Siapa yang pernah merasa tak berguna dalam hidup? Saya

Hal gila apa yang pernah Sobat lakukan dalam hidup? Kalau saya menggunduli diri sendiri, tidak hanya sekali tapi tiga kali. Bahkan, pernah menyakiti orang lain secara fisik kalau marah tak terkendali.

Apakah Sobat pernah depresi? Saya pernah. Tanpa saya sadari tepatnya.

Sebagai perempuan, apalagi yang baru menikah, banyak hal yang  menjadi impian:

  • Mandiri dalam hal keuangan.
  • Suami bekerja, saya di rumah mengurus anak.
  • Saya bisa menulis dan menerbitkan buku.
  • Permasalahan keluarga jadi rahasia sendiri dan tak mencampuri urusan orang lain.

Masih ada banyak hal, kalau dituliskan bisa menghabiskan tempat. Nyatanya, dari semua keinginan yang ada, sebagian besar justru berada di titik sebaliknya.

Kecewa? jelas. Sayang, sebagian orang justru memberikan “nasihat” yang tak pada tempatnya.

“Makanya, belajar dulu sebelum menikah. Sok, taaruf segala!”

Ibarat mau sekolah, alat tulis, seragam, hingga materi yang mau diajarkan sudah saya persiapkan. Sayangnya, ilmu dalam pernikahan lebih kompleks. Ada dua kepala, dua pemikiran, dua hati pula.

Saat itu, tak ada orang yang bisa dimintai tolong. Tahun 2016, orang tua dalam masa paceklik, masih ada kedua adik. Sebagai anak sulung saya bertekad untuk bisa menyelesaikan masalah sendiri. Termasuk dalam berumah tangga.

Saya memendam semuanya sendiri. Sok-sokan kuat, padahal kenyataannya rapuh. Inilah awal mula “kehancuran” yang tidak saya sadari. Saya tak lagi punya pendirian dan berubah menjadi “orang “ yang seperti mereka inginkan (mertua, teman, bahkan suami).

Saya lebih senang menyendiri. Kadang nangis, menit berikutnya tambah nangis (ho ho). Jarang cerita ke suami, jadi pendiam. Cuek keadaan sekitar. Setahun berjalan, ambyar semuanya.

Puncaknya ketika harus LDR dan tinggal di rumah mertua dengan anak pertama kami. Bukan perihal mertuanya, di sana saya lebih sensitif dan semakin menjadi. Jadilah, hubungan saya dengan mertua pun sempat memburuk.

Kemalasan itu Bisa Menjadi Tanda Depresi

Setelah sekian tahun, saya baru menyadari. Pikiran yang penuh dan jenuh dapat mempengaruhi fisik manusia. Semua ini berhubungan dengan kinerja otak. Otak tersusun dari berbagai neuron yang membawa informasi. Satu neuron dihubungkan dengan neurotransmitter. Semakin kuat faktor penghubung ini, ikatan akan semakin melekat, apalagi yang ada di alam bawah sadar.

Otak pun terbagi ke dalam beberapa bagian, ada sistem limbic (ataukah otak mamalia) karena hewan mamalia pun juga memilikinya. Di bagian ini, ada yang namanya amigdala, pengatur emosi.

Kalau ada yang marah, suka cita, kecewa ataupun takut, amigdala inilah yang berperan besar dalam penyimpanannya. Yang dapat mengetahui emosi ini tentu saja diri sendiri. Kecuali kalau tidak melatihnya, kita tak akan mampu mengatur dan melepaskan emosi secara tepat.

Nah, inilah yang saya alami. Pikiran semakin tertekan. Tanpa disadari, saya percaya kalau diri ini tak berharga. Pekerjaan tak memberikan hasil. Finansial bergantung pada suami. Belum lagi, cara saya mendidik anak dikritik oleh orang terdekat.

Salah satunya, ketika menolak menggunakan Apollo. Dulu kenalnya merk, seperti pasta gigi merk apa pun ya nyebutnya odol. Kalau sekarang istilah kerennya baby walker beroda untuk melatih bocil berjalan. Ataupun ketika memperjuangkan penyapihan ASI saat bocil 2 tahun.

Akibatnya, saya menangis tanpa sebab bila beradu argumen dengan suami. Ataukah bila mendengar omongan yang tak enak dari orang lain. Pernah pula hanya karena keringat, saya menggundul kepala sendiri. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali.

Malas ataukah prokrastinasi menjadi tanda yang ditangkap suami. Hanya tiduran, masak pun tak bersemangat apalagi membersihkan rumah. Bingung mau melakukan apa. Melakukan ini salah, itu salah. Diam apalagi.

Selain itu, menunda pekerjaan menjadi hal yang biasa. Jadilah berat badan naik maksimal, sampai 15 kilo. Sebutan gendut pun melekat di nama dan dijadikan bahan lelucon.

Pengalaman Buruk Menjadi Jalan Keluar

Tekanan hidup yangmenumpuk membuat hidup terasa berat. Mengurus suami beban. Apalagi mengasuh anak. Puncak dari semuanya ketika saya melepaskan diri dari pekerjaan dan fokus di rumah.

Berbagai cara saya lakukan untuk melepas stress berlebih. Salah satunya dengan meneruskan hobi, membaca anime atau manga. Genre yang saya pilih beragam, bosan dengan romance pindah ke adventure. Tak menemukan yang bagus pindah ke dojinshi. Dalam beberapa hari pilihan cerita habis, menjelajah ke platform lain. Hingga saya melahap juga cerita yaoi dan yuri.

Kecanduan saya semakin menjadi, platform dan grup yang mayoritas didominasi remaja saya masuki. Entah fujoshi, fudanshi atau hanya penikmat anime semuanya berkumpul. Banyak dari mereka mengandalkan cerita ataukah terjemahan gratis. Apalagi setelah sebagian platform penyedia anime/ manga berbau ponografi itu mulai dicekal pemerintah.

Saat itu, rasanya ada pegolakan. Seperti inikah dunia mereka? Mereka berbagi lo, bukan ilmu tapi link dan juga pengalaman seputar berbau selangkangan. Benarkah mereka sebahagia ini? Kenapa bisa tenang dan seakan nyaman, padahal yang menulis pun ada yang perempuan.

Apa yang mereka bahas dalam grup? Banyak! Kegalauan, pengalaman seksual mereka, kenapa mereka lebih suka melihat yaoi daripada romance. Kadang saling merekomendasikan situs ilegal. Yang tak kalah menarik, mereka berbagi tips untuk menghindari kecurigaan orang tua.

Saat itu, ada rasa marah, tapi sepertinya saya tak bisa berbuat apa-apa. Pertengahan tahun 2019, Allah mempertemukan saya dengan teman kuliah, sebut saja Umi. Kami bercerita banyak, pengalaman, tentang hidup, dll.

Satu hal yang paling saya ingat, pengalaman Umi dari satu lelaki ke lelaki lain. Tak tanggung-tanggung, ia bisa mendapatkan jutaan bahkan puluhan juta sekali menemani “temannya” di Bali ataukah di tempat yang mereka inginkan. Kadang, berdasar rasa suka, ia senang menjalani hubungan tanpa status.

Berbeda dari Umi, Doni bukan nama sebenarnya memiliki orientasi seksual berbeda. Ia memiliki rasa dengan rekan kerjanya (padahal sesama jenis). Masih SSA (Same Sex Attation), karena ia takut dan ragu untuk melangkah lebih jauh.

Membangun komunikasi langkah awal melawan stres ataupun depresi.

Sejak saat itu, saya kembali menggali pengetahuan seputar seksualitas. Buku dan seminar seputar LGBT, feminisme hingga perkembangan dunia remaja membuat saya memahami satu hal, ada yang salah dalam pendidikan seksual mereka. Bukan agama yang menjadi landasan, arus dunia baratlah yang justru menjadi kiblat.

Sokoomah, Langkah Pendek demi Menggapai Tujuan Jarak Jauh

Segala sesuatu bergantung dari sudut pandang. Pun dengan seksualitas. Sesuatu yang dianggap tabu, belum tentu keburukan. Jika Sobat tahu ilmunya, segala sesuatunya justru bisa mendatangkan manfaat.

Berawal dari niatan ingin tetap eksis dari rumah, saya mulai menyuarakan pentingnya pendidikan sesksualitas melalui facebook. Alhamdulillah, mendapat tanggapan positif. Dengan bantuan beberapa teman, kelas online pun terbentuk.

Tahun 2020, pandemi mulai melanda. Ada keterbatasan finansial.  Kegiatan pun diadakan “sebisanya”. Seringkali, saya memanfaatkan bekerjasama dengan komunitas lain ataupun grup kajian.

Mengisi Komed Jawa Timur tema Trauma Healing

Beragam tanggapan saya terima dan orang tua yang masih menganut sistem kolonial seakan tak percaya. Namun, tak jarang pula ada yang semangat sekali. Dari satu kelompok ke kelompok lain, tetap setia mengikuti bahkan menceritakan perkembangan yang dialami anaknya.

Seksualitas itu luas, bukan hanya perihal hubungan di atas ranjang. Ada Orientasi Seksual (ketertarikan seksual baik secara fisik ataupun non fisik). Dari sini kita mengenal, homoseksual, heteroseksual, biseksual, aseksual ataupun queer.

Ada juga istilah perilaku seksual, mulai dari pelukan, ciuman, seks by phone, oral sex, onani, masturnasi, anal sex, penetrasi, ataupun remasan tangan. Identitas gender (pengakuan individuatau diri sendiri atas penentuan diri), di antaranya transgender, waria, priawan, laki-laki ataupun perempuan. Serta masih banyak lagi pengetahuan lain, yang bisa dipelajari, khususnya pendidikan seksualitas dalam Islam.

Perlu adanya pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi untuk mensosialisasikan itu semua kepada balita, remaja ataukah kepada sesama orang tua.  Kesehatan mental juga perlu ditata, bagaimana kita mau memberikan pengetahuan sesksualitas yang positif jika mental terasa lemah.

Pun ketika ada permasalahan suami istri, seksualitas menjadi kebutuhan. Ibarat makanan dan minuman, seksualitas diperlukan dalam keberlangsungan hidup. Bagaimanapun, kehidupan seseorang ditentukan dari dalam kandungan. Kalau orang tuanya tak peduli apalagi mengenalkan seksualitas sejak dini, bagaimana generasi kita mau maju dan berkualitas?

Melalui Sokoomah saya memiliki kerajaan tersendiri. Perlahan, saya juga bisa menata hidup. Ada kebebasan untuk mencari ilmu, menulis atau memberikan konseling. Hal ini memberikan privasi dan juga waktu untuk selalu belajar dan berkembang.

Ibu Profesional dengan Konferensi Ibu Pembaharu

Ibu Profesional (IP) berdiri sejak tahun 2011 dengan value Belajar, Berkembang, Berkarya, Berbagi dan Berdampak. IP semakin meyakinkan saya untuk terus bergerak dan konsisten. Di dalamnya terdapat perempuan hebat dari beragam pofesi.

Saya tidak salah jalan, layaknya dalam sebuah rute, Ibu Profesional menunjukkan jalan untuk mengoptimalkan diri. Inilah salah satu alasan saya ikut IP dan mengikuti rangkaian programnya. Di IP saya tak perlu menjadi orang lain, saya bisa mengekspresikan ketidaktahuan, kegaptekan bahkan kegalauan tentang apa yang terjadi.

Satu energi negatif yang saya keluarkan, disambut energi positif dari setiap membernya. IP membuat saya bahagia dengan pinsipnya, Leave No One Behind (tidak meninggalkan satu orang pun).

Di IP sendiri, saya memang baru menjajaki foundation 11. Ibarat sebuah rumah, masih kenal tamannya, belum ruangan, jalan ke kamar, hiasan dinding, ataupun segala sesuatunya. Masih ada beberapa langkah dan juga syarat yang harus saya lakukan agar diizinkan masuk ke setiap bagian rumah.

Sebagai salah satu agenda dari 1 dekade IP dalam Konferensi Ibu Pembaharu, IP mengajak semua ibu untuk menjadi pembaharu, pembawa perubahan atau pembuka jalan. Istilah kerennya changemaker. Ibu Pembaharu sendiri dimaknai sebagai ibu yang mampu menemukan masalah dan mengubahnya menjadi tantangan sehingga tercipta solusi.

Sudah saatnya kita membangun rumah ramah solusi. Yang menyediakan sarana penyelesaian masalah, baik untuk diri sendiri ataupun anggota keluarga yang lain. Yuk, kita bergerak. Dari rumah untuk dunia.

Melakukan sesuatu yang bermanfaat dapat membuat hati dan pikiran tenang lo.

Saya sudah memulai, bagaimana dengan Sobat semua?

  • Yaoi: Komik yang memuat cerita lelaki dengan lelaki (gay)
  • Yuri: kebalikan dari yaoi (lesbi dalam bentuk komik/ manga)
  • Dojinshi: bagian dari kategori yang lebih luas dari dōjin termasuk, tetapi tidak terbatas pada, koleksi seni, animehentai (beradegan dewasa), dan permainan
  • Fujoshi: perempuan penikmat yaoi
  • Fundanshi: laki-laki penikmat yuri

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *