Keluarga D bukan berarti keturunan keluarga Dragon atau karena kami penggemar One Peace. Lebih tepatnya, D mencerminkan nama suami, Dian. Simple.
Seperti apa sih Ibu profesional kebanggaan keluarga itu? Apakah saya sudah menjadi ibu yang membanggakan?
Pertanyaan konyol nan menggelitik itu menjadi tertawaan bagi keluarga kecil kami. Menurut suami itu aneh. Kenapa bertanya? Ibu itu manut dan membersamai suami dan anak di rumah, sudah jadi ibu yang baik kok. Ndak aneh-aneh.
Mungkin, di luar sana masih banyak suami yang memiliki pemikiran seperti suami saya. Selama ini, istri/ ibu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Ah kodrat, mengko iso dewe (nanti bisa sendiri). Jadi ibu mudah kok. Nyatanya, tak semua perempuan mampu memikul tanggungjawab istimewa itu.
Jadi ibu itu tak cukup jika hanya baik. Ibu itu teladan, bukan asal manut. Pun dari ibu, dapat menjadi cikal bakal terbentuknya value keluarga. Tinggal pilih, value dalam kebaikan ataukah sebaliknya. Banyak lo tanggungjawab ibu. Tak ada kata main-main atau sekadar mencoba.
So, jadi ibu itu harus ada usaha lebih. Lebih baik sekarang berupaya daripada menyesal di kemudian hari. Salah satu jalan perubahan yang layaknya tepat adalah mengubah paradigma ibu konvensional menjadi Ibu Profesional.
Ibu Professional itu …
Tidak pernah berhenti berlari hingga memiliki misi hidup
Berprinsip jangan ajari saya, saya suka belajar
Always in time
Berbagi adalah kepedulian
Saya tahu saya bisa lebih baik
(Sumber: Widya iswara Rusna Meswari)
Jadilah ibu yang selalu belajar, berkembang, produktif yang nantinya bisa berbagi dan berdampak.
Berkaca dari hal di atas, saya dibantu suami mengevaluasi diri. Sebenarnya ibu profesional yang layak dan mampu saya pikul itu seperti apa?
Versi Suami
Suami memaknai Ibu Profesional sebagai seseorang yang layak menjadi rekan/ partnernya selama berumah tangga. Darinya tercermin ilmu yang menuntun dirinya untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang suami. Ia pun menjadi cerminan istri “yang dibutuhkan” suami.
Kebersamaan itu nantinya menjadi bekal ibu dalam mengurus anak-anak. Istri harus mampu menjaga harkat dan martabat suami. Sedangkan ibu juga harus memiliki nilai lebih dalam hal mendidik anak.
Kemudian, bila menimbang makna ibu secara luas, ibu menurut suami harus bersifat sebagai pembelajar. Tak mudah puas dengan kemampuannya, tetapi juga tak mudah putus asa untuk berproses menjadi panutan atau sosok figur bagi anak-anaknya.
Ibu profesional tak harus mendapat pengakuan dari orang lain. Di mana pun ia berada, memberi dan berbagi adalah niatan utama.
Di sisi lain, walau tak tertulis, keberadaannya di rumah selalu dirindukan dan dihargai.
So, dalam upaya menjadi Ibu Profesional, kita harus berproses sehingga keluarga merasakan dampaknya. Fokus pada keluarga kecil terlebih dahulu, kemudian perlahan-lahan bermanfaat dalam lingkup luas.
Versi Saya
Proses menjadi seorang ibu itu bertahap. Dari seorang gadis yang bebas dan murni, ia berkembang menjadi perempuan dengan segudang aktivitas dan kreativitas.
Kemudian, kehidupan berjalan cepat tatkala sang perempuan memutuskan untuk menikah dan menjadi bagian dari keluarga orang lain (istri). Sebagai sepasang orang asing, ada tuntutan hidup untuk membentuk “istana sendiri”.
Proses pengenalan ini lama. Belum genap saling melengkapi dan beradaptasi sepenuhnya, istri hamil dan melahirkan (ibu).
Nah, agar proses peralihan peran ini tak sia-sia dan terjadi ketimpangan, perlu pemikiran matang untuk mampu menjalankannya.
Pun untuk menjadi ibu, kita tak perlu menghilangkan siapa diri kita sebelumnya. Lebih tepatnya, kita tidak kehilangan jati diri, untuk menekuni posisi baru yang kita dapatkan. Masa lalu justru menjadi bekal kita membentuk keluarga versi terbaik diri.
Refleksi Diri
Nah, sebelum merumuskan Ibu professional itu seperti apa, kita perlu merefleksikan diri di mana posisi kita berada saat ini!
Sebagai individu: dalam hal ini, saya tak mau kehilangan jati diri. Saya seorang yang bebas berpendapat, memiliki penghasilan sendiri, suka menulis dan senang berkegiatan sosial. Saat menjadi ibu, kebiasaan dan passion lama ini menjadi pelipur lara di antara segudang aktivitas di rumah.
Sebagai anak dan kakak: saya memiliki orang tua dan dua adik. Sebagai ungkapan berbakti, perlu menjaga tali silaturahmi. Bahkan, kalau perlu menjadwalkan silaturahmi ke sana (Jogja-Blitar).
Istri: dalam hal ini, berbakti menjadi prioritas utama. Memuliakan suami juga bisa melalui perhatian ke saudara sekaligus keluarganya. Pun untuk berbakti sekarang lingkupnya luas, ada mertua dan eyang.
Ibu: memiliki tanggungjawab untuk mengasuh, mendidik, dan menghantarkan anak pada kebahagiaannya. Ibu pula yang mempersiapkan anak menghadapi masa sulit dalam hidupnya. Jika ibu bahagia, anak pun merasakan ketenangan, keteduhan, dan kenyamanan di dalam keluarga.
Sebagai makhluk sosial, saya jugamemiliki peran beragam di dalam masyarakat. Pun dalam komunitas, aktif mengambil peran menjadi sarana untuk mengembangkan diri.
Bercermin pada kuasa sekaligus tanggungjawab seorang ibu, maka Ibu Profesional itu menurut saya adalah ibu yang mampu meramu kelebihan dan kekurangan diri untuk mengoptimalkan dirinya dalam menjalankan peran sesuai kebutuhan.
Dimulai dari memuliakan diri (dekat dengan Allah, bangga akan siapa diri sebenarnya) saya mampu mengeksplorasi kemampuan. Dari sinilah saya lebih PD dan all out. Dalam hal ini, berkompromi dalam berbagai hal bersama pasangan mampu mengoptimalkan peran menjadi lebih mudah.
Ibu bukan manusia sempurna. Kelebihan dan kekurangan berjalan beriringan. Oleh karena itu, tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi sempurna dan membandingkan diri dengan ibu-ibu lain.
Semakin Dekat Menjadi Ibu Profesional
Yuk, saatnya mulai beraksi!
Melihat potret diri melalui kaca mata orang lain adalah jalan terbaik. So, diskusi yang semula hanya candaan akhirnya membawa pembahasan khusus. Seperti apakah diri ini di mata orang terdekat?
Setelah tahu pandangan mereka, saya ingin memperbaiki semuanya melalui 3 mantra ajaib:
- Ngobrol bareng
Bersama suami menyusun value family. Kita mengevaluasi dan menata kembali komitmen bersama.
- Utama bareng
Perlahan, satu demi satu membuat projek jangka pendek. Selain untuk menemukan jalan komunikasi terbaik, kita mencari versi pendidikan terbaik untuk anak.
- Pembahasan bareng
Latihan dan mempraktikkan bersama. Bersama dalam membuat kesepakatan. Saling evaluasi dan instrospeksi diri agar menjadi teladan bagi anak.
Cara Kami Bahagia
Sumber dari dari kebahagiaan sendiri berasal dari hati, keikhlasan. Rasa yang bergelora, ditunjukkan dengan lengkungan senyum. Bahagia bukan hanya sekadar pemberian. Lebih tepatnya, rasa ini perlu dilatih. kenapa? Agar bisa bertahan lebih lama.
Semakin kita mudah berkompromi dengan kenyataan, hati kita mudah terbuka. Berbanding terbalik kalau kita hanya ingin memenuhi idealisme, kehampaan lah yang akan menanti.
Bahagia adalah pilihan dan harus dilatih dalam kehidupan sehari-hari. Syukur menjadi jalan terdekat untuk lebih berbahagia menjalani hidup. Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Potret keluarga kecil saya, ada bocil 6 tahunan—Hakim dan suami. Saya tinggal di Jogja sedangkan suami bekerja di Kendal. Jadilah kami LDR. Ketemu paling cepat seminggu sekali, itu pun kadang hanya sehari.
Saya melewati waktu bersama bocil. Ke mana pun dan di mana pun, kami selalu bersama. Jadilah ia lengket dan sulit dipisah. Melalui fasilitas media komunikasi saat ini, kami bisa mempertahankan komunikasi dua arah.
Aku harus menjadi yang pertama! Prinsip yang selama ini kami praktikkan.
Apiida
Jadi, kalau ada apa-apa dikomunikasikan. Semua dibicarakan. Sebagai istri, saya berhak tahu apa yang terjadi pada suami. Dari mulut suami sendiri bukan dari orang lain. Begitu pun sebaliknya.
Pertemuan dengan suami menjadi momen berharga, khususnya di akhir pekan. Dan kabar baiknya, suami merestua apa yang saya lakukan untuk menjadi Ibu Profesional.
Bagaimana dengan anak? Saya juga minta izin sembari menjelaskan. Tak lupa saya mengenalkan kesibukan yang selama ini harus dilakukan di luar rumah. Apalagi dalam waktu khusus, ada kebersamaan kami yang harus dikurangi.
Yah, walau di awal sulit sekali, sekarang sudah memasuki tahapan sulit. Ho ho. Diselingi tangis dan protes, kadang bocil juga berkompromi kok! Alhamdulillah.
Happiness List
Untuk memudahkan misi sekaligus perubahan keluarga, kami membuat check list. Nah, kebetulan secara tak sengaja. Saat membaca di Mbah Google, ada lo kriteria dalam membuat ceklist, namanya kaidah SMART.
Adakah yang sudah mengenal? Yuk, kenalan dulu!
- Specific (Detail)
- Measurable (Terukur, contoh: dalam 1x seminggu, 2x sebulan)
- Achievable (Bisa diraih, tidak terlalu susah dan tidak terlalu mudah)
- Realistic (Berhubungan dengan kondisi kehidupan sehari-hari)
- Timebond (Ada batasan waktu)
Berhubung kami termasuk keluarga yang mudah bosan, program yang kami terapkan memiliki jangka waktu pendek. Khusus di bulan Juni, Suami malah justru lebih excited. Selain menarik, apa yang saya tuliskan ini menjadi challange untuk saya khususnya. Dan dia tidak sabar untuk segera memberikan centang.
Demikian sekelumit diskusi yang sudah kami lakukan. Semoga dapat istiqomah dan memberi inspirasi bagi siapa pun yang membacanya.