Berkaca dari Orang Terdekat untuk Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

Apa yang Pasangan Katakan Tentang Diriku

Berbicara tentang pasangan setelah delapan tahun pernikahan, setidaknya membuka tabir pribadi masing-masing. Rasa sungkan terkikis, yang ada hanya kebebasan dan keterusterangan. Itulah yang selalu kami tanamkan di rumah tangga kami.

Dari yang paling tidak disenangi, saya harus rela kalau masakan seringkali dikatakan tidak enak. Di awal pernikahan, suami hanya diam, tak banyak komplain. Lalu setelah waktu kian beranjak, ia mulai jujur. Mulai dari keasinan, gosong, kurang kering, ataukah hambar, semua rasanya pernah saya dengar. Awalnya dongkol, tapi ya mau bagaimana lagi.

Usaha masak masih tetap walau rasanya ngalor ngidul (tidak karuan). Namun, yang berubah adalah proses untuk diakui menjadi berkurang. Saya selalu bilang, kalau saya mau masak ini (misal kangkung), mau ikut makan tidak? Kalau mau, saya masak untuk dua porsi, kalau tidak ya sekiranya satu porsi dan sekali habis. Pun kalau mau jajan atau makan di luar saya mempersilakan asalkan tahu di mana ia membeli.

Kadang juga, saya selalu memperlihatkan apa yang saya masak. Seringkali saya masak yang sesuai dengan lidah saya. Kalau suami mau, ya makan bareng kalau tidak ya sama seperti sebelumnya. Ia dan bocil makan di luar. Bocil dan suami memiliki selera makan sama, kering dan monoton. Misal, kalau mau makan ayam krispi ya itu menunya seharian, beda dengan saya yang mengurangi minyak dan memperbanyak sayur. Jadilah menu kami biasanya beda.

“Kamu pribadi kuat dan tidak menuntut.”

Perkataan itu sering terucap tatkala suami ditanya tentang istrinya. Yah, mau bagaimana lagi. Menjalani LDR mengajarkan saya untuk lebih mengandalkan diri sendiri. Bagaimana pun, kami berdua sama-sama berjuang. Perbedaan tempat tidak menghapus kewajiban kami sebagai suami istri. Kalau saya terlalu bergantung padanya akan semakin repot, pun sebaliknya.

Berbeda kalau kami tinggal lama dalam satu rumah. Misalnya sewaktu pandemi kemarin. Menurut suami saya termasuk pembantah. Lebih tepatnya berani mengeluarkan pendapat dan adu argumen bila ada ketidaksesuaian.

Apalagi kalau yang berhubungan dengan anak, saya rela memperjuangkan waktu bersama anak. Dalam hal ini mau tidak mau harus “menyeret” suami agar turut serta di dalamnya. Yah, walau di awal serasa pemaksaan, lama kelamaan suami akhirnya juga merasa dan bersyukur karena bisa menikmati kebersamaan dengan anak.

“Kamu tu cerewet banget!”

Yah, mau bagaimana lagi. Hidup berdua dengan bocil setelah sekian lama kemudian bertemu suami dua minggu sekali, mulut ini rasanya sudah menyimpan sejuta kata. Bila tidak dikeluarkan rasanya pusing. Jadinya, kalau suami pulang, sembari meninabobokkan, saya sering curhat apa yang mengganjal di hati. Yah, walau didengar atau tidak setidaknya hati sudah plong.

Anehnya, bila kebiasaan ini hilang begitu saja. Suami sudah bingung. “Kenapa diam? Sakit? Marah? Apalagi? Seperti biasanya lah! La wong Umar sang Khalifah saja diomeli istri diam apalagi diriku ini.” Jadinya kalau sudah seperti itu, saya hanya bisa tertawa.

Nah, dari sekian perkataan yang sering terucap, ucapannya yang selalu bersyukur punya istri sepertiku karena mau menerima dia apa adanya menjadi kebanggan tersendiri. Bagaimana tidak meleleh kalau suami berkata demikian! Padahal sebenarnya, kekurangan saya juga banyak dan penerimaannya itu yang justru membuat saya luluh.

Apa yang Saudara Katakan Tentang Diriku

“Mbak itu kaku dan galak.”

Hal seperti ini sudah seringkali saya dengar dari kedua adik. Sebagai anak sulung yang terbiasa menggantikan posisi ibu di rumah, saya terbiasa melakukan semuanya sendiri. Sulit menerima alasan penundaan, apalagi untuk urusan kebersihan. Jadilah saya sebagai juru pembersih rumah.

Selain itu, saya biasanya menjadi tempat adik untuk dimintai tolong. Entah perihal pengasuhan, keuangan ataukah sekadar curhat perihal hubungan rumah tangga.

