fatherless

Belajar Mengatasi Fatherless dari Upin dan Ipin

Siapa yang tak mengenal Upin dan Ipin? Kepala plontos mereka menjadi tontonan wajib dalam keluarga. Tidak hanya ketika TV menyala, tetapi juga di waktu youtube terputar. Yah, tontonan si bocil ini masih menjadi primadona, bahkan ketika usianya menginjak enam tahun. Selain karena lucu akan tingkah “ajaib” mereka, juga karena perkataan serta lagu yang mudah dihafal dan dinyanyikan.

Upin dan Ipin inilah dia

Kembar seiras itu biasa

Upin dan Ipin ragam aksinya

Kami senangi siapa jua

Upin dan Ipin selamanya

Betul … Betul … Betul

Fatherless di Serial Upin dan Ipin

“Upin Ipin ndak punya bapak … seperti aku,” ujar bocil suatu hari.

Sekali waktu kuanggap biasa saja, tetapi untuk kesekian kali ketika melihat bocil menangis karena melihat Upin dan Ipin merindukan orang tuanya, membuatku tersentuh.

“Kenapa menangis?”

“Hakim sayang bapak dan ibu.”

Bisa dikatakan, si bocil perasaannya lembut. Hatinya mudah trenyuh dan tergerak akan sesuatu yang dilihat, didengar atau dirasakan. Bukan berarti Ayah meninggal (naudzubillah). Ia jarang di rumah karena bekerja di luar kota. Pulang dua minggu sekali, kalau sibuk sebulan sekali. Keberadaanya bisa dikatakan istimewa. Tak jarang pula demi waktu mahal ini, kadang bocil rela bolos ngaji dan sekolah. Yah, walau di rumah hanya gulung-gulung dekat Ayah, senyum dan tawa si bocil adalah segalanya.

Kembali pada Upin dan Ipin, aku pun tergelitik untuk lebih mengamati di setiap episodenya. Dalam kehidupan Upin dan Ipin, sosok orang tuanya tak digali lebih dalam. Mereka anak yatim piatu. Sang ayah meninggal dalam bertugas sebagai tentara (season 8) sedangkan sang ibu pun entahlah, dalam episode hari ibu hanya dijelaskan secara singkat mengenai sosoknya yang mirip yang mirip Opa.

Siapa sosok favorit kalian?

Bila dibandingkan Upin dan Ipin, apa yang kurasakan masih belum seberapa. Ada cerita yang lebih miris, di mana ayah hanya dijadikan sosok pelengkap, bukan sebagai bagian keluarga yang dirindukan. Keberadaannya bahkan tak dinggap. Istilah kerennya fatherless.

Bila ditilik dari masa lampau, fenomena fatherless ini tanpa disadari sudah masuk dalam norma kehidupan masyarakat, yang kemudian dimaklumi dan dilakukan secara turun temurun. Sebut saja Malin Kundang, tanpa sosok ayah ataupun pengganti, ia berakhir menjadi batu di bawah “kasih sayang” ibunya. Belum lagi Timun Mas, Roro Jonggrang, ataupun Joko Tarub.

Cerita leluhur tentang orang tua dalam mendidik anak, sangatlah sedikit. Apalagi khususnya untuk ayah!

Apa yang ada saat ini seakan menekankan pada keluarga kalau sejak dulu sosok ayah itu tak sepenuhnya penting layaknya kehadiran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Ayah memiliki tupoksi berbeda dalam membersamai anak.

Sosok ayah dianggap lebih dominan berhubungan dengan materi. Minta uang ke ayah, minta mainan, bayar buku, bayar sekolah atau mau belanja baru ingat ayah. So, apakah benar ayah itu hanya ATM berjalan?

Mahalnya Keberadaan Ayah di Rumah

Pada dasarnya, mendidik anak itu melelahkan dan dampaknya tak dapat dinikmati secara langsung. Tak jarang pula ada yang beranggapan kalau memberikan pendidikan terbaik bagi anak itu menguras finansial. Selain itu, jauh dari publikasi apalagi pujian dari orang lain.

Seakan tak terlihat, tetapi dapat dirasakan oleh orang lain!

Bila diibaratkan seperti investasi, anak adalah investasi jangka panjang. Tiada yang dapat menjamin keuntungan ataupun kerugian. Yang pasti, sebagai investor kita berusaha untuk mengoptimalkannya.

Sayangnya, tanggung jawab investor ini lebih sering disematkan di pundak ibu. Berbekal ibu adalah madrasah utama bagi anak, segala hal yang berhubungan dengan anak, termasuk moral dan akademik menjadi urusan dan tanggung jawab ibu.

Padahal ni, kalau anak menjadi sosok yang baik nama ayahlah yang pertama disebut.

“Eh itu anak Pak Siram juara kelas lagi.”

“Anak Pak Budi pandai mengaji.”

Namun, kenapa sedikit ayah yang rela berpartisipasi dalam menjalani semua ini?

Ayah Bukan Sekadar Ayah

Dalam sebuah diskusi grup dari beberapa teman yang saat ini menjadi ayah, di antara mereka ada yang memiliki konsep mendidik anak melalui pengalaman semasa kecil. Sebagian yang lain mengupgrade diri, entah meminta istri yang belajar ataukah belajar mandiri. Yang pasti mereka mau mengenal ilmu parenting agar tak mengalami hal serupa dengan mereka dulunya.

Dari sisi ayah, proses perubahan dalam pengambilan keputusan parenting seringkali menemui kendala. Nah, kebiasaan yang sekiranya menghambat mereka untuk berubah, di antaranya:

  • Sering memberi perintah tanpa keteladanan.
  • Selalu dilayani, mulai dari perihal makanan, mandi, pakaian ataukah dalam hal pekerjaan remeh sekali pun. Meletakkan piring kotor di tempat cucian adalah hal sederhana yang sulit dilakukan dan paling sering terjadi.
  • Ayah dipercaya memiliki tugas utama untuk mencukupi kebutuhan finansial, khususnya di luar rumah.
  • Perkataan dan perintah ayah layaknya menjadi mandat yang tak bisa diganggu gugat. Plus sering melupakan kata tolong!
  • Masih ada lagikah? Silakan dilanjutkan.

Peran Ayah di Rumah

Peran ayah pada tahun-tahun pertama dalam kehidupan anak adalah membantu ibu memberikan perawatan. Setelah itu, ayah menjadi kepala keluarga yang berwibawa dan mempertahankan serta melindungi kehidupan keluarga.

J. Verkuyl

Ayah adalah sosok berharga, kehadirannya selalu dinanti di rumah. Menjadi ayah idaman itu tak mudah, tetapi bukan tak mungkin. Kerjasama dengan istri adalah kunci untuk bisa menjalankan peran ini sesuai versi diri sendiri.

Fungsi sosok ayah juga perlu dibangun untuk menjembatani antara keluarga dan masyarakat, antara “dalam” dan “luar.”  Dalam berhubungan dengan diri sendiri dan Allah, sedangkan kekmampuan anak untuk berinteraksi termasuk kategori luar.

Lebih rincinya, menurut Palkovits  (2002)   keterlibatan ayah  dalam  pengasuhan  anak, di antaranya:

  1. Terlibat  dengan    aktivitas  yang  dilakukan  oleh  anak 
  2. Melakukan interaksi dengan anak
  3. Dukungan finansial
  4. Banyaknya  aktivitas  bermain  yang dilakukan bersama-sama.

Dipikir sedang memuliakan ternyata menghancurkan!

Inilah momok yang sekarang tumbuh subur di masyarakat saat ini. Contoh sederhana dapat dilihat dari orang tua yang membelikan game dan juga ponsel karena tak ingin anaknya malu. Kalau apa yang dilakukan anak tanpa pengawasan dan komitmen, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi? Siapa yang patut disalahkan?

Belajar dari Bocil

Pernah sekali waktu, tepatnya sebelum tidur, bocil berkata kalau ayah tak menyayanginya. Padahal sejauh yang kutahu, ayahnya sudah melakukan yang terbaik. Karena penasaran, terjadilah diskusi menarik dengan isi pikirannya yang masih polos dan terkadang di luar nalar.

Orang tua perlu memverivikasi apa yang dilakukan pada anak. Ternyata, apa yang kita sangka bentuk sayang tak selalu mendapat respon sempurna dari anak.

Sejak itulah, komunikasi menjadi prioritas penting. Tak peduli ayah memiliki pribadi pendiam, pemarah atau yang lain, harus ada waktu khusus untuk anak. Anak butuh diakui dari mulut sang ayah. Semisal ayah sayang, berarti ya ayah yang berkata di hadapan anak. Kalau anak protes, ayah mendengarkan. Pun kalau ayah salah, ia minta maaf dan menerima hukuman seperti yang anak terima.

Dari hal di atas dapat dimaknai kalau keaktifan ayah  dalam  pengasuhan dapat  membawa perubahan positif. Terutama untuk perkembangan dan pertumbuhan anak.

Dampak Negatif Fatherless

Anak mengalami krisis identitas dan peran seksual.

Dari hasil penelitian, absennya ayah dalam kehidupan anak berdampak pada perkembangan dan juga identitas seksual.  Anak laki-laki yang erat hubungannya dengan ibu tanpa diimbangi kedekatan dengan ayah dapat menyebabkan gangguan identitas gender. Selain karena tidak ada sosok  keteladanan juga karena minimnya perilaku yang dapat ditiru.

Anak yang mengalami transeksualisme juga lebih banyak mendapat penolakan dari sang ayah. Sedangkan sosok ibu terlalu dalam ikut campur mengenai pengambilan keputusan dalam hidup serta ingin selalu melindungi anak tanpa memberikan solusi yang tepat.

Sebagai tambahan, absennya peran ayah dapat mendorong anak laki-laki mencari laki-laki lain sebagai pasangan seksualnya. Sebaliknya, anak perempuan mengalami kekurangan kasih sayang yang menjerumuskan mereka terlibat aktivitas seksual secara bebas atau dengan banyak pasangan.

Yang lebih buruk, pandangan mereka akan perceraian semakin meningkat. Tingkat kriminalitas dan juga lesbianisme dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Gangguan Psikologis Pada Anak di Masa Dewasa

Perkembangan emosi yang tidak sempurna di masa kecil membuat mereka terlibat akan beberapa masalah, di antaranya:

 (1) Identitas diri tidak lengkap

(2) Ketakutan berlebihan

(3) Kemarahan tidak terkendali

(4) Adanya gejala depresi, semisal sering merasa malas dan juga menyendiri.

(5) Merasa kesepian

(6) Kesalahpahaman seksualitas

(7) Gagal dalam menangani permasalahan

Ketidakpercayaan akan Tuhan semakin meningkat

Ketika iman merosot dan otoritas orangtua memudar, moral dan etika dapat terkikis. Dengan demikian, kemunduran keluarga berada di depan mata dan dapat turun temurun dari generasi ke generasi.

  • Adanya gejala kenakalan remaja
  • Masalah kebiasaan, misal bisa berupa merokok, begadang, clubbing
  • Akademik buruk
  • Pelaku ataukah korban bully
  • Hamil di luar nikah dan bisa menyebabkan aborsi illegal
  • Kecanduan alkohol atau obat-obatan
  • Masalah kesehatan mental
  • Hubungan yang buruk dengan orang lain

Apa yang terjadi pada manusia adalah anugerah sekaligus ujian.

Apiida Sokoomah

Aku adalah Pejuang

Bagaimana bila fenomena fatherless ini memang tak bisa terhindarkan ataukah sudah terjadi. Apakah tidak bisa diatasi? Tentu saja bisa. Dengan keyakinan dan usaha akan ada jalan keebaikan yang dapat dilakukan.

  • Lebih mandiri

Terbiasa mengandalkan diri sendiri membuat anak terbiasa melakukan semuanya sendirian. Tidak bergantung pada orang. Namun, juga memiliki semangat hidup kuat untuk bisa bertahan. Tak dapat dipungkiri, bertahan hidup dalam situasi ini dapat membuat kita menjadi lebih waspada dalam membangun keluarga di kemudian hari.

  • Menghargai adanya sosok pengganti

Orang tua tidak harus ayah/ibu kandung, bisa berupa keluarga/kerabat ataukah yang lain. Dalam serial Upin dan Ipin tak perlu disebut lagi kan? Ada Kak Rose, Opa, Ato Dalang, dll. Selama masih ada yang bisa menunjukkan atau memberi keteladanan akan fungsi ayah yang telah hilang, sekiranya mampu mengisi kekosongan hati anak.

Nah, jika merasa  broken home. Tetap berpikiran positif, kuat dan mandiri. Hidup tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Ada hal yang harus diperjuangkan,kalau perlu dikorbankan. Untuk itulah mencari jalan sendiri dalam kebahagiaan adalah sesuatu yang penting.

Keluarga adalah sesuatu yang berharga tetapi bukan yang ”paling utama”. Sebelum menghargai keluarga, hargailah diri sendiri. Ingat! Selalu ada jalan dalam segala cobaan. Sosok Upin dan Ipin menjadi contoh yang tepat dalam mengatasi semua tantangan ini. Sederhana tetapi merasuk secara makna.

Related Posts

One thought on “Belajar Mengatasi Fatherless dari Upin dan Ipin

  1. I’m amazed, I mhst say. Rarsly doo I come across a blog
    that’s oth esucative aand amusing, and llet me telpl you,
    yyou havce hhit tthe nail on thee head. Thhe issue iis someething thnat nott enough people arre spraking intelligtently about.
    Now i’m vefy haopy thhat I came across tis inn myy hunt foor somthing relaing tto this.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *