Nenek Srintil
Setiap kali membaca koran lokal pasti mengingat namanya, Srintil. Nama samaran yang senantiasa digunakan sebagai pengganti pelaku kejahatan. Terkadang dalam masyarakat Jawa Srintil sering dikaitkan dengan sesuatu yang menjijikkan, yaitu kotoran kambing. Nama yang terkesan aneh tapi nyata, itulah nenek Srintil yang biasa dipanggil nenek Sri. Ia bukanlah penjahat ataupun artis, ia hanyalah nenek biasa yang bahkan SR pun tidak tamat.
Keseharian nenek ini di rumah mengumpulkan kayu bakar di lereng Gunung Lawu. Ia tidak memiliki anak, suaminya meninggal diawal pernikahan mereka. Kerasnya kehidupan tidak membuatnya menyerah. Diusia mudanya dihabiskan dengan merantau ke kota. Namun seleksi alam membuatnya harus menyerah. Kini harapannya tinggal satu yaitu anak asuhnya. Hari, seorang anak dari PSK yang dianggapnya sebagai anak sendiri.
—…—
Inilah pertamakalinya ia bertemu dengan cucunya, Dian yang berusia dua tahun.
“Apa yang nenek inginkan di usia yang ke tujuh puluh delapan ini?”, tanya Hari sedangkan nenek itu memilih meracik untuk ‘nginang’. Setelah itu, tangan kanannya tidak pernah berhenti membelai kepala Dian.
“Tidak ada Hari, nenek sudah mendapatkan semuanya, melihat anak dan cucu nenek berhasil merupakan anugerah terindah.”
“Benarkah?”, senyumnya terukir indah dihiasi rona merah karena daun sirih.
“Sebenarnya masih ada satu hal yang nenek inginkan dari dulu, nenek ingin pergi ke pasar malam. Nenek dari kecil ingin ke sana namun tidak ada uang, terakhir kali ke pasar malam ya dengan kakekmu dulu. Itupun hanya sebentar”, tawanya terdengar renyah menunjukkan gigi merahnya.
Hari ikut tersenyum melihat neneknya bahagia.
“Apakah itu kencan pertama nenek?”
“Kencan?”
“Kalau sekarang pacaran nek.”
“Begitukah?, kalau dulu pacaran hanya ketemu jalan-jalan lalu pulang, itupun kita tidak memakai sepeda. Kaki inilah yang setia menemani nenek sampai berkilo kilo tidak terasa capek kalau sekarang jalan sebentar saja sudah tidak kuat.”
“Namanya juga sudah tua nek, harus banyak istirahat.”
“Tapi nenek hebat dan gaul bisa lancar berahasa Indonesia.” sahut Ina, istri Hari dari dapur.
Dulu nenek bekerja sebagai pembantu, maklum pedidikan SR saja tidak tamat. Juragan nenek kebanyakan bangsawan. Nenek belajar dari sana terlebih kakekmu senang sekali berhubungan dengan orang-orang pasar jadi bahasa nenek beragam.”
“Hebat nenek! Istilahnya nenek gaul kalau begitu,” canda Hari.
Sesaat Hari dan istrinya saling berpandangan, sepertinya mereka memiliki acara untuk menghabiskan weekend esok hari.
—…—
Perlahan Hari menggandeng neneknya turun dari mobil, wanita tua itu terlihat anggun dengan kebaya khas jawa. Ia memakai baju terbaik untuk sekedar berjalan-jalan dengan cucu kesayangannya. Rambutnyapun tidak kalah gaul, Ina menggelung rambut putih itu dengan rapi.
“Nenek ingin berjalan tidak perlu pakai kursi roda.”
Tanpa dibantu nenek Sri berdiri di atas kedua kakinya. Walau usianya sudah berkepala delapan ia masih lincah. Wajah keriputnya tidak menghalangi untuk beraktivitas.
“Ini dimana Har?”
“Ini tempat Hari sekolah dan bekerja nek, namanya kampus. Biasanya kalau hari minggu ada kegiatan seperti pasar malam nek, banyak yang jualan makanan ataupun baju dan buku.”
“Tapi tidak malam ya diadakannya? Dan wah ini gedung untuk apa? kalau jaman dulu membangun gedung seperti ini pasti sudah dijadikan markas musuh,” kata nenek Sri saat melihat bangunan megah dihadapannya.
Iya nek, kalau dulu musuh jelas dalam perang kalau sekarang musuh dalam selimut, batin Hari. Banyak koruptor dan penjahat pemerintah lahir dari gedung-gedung yang namanya universitas. Namun kalaupun ia menjelaskannya nenek tidak akan tahu. Haripun hanya tersenyum sendiri.
