Gara-gara Buku Death Note, Hakim Berinisiatif Menulis Sendiri

Kaliwungu diguyur hujan sejak malam. Hari Kamis mendung seharian. Aktivitas pun terbatas. Saya dan anak-anak—Hakim dan Hanna lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kalau tidak bermain ya menghabiskan makanan. Menggendut bersama pokonya.

Hari itu, setelah mengeksplore ruang tengah dan makan. Kami berpindah ke kamar. Hakim menemukan buku Death Note milik suami. Lebih tepatnya itu note hadiah dari teman. Bentuk buku itu mini, dengan lebar 70 cm dan panjang 10 cm tersimpan dalam plastik layaknya barang berharga. Itu pun ditemukan secara tak sengaja saat anak-anak membongkar rak.

“Hakim kenal dengan buku ini Bu. Kalau kita menulis nama didalamnya, orang itu akan mati.”

“Darimana kamu tahu. Hebat banget bukunya.”

“Tahulah, kalau lihat youtube pasti pinter,” ujarnya bangga.

“Siapa yang akan kamu tulis?”

“Hanna,” jawabnya sembari terkekeh pelan.

“Kenapa?”

“Biar Hakim tidak punya adik dan Hakim tidak dimarahi terus. Biar Hakim saja yang disayang.” Saya hanya tersenyum kecut.

“Baiklah, maafkan ibu. Kan kasihan kalau nanti Hanna meninggal sendirian. Kesepian. Setelah itu siapa yang kamu tulis?”

“Nama Hakim. Biar bisa menemani Hanna.” Ah, masih ada rasa sayang yang tersimpan dalm hatinya.

“Setelah itu?”

“Nama ibu.”

“Kalau bapak?”

“Tidak perlu. Biar Hakim, Hanna dan Ibu melihat Bapak dari atas. Kan Bapak kerja, biar nangis. Habisnya Bapak galak.” Kali ini saya tak dapat menyembunyikan tawa. Memang belakangan ini tensi di antara keduanya tinggi. Hakim yang merusakkan hp menjadi permasalahan utama yang belum sampai tahap legowo. Masih saling sindir.

Tanpa perlu diperintah, Hakim berlari ke ruang kerja suami untuk mengambil alat tulis. Tak terlupa Hanna diajak untuk menulis. Hanna yang berusia 15 bulan mengikuti Hakim dengan sumringah. Apalagi saat diberi alat tulis, semakin lebarlah senyum yang terkembang di bibirnya.

Hakim dan Belajar

Hubungan hakim dan belajar saat ini masih di tahap benci. Ia anti kalau diminta menulis, terutama huruf. Menurutnya, itu membosankan dan bikin capek. Jadilah kalau di rumah ia jarang sekali memegang alat tulis. Kecuali kalau untuk mencorat-coret tembok ataukah sedang melakukan eksperimen.

Seperti ujian kemarin. Ujian semester Hakim lebih banyak yang dibawa pulang. Selain karena ia tidak megerjakan juga karena butuh waktu banyak dalam menyelesaikan soal. Jadilah ujian seperti PR bersama orang tua.

Di saat menemani Hakim mengerjakan soal, kepala saya sudah langsung panas dan pusing. Mungkin darah terlanjur naik. Padahal biasanya rendah. Bagaimana tidak? Sekali membacakan soal pilihan ganda, saya harus mendengarkan pendapat atau cerita tentang pandangan atau tanggapannya akan soal itu. Misal ditanya tentang warna mobil yang ada di gambar, ia akan bercerita perihal mobil kesukaan. Pun dengan mobil yang dipunya.

Kalau dipotong? Akan ada adu argumen walau sudah melakukan kesepakatan. Kalau sekali salah, ia tak mau disalahkan. Berbeda kalau saya yang berbuat salah. Misal dalam membacakan soal tanpa sengaja menyenggolnya, ia akan mengungkit dan menganggap kalau rasa capeknya menulis karena senggolan tadi. Banyak alasan pokoknya.

Tulisan keliru atau disalahkan, tidak mau. Mau tulisan bentuknya segede gaban ataukah sekecil semut, minta dibiarkan. Huruf ada yang kurang tak mau dikoreksi. Kalau dihapus emosi, terutama marah dan teriak-teriak. Pun kalau ia diminta menulis ulang, bad mood pasti. Mogok. Mengerjakan ujian jadi terjeda.

Belum lagi ketika membantu Hakim mengeja jawaban dari soal essay. Ya Allah, satu huruf istirahat. Satu kata minta bermain dulu. Dan masih banyak permintaan lain. Belum lagi kalau lapar atau mau ke kamar mandi.

Rasanya, ah sudahlah! Ujian belum selesai sampai batas waktu pengumpulan. Beruntung Hakim memiliki guru pengampu yang sabar dan setia mendampingi—Mbak Veta. Di hari libur, saya meminta tolong Mbak Veta untuk memberikan motivasi agar Hakim mau menyelesaikan ujiannya. Namun, di luar dugaan. Mbak Veta justru mengajak Hakim ke sekolah dan mengerjakan bersama. Hakim pun tanpa ba bi bu langsung menyetujui. Jadilah ujian dilakukan secara privat.

Sekilas tentang Death Note

Death Note yang ditemukan Hakim

Seakan tahu akan cerita Death Note, Hakim berbinar saat bercerita dalam versinya. “Itu buku untuk membunuh orang Bu”, ujar Hakim berapi-api. Menurutnya, kematian itu menyenangkan karena akan ada kehidupan nantinya di mana ia bisa menjadi apa yang diinginkan. Reinkarnasi versi Hakim.

Pun menurut Hakim, kalau mati itu tidak menyakitkan. Bahkan bisa langsug masuk surga dan mendapat apa yang diinginkan dari Allah. Yah, memang pemahaman Hakim tentang kematian masih bercampur dengan imajinasinya dari youtube plus ajaran agama yang didapatkan.

Yang belum memahami perihal cerita death note. Death note merupakan serial manga Jepang yang berpusat pada tokoh Light Yagami. Seorang remaja jenius yang menemukan buku catatan misterius. Death note sendiri berupa buku misterius yang juga milik Shinigami (Dewa Kematian) yang memiliki kekuatan supranatural untuk membunuh siapa saja dengan menuliskan nama korbannya. Lebih lengkapnya silakan nikmati anime ataupun serial filmnya.

Saya menikmati anime itu saat kuliah. Itupun teracuni karena ada kakak tingkat yang menjadi weibu. Kebetulan suami juga penyuka anime Jepang. Jadilah pembicaraan kami hari itu klop. Bertiga, kami membahas death note sebelum tidur.

Momen Hakim Berinisiatif Menulis Sendiri

Sederhana tetapi mampu membuat saya berkaca-kaca. Hakim menulis tanpa paksaan. Perlahan saya mengamati Hakim yang fokus pada death note di hadapannya. Goresan itu kuat. Menandakan ia yakin akan apa yang dilakukan. Tidak seperti ketika diminta untuk mengerjakan soal. Ya Allah, rasanya ingin bergulat dengannya. Waktu mengerjakan satu soal isian bisa menghabiskan waktu 10-15 menit. Di mana kesabaran untuk terus memberinya dorongan dan semangat harus diuji.

Secara sukarela, ia bertanya bagaimana tulisannya nama Hanna? Sekali didekte langsung bisa jadi. Alhamdulillah.   

Dalam kondisi riang, ia lanjut menulis namanya sendiri. Kemudian, tanpa terlupa, ia menceritakan bagaimana mereka meninggal dalam sebuah gambar. Hakim meninggal karena ditabrak kereta. Sedangkan Hanna, meninggal karena ditabrak truk. Keduanya memiliki kesamaan dengan tubuh hancur.

Gambaran Hakim tentang kematiannya dan Hanna

Creepy, tetapi itulah Hakim. Ia senang akan sesuatu yang ekstrem. Seperti kecelakaan, tabrakan, kebakaran, ataukah peristiwa yang menurut orang lain bencana di imajinasinya itu bertransformasi menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Setelah tulisan dan gambarnya selesai, gantian Hanna yang diminta untuk corat-coret. Pun saya diminta untuk menuliskan cara kematian nantinya. Ketika Gambaran saya mengekspresikan kalau ingin meninggal di rumah saja, Hakim hanya berkomentar kalau itu tidak asyik. Seharusnya lebih keren dengan tubuh hancur berkeping-keping. Seperti ibu kecelakaan saat naik motor.

Ah, entahlah. Pembicaraan tentang kematian memang sesuatu yang menakutkan. Namun, hari itu pembahasan itu justru mampu menjadi perbincangan hangat di antara kami.

Kalau Sobat, pernahkah menemani atau melihat anak ADHD belajar?

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *