Siapa yang pernah bosan dengan rutinitas harian? Saya.
Siapa yang pernah merasa dizolimi karena keadaan? Saya juga.
Apakah pernah berdoa hingga nangis bombay agar hidup bisa berubah lebih tenang dan jauh dari rutinitas? Jelaslah, bahkan tidak hanya sekali. Seringkali saya rela bangun tengah malam agar dikuatkan dari derita yang tiada habis ini.
Sebagai ibu rumah tangga, apalagi di tanah rantau, saya terbiasa melakukan semuanya sendiri. Suami berada di luar kota. Pulang belum tentu waktunya. Waktu terbiasa saya habiskan bersama bocil.
Bangun tidur, salat, memasak hingga beberes rumah selesai tepat pukul tujuh. Bila berlebih, bocil akan telat sekolah. Belum lagi kalau ia sulit dibangunkan, butuh tenaga ekstra untuk membangunkan, memandikan hingga mengantarnya sekolah. Sembari menunggu bocil biasanya saya jualan, kalau bukan buku ya kebutuhan sehari-hari.
Sepulang sekolah, saya melanjutkan untuk mencuci, berbelanja ataukah membuat kue. Seringkali waktu terasa berjalan begitu cepat. Hari sudah beranjak sore, mengantarkan anak ngaji belum lagi menunggu. Kalau malam biasanya saya sudah kelelahan dan bocil lihat acara kesayangannya, Upin dan Ipin.
Rutinitas itu berjalan begitu saja hingga menjelang keesokan hari. Berputar di rumah, tanpa waktu untuk bisa menyempatkan diri ke luar. Boro-boro ngobrol dengan tetangga, menemani anak bermain saja kadang terasa berat.
Covid-19 Mengubah Segalanya
Kali pertama Covid-19 melanda Indonesia, ada kebahagiaan menyelinap di hati. Suami jadi bisa pulang ke rumah, bahkan bisa lebih lama dari hari-hari biasanya. Bocil yang biasanya keluyuran jadi betah di rumah.
“Yang kena Jakarta, masak sampai Jogja. Ditangani pemerintah pasti sudah rebes.” Berbagai pemikiran lain yang tak masuk akal pun semakin subur di kepala. Untuk menenagkan pikiran, saya tidak pernah mengikuti penyiaran berita Covid-19. Bersama suami juga kadang masih jalan-jalan dan rekreasi bersama anak.
Seminggu, sebulan, dan hari-hari setelahnya mulai terasa berat. Riuh suara anak bermain di sekitar rumah menghilang. Anak juga sering rewel dan suami tidak tahu kapan bisa bekerja lagi. Tanpa disadari, keuangan kami pun menipis. Belum lagi larangan mudik dan juga adanya lockdown. Semuanya terasa berat.
Kejadian memuncak ketika suami, mertua bahkan sanak saudara dan tetangga positif Covid-19. Berita duka berdatangan silih berganti, hingga aparat desa melarang adanya penyiaran orang meninggal di musala atau masjid.
Influenza 1918 yang Terlupa
Covid-19 bukan pandemi pertama yang dialami oleh Indonesia. Flu Spanyol/Influenza 1918 merupakan peristiwa mengerikan yang tak kalah menakutkan dari Covid-19. Salah satu penyebab angka kematian yang tinggi di masa itu ialah adanya kenyataan bahwa masyarakat lebih terbiasa pergi ke dukun atau tukang jamu daripada ke dokter.

Pandemi seperti Covid-19 tak bisa sepenuhnya menghilang. Sama seperti pandemi Influenza 1918 yang tidak pernah dinyatakan secara resmi berakhir. Sejarah membuktikan kalau pandemi itu tidak sepenuhnya menghilang karena ternyata muncul pandemi yang baru menggantikan pandemi sebelumnya. Baik dengan gejala serupa, mirip ataukah berbeda sama sekali.
Para pengamat kesehatan masyarakat beranggapan akhir dari pandemi tidak dapat dipastikan karena merupakan puncak epidemiologi dari penyebaran virus tersebut, artinya kecepatan penyebaran virus menurun dengan sendirinya disebabkan oleh alasan yang belum dapat diuraikan oleh dunia kesehatan. Salah satu asumsi yang dikemukakan ialah menurunnya daya penularan virus karena telah timbul kekebalan tubuh manusia terhadap virus tersebut.
Peristiwa yang terjadi pada masa silam selalu memiliki kebijakan yang bisa dijadikan pelajaran penting untuk menangani kejadian yang tidak jauh berbeda dari yang terjadi di masa sekarang. Dalam hal ini, sayangnya dokumentasi atau catatan mengenai Influenza ini masih terbatas.
Salah satu alasannya karena saat itu penyebaran informas tentang pandemi dikalahkan oleh panasnya Perang Dunia 1. Selain itu, karena korban yang terkena dampak bukan berasal dari kalangan atas ataukah pejabat, kebanyakan yang meninggal adalah masyarakat miskin.
Sejarawan Kesehatan Amerika Serikat, Alfred W. Crosby
Mengukir Sesuatu yang Luar Biasa dari Kebiasaan
Memaknai peristiwa yang terjadi, entah baik ataukah buruk adalah suatu keharusan. Perlu adanya adaptasi dan perubahan untuk berbenah. Belajar mengenai sejarah memberikan wawasan tambahan dalam menghadapi tantangan. Pun dengan Covid-19 ini.
Kalau saja masa pandemi berlalu. kalau saja pandemi bisa dihilangkan. Sayangnya, kita sebagai manusia penuh dengan kekurangan. Allah yang telah membuat semuanya menjadi seperti ini pasti ada rencana lain. Karena itulah, karena tidak mau berpangku tangan ada beberapa hal yang memang akan saya harus biasakan setelah pandemi berlalu, di antaranya:
Membuat jurnal mandiri

Salah satu bukti sejarah yang akurat adalah dari tulisan. Saat peristiwa Influenza 1918, kebanyakan beranggapan kalau yang lebih penting adalah perang. Perhatian terhadap pandemi berkurang. Padahal, ketika zaman berkembang dan dinamis, musuh yang nyata bukanlah perang lagi melainkan pandemi. Kalau saja kita bisa memiliki banyak arsip tentang pandemi, tentu hal ini akan lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Jurnal adalah ara untuk mengukir sejarah itu. Jurnal membuat saya bisa menceritakan apa yang saya alami, pun dengan orang-orang di sekitar. Jurnal lebih mendalam daripada catatan buku diari, karena di dalamnya terdapat pengalaman sekaligus pengetahuan yang membuat kita dapat merefleksikan diri.
Pun dengan jurnal kita dapat melatih diri untuk menyampaikan pesan melalui tulisan. Bukankah tulisan itu juga bisa mencerminkan emosi yang ada dalam diri? Hal ini layak untuk dicoba dan dijadikan kebiasaan, agar apa yang kita alami dapat menjadi pembelajaran dan juga jadi hikmah bagi orang lain.
Saat ini, jurnal tak hanya dalam bentuk fisik layaknya buku, binder ataukah catatan kecil. Dalam bentuk blog, status di media sosial ataukah cerita di youtube tergolong jurnal pribadi yang penting. Sebagai pemicu kita bisa mengikutkan dalam bentuk lomba sesuai passion juga. So, mudah kan untuk memulai cetak sejarah diri?
Menjalin ikatan emosi dengan Keluarga
Bersama belum tentu bahagia. Ungkapan ini tidak sepenuhnya salah. Menjalin hubungan dengan suami ataupun anak tak pernah lepas dari konflik dan kita harus siap menghadapinya.
Emosi tercipta untuk membantu kita merespon akan lingkungan dan peristiwa yang terjadi. Apa yang kita dapat, dapat kita pancarkan ke sekeliling. Kalau emosi kita bahagia, respon dan perilaku yang kita tunjukkan dapat memberi dampak positif bagi orang lain. Pun sebaliknya.
Sebelum membuat orang lain bahagia, saya lebih dulu membahagiakan diri sendiri. Entah dengan menanam, bercerita, ataukah dengan menulis. Harus ada sesuatu yang saya lakukan. Dengan penyaluran emosi yang tepat, membuat saya lebih menikmati hubungan dengan orang lain.
Bersyukur atas segalanya

Sebelum pandemi, saya selalu mengeluh atas apa yang telah terjadi. Sekarang, saat sahabat ataukah teman dan juga tetangga mengeluh dan pusing dengan keadaannya, saya sudah terlatih oleh rutinitas yang bisa dikatakan monoton.
Segala sesuatu yang buruk belum tentu sia-sia, pun sebaliknya. Siapa tahu Allah memberikan semua itu untuk menempa hidup kita agar kuat. Kalau dulu saya sarapan, makan siang dan juga makan malam dengan menu yang sama sudah mengeluh. Sekarang, makan dengan kecap saja perlu disyukuri. Masih banyak orang yang rezekinya masih jauh dari apa yang saya harapkan.
Pun dengan kesehatan dan umur. Berita duka yang datang silih berganti menjadi peringatan kalau hidup tak ada yang abadi. Kita dapat bernafas tanpa alat bantu sudah alhamdulillah, kita dapat menghidu itu sesuatu yang luar biasa. Pun di kala kita bisa menggerakkan anggota tubuh dengan bebas, itu suatu anugerah. Jadi, tak ada waktu untuk merenungi nasib apalagi berangan-angan semu.
Mengubah sapaan menjadi penyemangat hidup
Sebelumnya, saya menganggap sapaan hanya sekadar basa-basi. Ungkapan teman sebelum minjem duwit (ups). Yah, lebih tepatnya sekadar formalitas. Sapaan juga diberikan kepada orang yang dikenal saja, ataukah untuk kerabat dekat dan juga tetangga. Di luar itu, ya biasalah.
Selama pandemi, saya tahu sapaan itu adalah bentuk kepedulian. Saat suami sakit, ada yang bertanya bagaimana kabarnya, itu sesuatu yang menyesakkan. Sesak karena bahagia, sesak karena merasa diperhatikan. Apalagi saya sebagai perantau, belum ada kenalan dekat dan juga teman mengobrol. Sapaan tanpa sadar juga menjadi pelipur lara dan sarana untuk meringankan beban. Jadi, jangan kaget kalau saya tiba-tiba menyapa dan sok SKSD!

Belajar lebih banyak dan berkomunitas

Saya sudah tidak muda, ada keterbatasan dalam mencari ilmu ataukah ikut dalam suatu forum. Melalui pembelajaran daring dan juga berbagai webinar, memudahkan saya untuk memutus jarak itu. Ketika pandemi usai, saya tidak mau berhenti untuk terus belajar dan juga berkomunitas. Bagaimanapun segalanya perlu dipelajari, entah tentang financial, parenting ataukah mengenai fashion semuanya bisa diakses secara otodidak.
Peduli pada kesehatan dan kebersihan
Pandemi mengajarkan kita untuk terbiasa dengan kehidupan alami, mulai dari makanan, minuman ataukah dengan pola hidup. Tubuh memang perlu istirahat, kadang, secara tidak disadari diri kitalah yang membuat tubuh terlalu lelah, misal dari makanan dan juga minuman yang kita konsumsi.
Tubuh adalah gabungan dari kinerja berjuta sel dan mereka itu hidup. Mereka butuh asupan makanan, butuh stimulus, dan juga butuh istirahat, kalau kita menggunakan terlalu berlebihan, tubuh justru merespon sebaliknya dan menganggap apa yang kita lakukan itu justru berbahaya. Kalau sudah demikian, tubuh bisa memberontak yang berakibat pada terganggunya sistem organ. Dari sinilah, bibit-bibit penyakit itu dapat tumbuh.
Kembali ke alam memberi kita jeda untuk bisa lebih menghargai diri sendiri. Tak perlu mahal. Semua bisa dicapai dengan cara sederhana, salah satunya dengan berolahraga rutin, minum atau makan sayur sekaligus buah. Pun mengtur lingkungan yang ada di sekitar rumah, mulai dari pakaian, tempat tinggal ataukah tempat biasanya kita bermain dengan anak.

Melancong untuk membangun memori

Ketika weekend, kebiasaan keluarga kami selalu melancong bersama, entah naik bus, kereta ataukah angkutan umum, kami selalu ada adegan bersama. Semenjak pandemi, semuanya berubah. Rumah dan sawah dekat rumah menjadi arena bermain sekaligus rekreasi.
Saat ini, saya tidak terlalu memikirkan ke mana kaki ini melangkah. Mau ke sungai, kandang asalkan ada kebersamaan dan nilai yang disampaikan ke anak itu sudah cukup. Tak perlu berharap lebih. Kenapa? Selain berhemat juga untuk melatih anak agar tahu kondisi sebenarnya.
Pergi ke tempat ibadah
Sejak pandemi apalagi ketika suami sakit, saya merasa lebih dekat dengan Allah. Bukan dalam artian peningkatan spiritual saja, tetapi juga dapat lebih peka untuk mengambil hikmah dari hidup ini.
Kalau dulu ke masjid adalah suatu kebiasaan yang kadang membuat saya merasa ah bosan, sekarang itu menjadi momen yang dicari. Melihat anak kecil bermain dan salim dengan yang lebih tua, kadang mendengar imam salah baca surat termasuk hiburan. Kalau sekarang semua itu satu per satu berubah menjadi kenangan, karena sang imam juga menjadi korban pandemi ini.

Pulang kampung

Terakhir tapi bukan sebuah akhir perjalanan hidup. Pengobatan semasa Influenza 1918 memberi kekhawatiran tersendiri, maklum saya tinggal di desa. Mau dipercaya atau tidak kepercayaan pada dukun dan pengobatan alternatif masih kuat. Pun ketika Bapak sakit, ia takut ke dokter karena jarum suntik. Butuh asupan pengetahuan yang perlu saya uraikan agar Bapak memahaminya.
Pulang kampung juga menjadi sesuatu yang langka. Kalau mengandalkan ponsel saja tak mampu menyalurkan perasaan secara utuh. Namun, dilihat dari ongkos tiket yang melonjak hingga dua kali lipat dan juga pembatasan wilayah, membuat saya menyesal karena tak bisa pulang. Untuk itulah saya ingin segera pulang dan memeluk mereka.
Masih ada banyak hal yang ingin saya lakukan, satu persatu masuk list jurnal pibadi. Namun, saya sadar diri. Ada beberapa hal yang nyatanya sulit untuk dipraktikkan. Untuk itu saya tak lelah untuk berdoa agar selalu menjadi pibadi yang baru selama masa pandemi ini.
Sumber Referensi: 1. Rukmantara, Ari, Tri Wahyuning, dkk. 2009. Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda/Priyanto. https://covid19.go.id/storage/app/media/Materi%20Edukasi/2020/Juli/Yang%20Terlupakan-3.pdf (diakses tanggal 27 Oktober 2021) 2. Khodafi, Muhammad, Wildayati, Rizki Endi Septiani. 2020. http://repository.uinsby.ac.id/id/eprint/295/3/Muhammad%20Khodafi_Kilas-balik%20wabah%20di%20Indonesia.pdf (diakses tanggal 27 Oktober 2021)