“Keren cucu nenek, bisa berada di ruang yang hebat ini.”
Hari dan istrinya setia mendampingi Nenek Srintil jalan-jalan di Pasar minggu atau istilah kerennya Sunday morning (SunMor). Hari memegang lengan nenek sedangkan Ina memegang tangan Dian.
“Ini tempat apa Har, banyak sekali orangnya, ada yang joged-joged dan banyak makanan.“ Hari mengikuti pandangan nenek Sri
“Orang yang menggoyangkan pinggulnya itu senam nek dengan bantuan instruktur, biar lebih sehat. Nah kalau tempat-tempat itu nantinya untuk jualan.”
“Ini masih jam 06.30 nek, jadi orang-orang masih belum terlalu ramai kita bisa jalan-jalan sejenak”, kata Ina perlahan. Namun, karena Dian sudah rewel minta jajan akhirnya ia meladeninya.
Perlahan mereka mulai memasuki deretan stand, nenek Srintil takjub. Ia terhenti di depan stand yang menjual makanan.
“Apa ini? Di jaman nenek tidak ada yang seperti ini, ia mendekat ke stand dan menurunkan kacamatanya. Matanya memang kabur namun daya penciumannya sangat tajam.
“Ini namanya takoyaki dan sosis bakar nek.”
“Apa totoki? Apa itu? Sos itu nenek juga tidak pernah tahu tapi bahunya sedap.”
“Itu makanan nek, kalau nenek mau mencoba biar Hari belikan saja.”
“Tidak perlu, siapa yang mau makan? Lidah nenek tidak cocok dengan makanan sekarang. Nenek lebih suka makan singkong.” Merekapun tertawa dan melanjutkan jalan.
Di setiap stand mereka diharuskan berhenti dan menjelaskan ke nenek tentang ini dan itu. Hari sudah mulai kehilangan kesabaran namun istrinya menenangkannya.
“Sabar mas, kasihan nenek. Ini pertama kalinya ia merasakan hal ini. Salah kita juga jarang mengajaknya keluar sejak tinggal di sini. Hidupnya ia habiskan di desa, di sini juga kurang dari setahun. Terlebih ini pertama kalinya kita keluar berempat. “
—…—
Ia terlihat duduk di dekat penjual mainan, Nenek Sri senang melihat cucunya.
“Hari kemarilah, lihatlah mainan ini ini kapal kodok dulu kakekmu menamakannya demikian karena suaranya dodk…dok kododk…, terlihat kapal buatan dari seng mengapung di air dengan suara berisiknya. “
Nenek Sri seperti tenggelam dalam kenangan lama.
“Mereka ini teman-teman seperjuangan bapakmu, walau tidak dalam satu wilayah mereka sama-sama pejuang dulunya. Ini dulu mainan nenek waktu kecil, lihatlah itu juga mainan dari kayu.”
Hari teresiap. Melihat wajah neneknya kemarahan Hari mulai sirna. Hari dan istrinya membiarkan nenek mereka bernostalgia dengan masa lalunya.
“Lihatlah bun?”
“Apa mas?”, Hari menunjuk ke arah jualan yang ada di sekitar stand dengan para pejuang renta ini.
“Sangat memperihatinkan ya bun, walau mereka sudah tua mereka tetap bekerja dan setia menjadi tulang punggung keluarga namun usaha mereka belum mendapatkan hati di masyarakat. Teknologi telah mengubah segalanya. Termasuk konsumsi makanan ataupun mainan. Dari tadi sepertinya ayah belum melihat ada yang membeli dagangan mereka. Tapi lihatlah, mereka tetap dapat tertawa dengan nenek.”
“Iya yah, bunda juga menyadarinya.”
Tanpa perlu dikomando Ina memesan 5 rujak cingur, merekapun menikmatinya bersama.
—…—
“Kamu minum obat lagi nduk?”
“Iya nek, sejak Mas Hari pergi ada pekerjaan di luar kota Ina sering tidak bisa tidur. Jadi Ina kemarin ke dokter untuk berobat.”
“Dokter? Kalau dulu kakekmu sakit ia hanya perlu istirahat saja.”
“Kan berbeda nek semuanya, sekarang semuanya sudah maju. Teknologi dapat meneylesaikan semuanya. Nenek dapat berhubungan dengan Mas Hari diluar sana itu karena teknologi, termasuk juga sekarang kalau sakit jawabannya ya ke dokter nek.”
“Ya sudahlah istirahatlah nenek buatkan bubur.”
“Tidak perlu nek, Ina hanya ingin tidur.”
Saat dikamar Ina hanya memandang obatnya, selama ini ia tidak bisa minum tablet ataupun kapsul. Ia hanya bisa minum sirup. Tanpa menunggu waktu lama Ina keluar mencari nenek Sri. Ia mengadukan kegalauan hatinya. Sang nenek terenyum dan mengangguk mengerti.
Setiap malam nenek sudah menyiapkan obat dan menemani Ina tidur di kamarnya
“Terimakasih nek, maaf Ina justru merepotkan nenek padahal seharusnya Ina yang merawat nenek.”
“Kau ini bicara apa? Tidak ada orang tua yang ingin meminta bayaran atau kata seharusnya. Kau juga cucu nenek. Nenek tambah senang karena kalian membutuhkan nenek. Sekarang minumlah, dan segera tidur.”
Bersamaan dengan itu pula, tangan keriput itu tidak pernah melepaskan genggamannya. Ia bahkan bersenandung gending Jawa. Ina terpesona, pikirannya yang semula bagaikan benang kusut kini mulai terurai satu persatu. Matanya sudah mulai terpejam.
—…—
“Bunda sakit apa?”
“Migren yah, tapi karena sudah berobat Ina sekarang sudah bisa tidur dan badan jadi lebih enak. Mungkin karena terlalu banyak pikiran. Maaf ya yah!”
“Memikirkan apa? Kok sampai sakit.”
“Entahlah!”
“Ya sudah nanti kita bicarakan lagi. Mungkin ayah akan pulang minggu depan. Dimana nenek?”
“Nenek sedang bertanam di teras yah.”
“Biarlah, ini menjadi kesibkan nenek.”
“Iya, dari kemarin Ina diminta untuk belajar hidroponik dari tetangga kita. Kata nenek itu bagus karena kita bisa menanam sendiri. Padahal kalau menurutku itukan menghabiskan tenaga yah.”
“Maaf bun, atas sikap nenek selama ini.”
“Tidak yah, justru Ina yang malu akan semangat nenek. Ia tidak pernah mengeluh dan justru lebih bersemangat menghadapi hidup. Bahkan akhir-akhir ini nenek yang rajin membersihkan rumah.”
—…—
“Aku ingin pulang.”
Nenek sering berkata seperti itu akhir – akhir ini. Hari mempertanyakan alasan tapi tidak ada jawaban. Padahal rumah nenek Sri saat ini sudah tidak layak huni, mungkin sudah roboh karena telah dimakan usia. Terlebih nenek Sri tidak memiliki kerabat dekat di sana. Selama ini nenek Sri menempati rumah itu dalam segala keterbatasan, Hari dengan paksa memboyongnya karena takut akan hal yang tidak diinginkan terjadi.
“Mau pulang kemana? Rumah nenek di sini.”
“Nenek mau pulang, ini bukan rumah nenek.”
Sudah seminggu kejadian itu berulang. Hari tidak habis pikir terlebih istrinya Ina.
“Apakah Hari atau Ina telah melakukan kesalahan?”
“Tidak! Nenek mau pulang.”
Pagi itu tidak seperti biasanya, Dian terbangun lebih pagi. Ina berada di dapur dan Hari menyelesaikan sisa pekerjaan dari kantor. Nenek Sri yang semula duduk di ruang tamu berdiri menyambut cucunya. Mereka bermain sejenak hingga waktu berputar begitu cepat. Hari berangkat kerja dan Ina beserta Dian turut mengantar kepergiannya. Kejadian yang sama berulang keesokan hari. Yang berbeda hanyalah sikap nenek Sri yang sudah tidak meminta untuk pulang lagi. Mereka merasa tenang.
“Nenek belum bangun?” Tanya Hari sambil menyeruput teh buatan sang istri. Inapun hanya menggeleng perlahan. Tangannya sibuk menyuapi Dian. Tanpa ada pembicaraan lebih lanjut mereka beraktivitas seperti biasa.
Selepas berbelanja, Ina pergi ke rumah Neta, sahabat sekaligus keponakan. Mereka dekat sejak kuliah berlanjut menjadi tetangga karena Neta menikah dengan sahabat Hari. Mereka dikaruniai anak kembar yang seumuran dengan Dian. Rumahnya hanya berjarak beberapa blok. Dianpun turut serta dimana ia bermain sepanjang hari di taman dengan Amin dan Aman.
Nenek aman?
Pesan singkat sang suami terbaca di layar depan android Ina.
InsyaAllah, tadi sebelum belanja nenek kulihat terduduk di depan jendela kamar. Sepertinya beliau sedang menyambut datangnya pagi. Aku juga sudah memberitahu akan pulang terlambat karena ada acara di rumah Neta. Nanti sepulang kerja jemput ya?
Ikon tanda hati mengiringi pesan itu. Tidak ada kata balasan selain ikon senyum.
Malam telah larut, Ina menggendong Dian yang terlihat kelelahan dan mengantuk. Hari mengemudikan mobil dengan hati-hati, polisi tidur setia mengintai dan mengawasi di sepanjang blok menuju rumah mereka. Sepanjang perjalanan Ina bercerita mengenai acara reuni yang telah berlangsung tadi. Sesekali Hari menanggapi dengan guyonannya yang jenaka.
Saat mendekati blok dimana rumah mereka berada, tidak terlihat adanya cahaya. Rumah mereka terkubur oleh cahaya dari rumah lain. Suasana menjadi sepi dan hening.
“Nenek kemana ya mas? Apakah lampunya mati?”
Perasaan tertekan, cemas dan bingung menghiasi wajah mereka. Tanpa berpikir panjang Hari turun, membuka gerbang dan berlari ke dalam rumah. Lebih tepatnya menuju kamar dimana nenek berada. Ina yang masih menggendong Dian berusaha mengikuti. Ia terdiam di ruang tamu, matanya tidak dapat menjangkau apapun dalam kegelapan.
Bam….debum!
Ada suara dentuman keras, seperti suara benda jatuh. Bersamaan itu pula pintu depan yang semula tertutup perlahan terbuka diiringi langkah.
“Nduk?”
Ina tersenyum lebar, mendengar suara yang sangat dikenalnya, nenek Sri. Detak jantung yang semula berpacu kini telah meredam. Dibelakang nenek Sri ada Pak Harto dan Pan Deon. Tetangga dan ketua RT setempat. Mereka membawa senter dan lampu listrik kecil.
“Sepertinya ada yang konslet jadi lampunya mati, tadi nenekmu kuajak ke rumah karena rumah sangat gelap. Tapi suara apa itu barusan?”
Pertanyaan singkat yang membuat semuanya terdiam.
“Mas Hari? Tadi ia masuk terlebih dahulu.”
Suara Ina yang gemetar mengisi kehampaan yang ada. Pak Harto segera mengarahkan senter ke setiap sudut ruangan tapi tidak ada yang aneh. Semua barang tertata rapi di tempatnya. Ina menarik sebentuk kursi dan menidurkan Dian. Ia juga mengisyaratkan nenek Sri untuk duduk. Langkah kakinya menuju meja makan dan mengambil lilin. Perlahan ia menuju tangga dan sesuatu yang coba ditepisnya segera merangsek masuk.
“Mas?”
Tubuh tak berdaya sang suami terbaring tidak jauh dari anak tangga. Tersembunyi di belakang kursi yang telah terbalik. Semula sang suami sengaja meletakkan itu untuk menutup gudang. Ada ceceran darah di sekitar kepala. Ina berteriak histeris memanggil sang suami. Keadaan yang semula sepi kini telah diisi oleh isak tangis dan keriuhan. Satu persatu orang berdatangan untuk memberikan pertolongan. Bagaikan potongan film yang melambat, Ina hanya terpaku memandangi segala sesuatu yang terjadi di hadapannya. Pandangan nanar, genggaman tangan terasa hampa dan dingin. Sedingin genggaman tangan nenek Sri. Waktupun berlalu, telaga bening itu telah kering begitu juga suara dan hatinya.
—…—
Hari telah berganti. Hari pula telah terganti. Matahari menggelap mengiringi kepergian Ina. Tanpa suaminya hidup semakin menyesakkan. Tanpa sanak saudara dan orang tua, ia tidak ada pilihan. Kini ia harus berpulang dengan nenek Srintil ke desa.
“Kini nenek senang bisa pulang terlebih dengan membawamu nduk!”
Perkataan nenek Sri bagaikan angin lalu. Ina hanya menangkap bayangannya di kaca. Matanya sesekali terpejam untuk membendung air mata yang akan keluar. Saat Ina memutuskan untuk tertidur ada tarikan yang membuatnya menoleh kesamping dimana nenek Srintil berada. Pandangan mata itu tak bisa berbohong. Memancarkan aura yang belum pernah Ina rasakan sebelumnya. Walau sesaat, terlintas rasa takut yang mendalam. Namun segera menghilang saat senyum mengembang di bibir keriput itu.
“Tidurlah! Kehidupan baru kalian telah menanti. Percayalah pada nenek, kalian akan lebih bahagia. Ini memang sudah menjadi tujuan nenek dari awal.”
Mendengar penuturan nenek, bagaikan kidung pengantar tidur. Ina terpejam mengikuti Dian yang telah lebih dahulu merajut mimpi.
Bantul, 1 September 2019
Apa hikmah yang bisa diambil dari cerita di atas ya?