Berbeda dengan adik kedua yang sudah berumah tangga sendiri, si bungsu masih di kelas SD. Jaraknya jauh ya! Memang. Saya memiliki adik lagi (no. 3) sewaktu kuliah. Kami berinteraksi saat ia bayi, setelahnya terpisahkan jarak karena saya bekerja di luar kota.

Nah, kalau ketemu nih. Ia seringkali merasa takut dan jengkel. Sering saya mintai tolong. Terlebih kalau saya sudah tegas padanya agar membantu ibu di rumah. Ia sudah pasti manja dan laporan ke ibu.

Sisi lain yang sering mereka komentari perihal penampilan, di antara kami bertiga sayalah yang paling santai. Entah perihal pakaian, perhiasan, makanan ataupun yang lain. Jadinya, bila dibandingkan mereka saya paling kudet.

Apa yang Teman katakan Tentang Diriku

Di antara teman yang lain, bisa dibilang kalau saya ini lebih banyak dijadikan teman curhat. Entah laki-laki atau perempuan, semuanya merasa bebas untuk bercerita. Menurut mereka saya ini keibuan dan enak diajak bicara. Kalau seandainya saat itu saya pasang tarif mungkin dapat menunjang kemakmuran perut. Ho ho.

Semuanya mulai berubah di kala saya menikah. Lingkungan pertemanan kian sempiit. Apalagi setelah saya merantau. Lingkup komunikasi pun lebih banyak bersama tetangga dan wali murid di sekolah anak.

Menurut mereka saya ini bebas. Walau di awal terkenal sebagai pendiam, setelah mengenal mereka jadi ketagihan untuk ngobrol. Pun saya juga tidak mudah baper. Jadinya seringkali di antara kami bisa saling berbagi tips dan trik dalam mengatasi kehidupan.

Ada juga yang mengatakan kalau saya ini sok sibuk. Sulit gabung apalagi nongkrong. Yah, mau bagaimana lagi. Sebagai introvert, sebenarnya saya suka menyendiri. Lebih baik menghabiskan waktu bersama anak dan beraktivitas di rumah.

Pun kalau keluar, ada rasa enggan. Anak termasuk hiperaktif, sungkan kalau mengganggu orang lain. Apalagi bagi mereka yang baru mengenal. Jadilah, seringkali ada masa tidak nyaman di tempat umum.

Perlahan, persoalan ini coba saya atasi, tetapi mood swing itu sangat terasa. Semangat bisa saja jungkir balik jadi masa bodoh. Rasa ingin dekat dengan teman baru tersisihkan oleh diri yang kurang PD. Butuh waktu lama untuk bisa memulihkan diri. Apalagi kalau ada masalah, saya justru sulit cerita ke orang luar. Semua lebih suka dipendam sendiri.

Aku di Mata Anakku

“Kenapa Ibu selalu marahi Hakim.”

Kalimat itu sering terucap dari mulut mungil anak lanang. Apalagi kalau saya sudah kelelahan dan waktunya tidur. Sebagai orang yang memiliki masalah dengan sakit kepala, tidur menjadi prioritas penting. Makan bisa ditunda, apalagi mandi. Namun, kalau tidur harus terpenuhi waktunya. Nah, bila anak berulah di sela waktu tidur ini, keseringan saya ngereog.

Pun kalau bicara, logat Jawa Tiomur saya seringkali keluar. Khas dengan nadanya yang cetar membahana, bocil pasti hanya diam. Kemudian setelah reda, dia akan mendekat dan memeluk. Saat itu semuanya terasa di restart.

“Kenapa Ibu sayang Hakim?”

Pertanyaan itu selalu terucap saat saya berbuat baik padanya. Mulai menemani dari bangun tidur, membersamai main, hingga ia sekolah dan kemudian tidur lagi. Seakan ingin memvalidasi pernyataan saya yang seringkali mengatakan sayang padanya, saya juga perlu memeluk, mengecup kening dan juga ngeloni.

Di akhir, sekaligus sebagai penutup. Bocil sering bilang sayang. Ia ingin menemani ibu. Ia juga senang ditemani ibu. Bayangan ibunya mati dan hilang kadang membuatnya mewek sendiri. Ia seakan tak mau jauh, di mana pun dan kapan pun ibunya harus ada. Nah, kalau ibunya ingin pergi/ ada urusan, harus ada sounding setidaknya sehari sebelumnya. Itu pun harus berulang.

#tantanganzona1

#bundasayang8

#institutibuprofesional

#ibuprofesionaluntukindonesia

#bersinergijadiinspirasi

#ip4id2023

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *