“Bu Dian selalu membuang nasi banyak, entah apa yang dimakan!”
Itulah perkataan tetangga yang tanpa sengaja mampir di telinga. Saya sempat tersinggung, tetapi setelahnya ada perasaan menyesal. Benarkah apa yang saya lakukan? Kalau hanya satu tetangga yang mengatakan mungkin itu karena pendapat subjektif, tetapi ini tiga orang mengatakan hal yang sama.
Sebelumnya, saya jelaskan dulu mengenai di mana saya tinggal. Saya tinggal di daerah Bantul, di sebuah rumah sederhana dalam kawasan pedesaan yang jarak rumah antar tetangga bedekatan. Di sela gang juga masih terdapat pekarangan/ tegalan/ tanah kosong. Kebetulan tanah yang kami miliki sudah penuh bangunan, tidak tersedia lahan untuk membuang sampah basah (biasanya berupa sisa makanan), kalau untuk sampah lainnya diambil secara rutin oleh tukang sampah.
Sebagai altenatif, saya meminta izin kepada pemilik tanah pekarangan untuk membuang nasi di sana. Kebetulan tempatnya di samping dapur, mereka pun mengizinkan. Di tempat ini jugalah biasanya, ayam dan kucing berkumpul untuk berburu rezeki dan memuaskan cacing perut mereka.
Pagi dan sore menjadi waktu rutin bagi saya untuk membuang sisa nasi. Kenapa tidak dibuat makanan lain? Kan sayang! Mungkin karena saya juga kurang tertarik untuk memasak, atau bisa juga kaena kondisi yang tidak memungkinkan. Kok bisa? Iya, nasi yang saya tanak mudah basi dan daya tampung makanan di perut kami terbatas.
Baca juga ara mengolah nasi sisa! https://hot.liputan6.com/read/4366776/15-resep-olahan-nasi-sisa-ada-sempol-sampai-puding
Yah, sedikit berbagi cerita agar kita juga bisa memanfaatkan nasi dengan sebaik-baiknya dan menghindai apa yang telah saya akui sebagai kesalahan!
Memahami kesulitan menanam padi.
“Dadi wong tani ki angel, beras iku larang.” (Jadi tani itu susah, beras itu mahal.)
Saya memang belum pernah sekali pun turun ke sawah, tetapi si mbah dan juga mertua keturunan petani tulen. Dulu, ketika si Mbah berbicara seperti itu, saya hanya mengiakan tanpa tahu artinya. Sekarang, kalau dipikir-pikir, larang (mahal) itu bukan dalam artian harga/ nominalnya saja, tetapi usaha yang dilakukan untuk menjadikan beras itu lama dan berat.
Dimulai dengan nyebar wineh, istilahnya pembibitan yang memakan waktu dua mingguan. selanjutnya ndaut (mengambil benih) sebelum ditandur (menanam bibit). Demi menjaga kesuburan pun harus urut banyu (istilah simbah untuk pengairan), ngemes memberikan pupuk, matun (mencabut rumput yang tumbuh di sela padi). Ah, belum lagi kalau tunggu manuk hingga hereg (panen). Semuanya membutuhkan waktu bebulan- bulan.
Saya penah turun langsung ke sawah, apalagi sawah metua tenyata di lereng tebing jadi berundak. Jalan yang dilalui pun sempit dan licin, belum lagi kalau ada ular atau hama yang menyerang padi. Ah, mengingat bagaimana tubuh renta meeka melewati jalan itu setiap hari sudah membuat hati trenyuh dan yang pasti berdosa.
Mencintai nasi = mencintai alam.
Kok bisa? Tentu bisa dong! Siapa yang tidak tahu kalau dalam proses penanaman padi itu pasti membutuhkan pupuk. Nah, dalam proses ini kita bisa bayangkan, semakin banyak nasi yang dimasak (entah sampai di makan atau tidak) kebutuhan akan pangan ini juga meningkat. Akibatnya? Tanah terfosir untuk selalu menghasilkan padi. Kalau proses ini berkelanjutan? Bukankah kasihan tanah karena bisa keracunan.
Di bawah ini, baru keracunan (Fe) efeknya sudah luar biasa, belum kalau keracunan yang lain!
“Keracunan zat besi (Fe) pada tanah bisa membuat pertumbuhan padi terhambat sehingga menurunkan produktivitasnya antara 30 % – 90 %. Semua itu tergantung pada kualitas ketahanan varietas padi tersebut, fase keracunannya hingga usia dari pertanaman,” ungkap peneliti utama dari Balai Penelitian Tanaman Rawa (Balittra), Prof. Dr. Masganti
Pun untuk memasaknya kita memelukan bahan bakar, kalau di desa yang masih menggunakan luweng, kayu menjadi bahan bakar pokok. Kalau di kota? Palingan gas elpigi tiga kiloan itu untuk menanak nasi atau listrik bagi pengguna rice cooker. Semuanya berasal dari mana? Kayu dari alam, gas pun demikian, apalagi listik. Nah, bukankah semakin hemat, masa penggunaannya juga bertahan lebih lama?
Berhemat walau ada kesempatan boros.
Dalam hal ini, suami selalu cerewet untuk mengingatkan. Apalagi saya termasuk anak yang hidup serba kecukupan. Ini menurut saya, padahal demi memenuhi kebutuhan saya, orang tua rela mengikat perut mereka. Ini baru saya sadari ketika mempunyai anak.
Sebagai ibu rumah tangga (yah yang merasa teman seperjuangan pasti mengerti) saya terbiasa di rumah, apa-apa dicukupi suami, minta ini dan itu suami sih yes, entah kalau Mas Anang. Eh dimarahi Asyanti nanti, maafkan saya. Makanan banyak yang tersisa, apalagi nasi. Jadilah, saya juga jarang masak. Alesan kalau ini!
Setiap kali masak, food waste (biar gaya sesekali pakai bahasa inggris) juga tambah banyak. Anak, suami, dan saya memiliki kesukaan makanan yang berbeda. Kadang kalau sudah sumpek, saya biarkan suami yang milih makanan yang disukai, nyatanya kami masihlah tetap robos (istilah kami untuk boros).
lebih lengkap tentang food waste baca di https://www.kompas.com/food/read/2020/10/10/171100375/apa-bedanya-food-loss-dan-food-waste-limbah-makanan-yang-jadi-masalah?page=all
Semuanya berubah sewaktu corona datang, keuangan berpengauh, harga makanan pun melambung. Ada penyesalan yang semoga tak terulang lagi ke depannya. Kalau saja kami dulu bisa lebih memperhatikan keuangan dalam menghadapi situasi sulit seperti ini. Ah, sudahlah, ukup beandai-andainya. Yang penting sekarang sebutir nasi sangat berguna.
Musim hajatan.
Nasi yang berlimpah bukan hanya karena kita memasak telalu banyak, kadang karena pemberian oang lain. Termasuk karena hajatan. Kalau di daerah saya ada istilahnya musim kawin. Dalam seminggu ada dua hingga tiga undangan yang harus dipenuhi. Bisa dibayangkan pula berapa banyak makanan yang harus dihabiskan?
Biasanya kalau hal sepeti ini terjadi, ibu adalah pengolah makanan terbaik. Kalau sekarang? Saya lebih memilih untuk memberikannya ke ayam. Iya, ayam peliharaan si bocil. Sebenarnya, saya tak beniat untuk memelihara ayam, tetapi bocil yang nekat melakukannya.
Suatu hari, si bocil lihat ayam warna-warni di pasar,matanya yang bulat itu langsung berbinar, maka kami pun membelinya. Biasanya hewan yang dibeli bocil itu tak bertahan sehari karena sering dipegang atau diuyel-uyel. Nyatanya si ayam ini hidup sampai sekarang. Amazing. 5. Ada masalah dengan rice cooker.
Ini yang saya alami. Entah bagaimana kejadiannya, rumah kami bebeapa waktu lalu sering mati lampu. Apalagi di musim hujan, dalam sehari bisa 2-3 kejadian dalam hitungan menit, kadang jam. Yang lebih menyebalkan kalau dalam hitungan detik. Belum sempat mematikan kulkas dan yang lain, lampu menyala. Akibatnya ada konslet yang terjadi, pun dengan rice cooker.
Pernah sekali waktu diperbaiki, tetapi kembali ke semula. Pembuangan airnya yang biasanya mengeluarkan uap panas itu mampet. Jadi, air kembali menetes ke nasi dan menyebabkan mudah basi. Kadang belum sampai 24 jam, nasi sudah harus dibuang. Beli yang baru, pun kejadiannya berulang kalau sering mati lampu.
Yah, sudahlah. Jadi kalau sekarang kami lebih memilih untuk memasak secukupnya, walau hanya satu cup kecil asalkan habis tak masalah. Lebih baik masak lagi dari pada nasi menjadi basi.
Menyepelekan nasi
Inilah yang sering terjadi, terutama bagi anak-anak dan anak muda. Jangan tersinggung ya. Pernah suatu kali, kami makan di warung soto. Kebetulan meja dekat kami sepasang muda-mudi, sepertinya baru pacaran. Si cewek memesan makanan dengan nasi terpisah dengan soto, tetapi setelah sampai di meja, ia menuangkan nasi itu begitu saja di mangkuk. Tahu setelahnya? Soto itu tidak dihabiskan dengan alasan sedang diet dan sotonya tidak enak.
Pun dengan anak-anak, kadang kalau di tempat umum ada orang tua yang segan untuk makan sisa nasi anaknya. Padahal, sang anak dibelikan porsi yang sama oleh kedua orang tuanya. Kalau seperti itu, sebaiknya sebagai orang tua kita harus bijak, karena tahu kemampuan dan kapasitas makanan yang ditampung anak, kita bisa memperkirakan jumlahnya dan menyisihkan bagian yang lain.
Itu pengalaman saya, kalau kalian bagaimana? Adakah pengalaman yang menarik dengan nasi?