dan justru menyalahkan sang adik sebagai pelampiasan.

Proses Berjalannya Menahan Amarah Selama Seminggu

Di hari pertama, Hakim menghabiskan uang saku untuk mentraktir teman-temannya. Kemudian? Dia merasa kelaparan saat makan siang karena uangnya habis. Saat saya tanya alasannya karena ia kasihan pada temannya yang tak bisa jajan di waktu istirahat. Saya tersulut dong! Sifatnya yang seperti itu justru merugikannya. Ia tak bisa melihat orang lain tersiksa atau sengsara tanpa peduli pada kondisinya sendiri. Ia juga anak yang tidak tegaan pada teman.

Saya mulai bicara panjang kali lebar. Namun, saat semua uneg-uneg itu keluar pikiran, saya serasa langsung mendapat sentilan. Kan saya ingin berubah! Sayalah yang salah kali ini. Untuk itu saya memberi Hakim jeda untuk berpikir. Saya meminta maaf dan kembali mengkonfirmasi mengenai batasan pertemanan yang bisa Hakim lakukan.

Hari kedua lebih tenang dan damai. Hari ketiga kami pergi ke Ngawi untuk menghadiri acara nikahan kerabat. Bersama dua teman lain dan sopir, kami berangkat dari Jogja jam 07.30. Selama perjalanan, biasanya Hakim banyak bicara, tangan tidak bisa diam dan juga kakinya. Namun, hari itu ia duduk terdiam di kursi tengah bersama ayahnya. Saya yang duduk di belakang sendiri sembari menggendong Hanna hanya bisa tersenyum dan bersyukur. Ternyata perkataan dan apa yang kami bicarakan sebelumnya dapat ditepati olehnya.

Kegalauan hari itu mulai terasa saat acara nikahan berlangsung di bawah teriknya matahari. Hakim mulai kelaparan dan kehausan, ia kembali mengoceh dan menahan amarah karena saya selalu mengatakan untuk menunggu saat ia meminta untuk pulang. Beruntung suami sigap memintakan es teh untuk meredam dahaganya.

Pulangnya, Hakim lebih tenang dan bisa dikondisikan. Bahkan ia mau mengingatkan kami untuk salat jamaah di masjid. Hari keempat dan kelima berjalan seperti biasanya. Kami berbicara dan bercerita saat berangkat ataukah pulang sekolah. Karena kalau di rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Hanna.

Hari selanjutnya, Hakim kembali membagikan makanan miliknya ke teman sekelas. Ya Allah rasanya, ingin meledak lagi. Saya hanya ingin dia memahami apa arti makna hak milik. Kalau miliknya hanya satu, mau tidak mau dibawa pulang. Bawa barang miliknya hingga ke rumah, di mana itu memang tempatnya. Beda kalau ia memiliki lebih dari satu, silakan kalau mau berbagi, tapi sisakan juga untuk diri sendiri.

Yang terakhir, yang membuat saya kembali tercengang sekaligus bersyukur. Saat saya membelikan Hakim susu M***, ia terlihat dan terdengar jelas menolak, padahal itu minuman kesukaannya. Alasannya karena itu produk Israel. Waw, walau pemikirannya belum sejauh yang saya pikirkan. Ia berani mengambil sikap dan menjelaskan apa yang dilakukan Israel ke Palestina. Bahkan ia bertanya, mana produk yang boleh, mana produk yang tidak boleh dimakan/ diminum. Setelah saya konfirmasi lebih jauh, semua ini memang didiskusikan di sekolah dimana teman-temannya juga mengambil sikap serupa.

Hari pertama
Hari kedua
Hari keenam
Hari ketiga
Hari keempat
Hari ketujuh
Hari kelima

Penyejuk Hati, Mengempaskan Amarah

Berusaha menerima semua yang terjadi dan tidak menerapkan target berlebih, baik kepada anak, suami ataukah ke diri sendiri. Kalau mampu dikerjakan, kalau tidak ya sudah. Istirahat dulu. Besok dilanjutkan. Tak perlu tergesa-gesa. Asalkan prioritas tetap dijalankan, yang lain insyaAllah bisa mengikuti. Dan jangan lupa selalu berdoa dan berikhtiar setiap harinya.

Membaca buku membuat pikiran saya terbuka dalam menghadapi Hakim. Seperti Filosofi teras, Senyaring Tawa Ananda dan berbagai buku parenting ataukah tentang ADHD lainnya membuat pikiran saya lebih terbuka dan berkembang.

Selain itu, sharing dengan orang lain  dan ke prosefional juga membantu dalam menghadapi situasi yang kadang tak terduga. Kuncinya, emosi kita itu secara tak kasat mata tersalurkan ke anak. Jadi, mau tidak mau kita perlu menyaring apa yang kita sampaikan padanya.

Kerjasama dengan keluarga juga sangat penting dalam menunjang keberhasilan program puasa kali ini. Sebagai ibu, pikiran dan keluh kesah kita juga sangat banyak. Punya suami yang bisa jadi pendengar baik itu suatu nikmat. Belum lagi sifatnya yang tanpa mengjudge atau menggurui. Rasanya diri ini merasa dihargai.

Hal yang Perlu Diperbaikai

Sikap menunda pekerjaan. Hal ini seringkali mengikis waktu kebersamaan saya dengan Hakim. Jadinya kalau Hakim meminta haknya untuk bercanda, memeluk dia saat mau tidur ataukah waktunya untuk bermanja saya merasa terganggu dan tersulut amarah.

Saya merasa pekerjaan rumah belum selesai, tapi saya harus “sekadar” duduk bersamanya. Padahal kalau dicermati dan dicerna semua ini bukan kesalahan Hakim. Justru ini adalah kekurangan saya sebagai seorang ibu.

Untuk ke depannya, sikap inilah yang ingin saya ubah. Saya berusaha untuk membuat diri ini semakin sigap dan tidak menunda pekerjaan. Bismillah!

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *