Kenalkah sobat akan cerita ini?
Cerita dimana wanita desa yang baik hati dan luhur perilakunya mendapatkan kesempatan dari seorang peri untuk memakai gaun bagus dengan kereta kuda untuk datang ke pesta kerajaan layaknya putri dari sebuah kerajaan. Hanya saja ini semua cuma bertahan sampai jam 12 malam saja.
Ketika sedang dansa dengan pangeran yang tampan rupawan, baik dan ramah ia melupakan kesempatannya yang terbatas. Maka dengan sesegera mungkin dia meninggalkan kerajaan—yang berarti meninggalkan pangeran yang tampan rupawan itu berdansa sendirian.
Saat ia berlari menuruni tangga sepatu kacanya tertinggal sebelah. Ia terpaksa meninggalkan sepatunya untuk kembali ke kehidupan yang nyata, sebagai pembantu di rumah sendiri. Dibawah kuasa sang ibu tiri dengan kedua saudara tirinya.
Tanpa Cinderella sadari, pangeran tersebut sudah jatuh cinta kepada sosok barunya. Ia pun mencari ke seluruh wilayah kerajaan. Berbekal sepatu kaca yang tertinggal tanpa kenal lelah ia mencari wanita pujannya. Rumah ke rumah, pintu ke pintu, kaki ke kaki sudah dicoba oleh pangeran untuk mencari kaki yang pas untuk sepatu kaca tersebut. Hampir putus asa atas usahanya karena tidak ada kaki yang pas untuk sepatu kaca tersebut pangeran hendak pulang ke kerajaannya.
Takdir berkata lain. Hampir dia pulang ke kerajaan dengan tangan hampa, sang pengawal menyadari ternyata masih ada satu kerluarga yang belum mencoba sepatu kaca itu. Itulah keuarga Cinderela. Walau berbagai trik dilakukan oleh sang ibu tiri untuk menghalangi, Cinderela mampu mencoba sepatu itu. Sahabat Cinderela yang berupa hewan ternak bahkan tikus sekali pun membantunya. Hingga akhirnya dia juga dapat mencoba menunjukkan pasangan sepatu yag masih disimpannya.
Melihat mata Cinderela, sang pangeran yakin dialah wanita yang selama ini di cari untuk menjadi pendampingnya. Pangeran pun membawa Cinderella ke kerajaannya. Mereka pun menikah, hidup bahagia selamanya.
***
Saya yakin sebagian besar dari kita bahkan siapa pun pernah melihat, membaca bahkan meresapi cerita tersebut. Atau pernahkah kita berangan menjadi sosok seperti Cinderela? Berangan seperti ini: “Aku ingin dinikahi oleh lelaki yang kucintai dan mencintaiku, berharap bisa hidup bahagia selamanya dalam pernikahan”.
Sebagai seorang wanita, pemikiran seperti ini memang tidak salah. Sosok Cinderela yang sudah mengakar di otak seakan menggambarkan keinginan setiap wanita di dunia. Namun, benarkah demikian? Bukankah terkadang realita tidak berpihak!
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pernikahan itu pasti menjanjikan suatu kebahagiaan, seperti yang tergambarkan dalam dongeng tadi? Tentu saja jawabannya, maybe yes maybe no.
Pernahkah Anda membandingkan dongeng seperti di atas dengan kehidupan keluarga Rasulullah SAW SAW di jamannya? Adakah hubungannya?
Perlu kita ingat!
Dunia khayalan yang didominasi angan, berisikan keinginan kita yang terkadang tidak tercapai dalam kehidupan nyata. Angan itulah yang menjadi celah setan jika kita tidak bisa mengendalikannya, seperti cerita Cinderela. Dalam dunia nyata Cinderela adalah fiktif sedangkan kehidupan Rasulullah SAW dengan segala keutamannya adalah realita. Karena itu kita perlu meninggalkan dunia khayalan dan menghadapi realita yang ada di hadapan kita.
Nah, dengan majunya peradaban seperti sekarang makna pernikahan bagi setiap orang berbeda. Walau sudah diteladankan oleh Rasulullah SAW, pemikiran dan orientasi dalam melaksanakan pernikahan memilki arti tersendiri.
Inilah realitanya! Respon seseorang dalam menanggapi hubungan pernikahan, antara lain:
Menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Menikah sebagai bagian dari idealisme untuk memakmurkan bumi dengan keturunan yang sholeh, mampu membawa kedua orang tua menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Pernikahan orang-orang ini, sangat selektif dan memiliki visi-misi jangka panjang sampai akhirat. Inilah makna pernikahan yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW.
– Menikah berarti beban
Hal ini tercermin dalam makna pernikahan di kehidupan modern. Dimana segala kebebasan dan persaingan dijunjung tinggi, termasuk dalam hubungan intim laki-laki dengan wanita. Pernikahan bukan lagi sesuatu yang sakral. Menikah dianggap sebagai sesuatu yang sangat merepotkan. Harus memiliki anak, terikat dengan satu orang, menambah kebutuhan hidup dan sebagainya. Biasanya pemaknaan seperti ini tercermin dari kehidupan masyarakat di Negara maju, misal: Amerika, Korea selatan, dan Jepang.
– Menikah hanyalah berupa syarat untuk melegalkan asmara
Sudah sekian tahun berpacaran dan mengenal. Lantas apalagi yang ditunggu? Daripada nanti berzina. Menikah diartikan sebagai penyatuan cinta semata. Hubungan seperti ini rentan dan menganggap remeh perceraian. Dimana pelakunya lebih mengedepankan ‘kebahagian’ sesaat dalam pernikahan daripada perjuangnya.
– Menikah karena cinta yang memabukkan
Tak sabar ingin memadu cinta, pacaran menjadi halal. Siang dan malam yang terbayang hanyalah wajah si dia. Lagu-lagu cinta melankolis menjadi alunan indah dari hati yang merindu. Bila sang kekasih dekat, ia takut berpisah. Bila sang kekasih jauh, hatinya resah gelisah menahan kerinduan. Dalam buaian cinta dengan segala pernik janj manis mengawali hubungan di depan penghulu.
– Tidak ada kamus ‘Menikah’ dalam kehidupan
Mereka yang mengambil keputusan seperti ini biasanya memiliki lubang luka dalam hati bahkan bisa sampai membentuk jurang dalam waktu yang relatif lama. Mengapa bisa demikian? Ada berbagai sebab yang mendasari, salah satunya karena pengalaman yang dialami. Bisa saja akibat dari keluarganya yang berantakan, dalam proses membenci sesorang hingga adanya perilaku yang tidak menyenangkan oleh orang yang mengatasnamakan ‘keluarga’. Tapi ada juga yang berpendapat hidup itu hanya sebentar jadi ia ingin mendedikasikan dirinya untuk membantu orang lain tanpa memikirkan akan kebutuhannya.
Nah, bagaimana dengan pernikahan sobat?
Pernikahan buat wanita bukanlah fase terakhir dari kehidupan, ia justru adalah awal dari kehidupan yang baru. Sebagai fase yang baru, maka pandangan seorang wanita yang sudah menikah bisa saja berubah, bahkan pola pikir dan kehidupan wanita itu pun akan ikut berubah. Misalnya dalam masalah karir, ada wanita yang menjadi bahagia karena prestasi karirnya makin membaik setelah menikah. Tapi ada yang justru sebaliknya; melihat karir di luar rumah tidak lagi penting setelah menikah, melainkan menggantinya dengan bentuk karir yang lain.
Dari semua itu terlihat dengan jelas, pernikahan bisa menjadi rahmat dan juga neraka buat wanita. Benarkah? Menjadi rahmat jika wanita itu dapat menempatkan diri dan memaknai pernikahan sebagai jalan menuju Ridhonya. Bukan hanya karena ia merasa tercukupi kebutuhan lahiriyahnya saja. Namun, kebutuhan yang jauh lebih berharga dari itu juga dapat tercukupi dalam hidup. Diantaranya, yaitu: kebutuhan spiritual, sosial, dan intelektual.
Tetapi sebaliknya, bila dalam rumah tangga, tidak ada cinta, kebutuhan spiritual, sosial, intelektual suami istri. Apalagi bila dilengkapi dengan tidak adanya rasa saling ketergantungan (emosi khususnya) satu sama lain, selalu ada kompetisi yang tidak sehat antara suami istri, baik dalam studi, karir atau kehidupan sosial. Rumah tangga ini bisa menjadi neraka buat wanita.
Jadi untuk keputusan menikah silakan dipikirkan dengan matang, mau dibawa kemana keluarga yang akan kita bangun nantinya. Jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari.
Wallohu’Alam Bisshowab!
Salam sayang dari keluarga D.