Tiada Pilihan Istri atau Mertua

“Luqman, apakah kau sudah makan, Nak?”

“Sudah bu.”

“Istrimu masak sendiri ataukah beli di luar?”

“Masak sendiri, Bu.”

“Iya, seharusnya istrimu jangan dimanja terus, biar dia masak sendiri bukankah dia tidak bekerja? Ibu saja walaupun bekerja bisa masak sendiri. Lebih baik mintalah istrimu segera mencari pekerjaan sehingga kalian dapat segera menabung dan membeli rumah.”

Sinta tercekat mendengar pembiraan suami dengan mertuanya di telepon terlebih yang mereka bahas adalah dirinya. Ini bukan yang pertama, tetapi tetap saja itu menyesakkan. Ia terdiam cukup lama di dapur, memang mereka baru menikah selama empat bulan. 

Sejak awal pernikahan, Sinta memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Ia memilih mengabdikan dirinya menjadi istri dan menjaga istana kecil mereka. Namun, kehendak dan kehidupan terkadang tidak sejalan.

Sinta telah mengantongi gelar sarjana, tetapi ia tidak ingin menyombongkan diri ataupun mempersempit pikirannya tentang pekerjaan. Menurutnya keluarga adalah yang utama karena itu ia lebih memfokuskan diri di rumah. Seandainya bekerja pun kalau bisa di rumah. Keputusannya didukung penuh oleh sang suami. Namun, di luar kehendaknya hal ini menjadi pemicu awal dari konfliknya dengan mertua.

Isakan kecil mulai memberontak, sekuat tenaga ia menahannya. Prinsip saat sedih suami tidak melihat masih dipegangnya, biarlah suami mengetahui ia bahagia.

*****


Senin pagi menyambut, matahari cerah ditemani awan biru dan kicauan burung. Luqman terlihat membersihkan motornya sebelum berangkat kerja. Sinta masih setia di kamar dengan kesendiriannya.

“Kenapa? Sakit?”

“Tidak Mas, hanya kepala agak pusing jadi mau tidur dulu sebelum mencuci.”

Sinta memaksakan tersenyum padahal mata itu lebih mirip mata panda dari pada mata manusia.

“Ya sudah istirahatlah, Mas berangkat dulu.”

Sinta tidak lupa mencium tangan suaminya sebelum deru motor meninggalkan rumah.

        Sendirian di rumah telah merobohkan pertahanannya. Ia terisak lebih keras dari hari-hari sebelumnya. Di saat suaminya di luar ia bisa menangis sepuasnya, telaga itu telah tumpah. Butiran air mata membasahi kerudung merah yang dikenakannya. Ingatannya kembali ke peristiwa dua bulan sebelumnya, saat ia akan pindah ke kontrakan. Secara tidak sengaja ia melihat dan mendengar ibu dan anak itu beradu argumen, semuanya tidak lain karena dirinya.

*****


Bu Harsi mempersiapkan semua kebutuhan untuk kepindahan anaknya, tetapi kabar yang didapatkannya siang tadi membuat hatinya tidak tenang, ada amarah dan kesedihan.

“Luqman ibu masih belum puas dengan jawabanmu. Benarkah istrimu itu masih perawan?”

“Kenapa ibu menyakan itu?”

“Ibu sulit mempercayainya dan ibu tidak menyangka kau akan melindunginya.”

Sang ibu duduk di hadapan anaknya, wajahnya sembab. Ada kabut di wajah yang telah menua itu.

“Maksud ibu?” Luqman sibuk memasukkan barang ke tas, sesekali ia melirik di mana ibunya berada. “Ini tentang apa lagi?”

“Ibu kemarin bertemu dengan teman ibu yang berasal dari Surabaya dimana istrimu tinggal, ia mengatakan kalau mengenal istrimu dan diperlihatkannya facebook istrimu itu. Dan Astaghfirullah foto-fotonya membuat ibu kaget.”

Bu Harsi mengamati ekspresi anaknya yang terlihat terkejut, “Ibu, itu …”

“Itu apa? Awalnya ibu percaya karena orang tuanya mengatakan kalau ia anak baik, sopan, dan penurut, bahkan tidak pernah pacaran. Tapi kenyataannya? Kalau saja dia bisa berbuat seperti itu dengan pacarnya bukankah ada kemungkinan dia bisa melakukannya lebih jauh?”

“Bu, hindarilah berprasangka terlebih sekarang ia adalah istriku.”

“Ibu tidak rela kau dibohongi, Nak, kau anak kesayangan ibu. Ibu tidak rido jika seperti ini akhirnya. Ibu membesrkanmu dengan kasih sayang, menyekolahkan hingga kuliah S2, berharap kau dapat hidup mapan. Tapi lihatlah bagaimana nasibmu sekarang.”

“Bu, Luqman memahami kekhawatiranmu tapi semua orang punya masa kelam. Itu ada masanya tapi lihatlah dia yang sekarang. Melihat masa lalu sebagai perbandingan tidaklah bijaksana.”

“Kau bisa bicara seperti itu karena belum merasakan memiliki anak, saat memilikinya kau akan tahu apa yang ibu rasakan.”

“Maafkan Luqman bu, memang Luqman sejak awal mengetahui itu semua tapi memang Luqman belum mengatakannya karena belum saatnya.”

“Kapan kalau begitu? Setiap kebusukan akan selalu tercium, Nak.”

“Bu Luqman menyayangi ibu begitu juga dengan Sinta, aku tidak ingin berdebat karena permasalahan tidak akan selesai jika kepala kita masih sama-sama panas. Lebih baik kita menyelesaikannya lain waktu. Kami harus berangkat, mobil paman sudah menunggu di luar.”

Luqman berjalan ke kamarnya, tetapi sebelum sampai pintu ia melihat istrinya berdiri mematung di sana. Tidak ada kata yang keluar, Luqman memegang tangan istrinya.

“Tolonglah untuk hari ini!”

Sinta pun tahu apa yang ia maksudkan. Segera ia menghapus air matanya dan tersenyum, “Aku tidak apa-apa, Mas!”

*****


“Kalau ada yang mau kau bicarakan, bicaralah! Jangan seperti ini.”

Sinta terkejut mendengar perkataan seperti itu. Tanpa sadar ia langsung terlonjak. Seketika ia menghapus air matanya. Sejak kapan? Tanpa disadarinya Luqman telah berdiri di pintu kamar.

“Mas, aku …tidak apa-apa.”

“Kalau tidak ada apa-apa kenapa kau menangis? Mas tidak lega untuk bekerja saat melihat istriku murung. Sudah beberapa hari kau seperti ini. Kalau seandainya ada yang salah atau menyakitimu katakanlah!”

Luqman berjalan mendekati Sinta. Perlahan ia membimbingnya untuk duduk. Kepala Sinta semakin tertunduk.

 “Aku bukan manusia super yang tahu segalanya dan memahami perasaan orang lain, aku hanyalah manusia biasa yang bisa tahu jika kau beritahu,” Luqman mengusap air mata istrinya.

“Maaf!”

“Bukankah kau yang bilang, kalau  aku berhak tahu maka katakanlah kalau memang tidak tetaplah diam. Kalau memang ini yang terbaik maka aku bisa menerima, tapi kalau semakin menyakitimu apakah kau tidak ingin memberitahukannya padaku?”

“Kau tidak bekerja?”

“Hari ini hari Sabtu sebenanrya aku masuk siang karena ada klien,” 

Suasana menjadi hening, deru napas keduanya perlahan memasuki telinga.

“Apakah pernikahan kita benar ya, Mas? Kau tahu, untuk saat ini aku masih sakit hati mendengar apa yang telah ibu bicarakan. Mudahnya ibu bilang kalau keluargaku pembohong. Aku adalah hasil didikan orangtuaku, seandainya mereka pembohong aku pun juga sama. Aku ingin menghormati ibumu seperti dulu, tetapi hati ini masih belum sanggup menerimanya. Maafkan aku kalau belum bisa berbicara ataupun bertatap muka dengan beliau.”

“Tolong janganlah memberikan penilaian seperti itu kepada ibuku, dia menyayangimu.”

“Aku menyadarinya, Mas, dia sangat menyayangimu tapi sejak dia mengetahui tentang rahasia itu. Lihatlah sikapnya, di depanku dia bersikap baik tapi aku tidak bisa menjamin di belakangku. Terlebih saat secara tidak sengaja aku mendengar kalian berbicara di telepon.”

“Aku tahu aku salah. Ia ibuku dan kau juga istriku. Biarlah waktu yang menyembuhkan semuanya.”

“Sudahlah, Mas tidak perlu membela ibu ataupun merasa tidak enak padaku. Mungkin inilah peringatan Allah padaku. Hanya saja aku takut suatu saat dapat durhaka pada beliau terlebih di saat imanku lemah. Aku takut.”

“Ibu tidak seperti itu, Dek, seandainya kau dapat melihat sisi baiknya. Aku sebenarnya ingin jujur mengenai kondisi keluargamu tapi kau yang  melarangnya. Aku juga sakit melihat bagaimana ibu memperlakukanmu.”

“Aku memahaminya, untuk sekarang aku masih bingung harus bersikap bagaimana kepada beliau.”

“Bukankah kau tahu Allah akan menguji hambaNya dari kelemahan yang didapat hingga hambaNya itu bisa lulus ujian hingga ikhlas. Tolonglah mengerti, menurut ibuku aku adalah orang baik padahal tidak sepenuhnya benar. Ia hanya ingin aku mendapat yang terbaik, itu saja!”

“Ikhlas tidak semudah itu mas, ikhlas butuh perjuangan. Aku tidak akan pernah mengatakan untuk memilihku ataukah ibumu, tetapi berilah aku waktu untuk memahaminya.”

“Apa maksudmu?”

“Kau benar tentang keikhlasan aku masih belum bisa mencapainya, berilah aku waktu untuk memaknainya dengan Robku. Aku sudah lelah.”

“Baiklah. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu. Tiada rasa sesal bagiku karena menjadi suamimu. Kau adalah kau, apa pun dan siapa pun mereka tidak mempengaruhiku untuk menyayangimu. Terserah apa kata mereka tapi itulah yang kurasakan. Aku pernah melakukan kesalahan karena telah meremehkan orang tuamu dan aku ingin memperbaikinya dan ku harap kau pun sama. Kita adalah satu jadi harus saling menguatkan.”

*****


“Seandainya kau tahu bagaimana rasanya dibohongi, kau pasti tidak akan mau melakukannya. Terlebih kau membohongi suamimu dengan statusmu itu. Suamimu itu orang baik, ibu mendidiknya sejak kecil hingga bisa seperti ini, tetapi  ibu tidak menyangka dengan mudahnya kau membohonginya. Ingin rasanya ibu menelannya lagi daripada dibohongi keluargamu.”

“Apa masud ibu dengan kebohongan, kami sudah mencoba jujur bu.”

Sinta menahan getaran hatidengan menggigit bibirnya. pembicaraan dengan sang mertua tak terelakkan. Di hari minggu  sewaktu sang mertua berkunjung, mereka saling mengeluarkan isi hati yang selama ini dipendam.

“Benarkah? Lalu siapa foto yang ada fb itu? Katanya tidak pernah pacaran foto tersebar luas dan ibu sempat mendengar kau sudah tidak perawan, apakah itu juga benar?”

“Bu, itu semua hanya kesalahpahaman saja.”

“Padahal ibu sudah melarangnya untuk menikah cepat, tapi kenapa ia tidak mau menurut, beginilah jadinya”, tangis Bu Harsi keluar untuk kesekian kali.

“Bu, setiap orang memiliki masa kelam dan itulah yang terjadi, aku…”

“Kenapa kau tidak memberitahunya sejak awal? Dan terlebih keluargamu justru menutupi semua ini. Bagaimana kalau tetangga dan kerabat tahu apa yang terjadi. Mau ditaruh di mana mukaku ini?”

“Sinta mohon, Bu, untuk tidak membawa nama keluarga, mereka tidak tahu.”

“Iya begitulah kalau anaknya pembohong pasti orang tuanya pun sama. Ibu menyesal anak ibu telah salah memilih istri seperti dirimu.”

“Bu, tidak ada yang bisa kukatakan seandainya ibu berkata seperti itu. Kalaupun ibu percaya Sinta bersyukur dan kalaupun tidak Sinta sudah pasrah. Sinta berbicara seperti ini karena Sinta menghormati ibu sebagai orang tua Mas Luqman.”

“Terserah apa katamu tapi yang pasti untuk saat ini ibu belum bisa menerima kehadiranmu.”

Percakapan itu terus melekat di hati Sinta, semakin ia mengingatnya rasa sakit itu semakin nyata. Sampai kapan semua ini akan berakhir? Hubungan yang semua kuimpikan dengan indahnya kenapa berubah menjadi seperti ini?

*****


Pagi telah menjelang, sang fajar mulai mengintip. Rasa lelah jiwa dan raga menggelayuti Sinta. Perlahan ia membuka mata dan betapa kagetnya dia tatkala melihat jam telah menunjukkan pukul setengah enam. Ia pun terlonjak dari tempat tidur, dilihatnya kamar sudah kosong. Ia pun berjalan keluar dan mendapati suaminya sudah berpakaian rapi.

“Maaf Mas, aku bangun kesiangan.”, Luqman hanya tersenyum sambil membelai rambutnya.

“Sudah baikan? Mas tidak tega membangunkanmu terlebih kau tidur malam dan Mas tahu kau juga tidak salat, Dek. Jadi kali ini mas membiarkannya tapi tidak untuk lain kali.” Luqman mengecupnya dengan lembut, Sinta menikmati suasana syahdu pagi itu.

“Mas harus berangkat pagi dan mungkin nanti lembur jadi tidak usah ditunggu kalau makan malam.”

Suaminya berlalu, Sinta termangu di teras. Rasa malas mulai menjalar padahal hari itu banyak cucian dan dia belum berbelanja. Langkahnya terasa berat, ia pun ke dapur, sesaat kemudian ia hanya dapat menutup mulutnya yang ternganga. Ada nasi goreng di atas meja lengkap dengan tehnya selain itu saat ia melihat keluar jendela terlihat pakaian kotor itu kini berada di jemuran. Sinta hanya dapat terduduk.

Ya Allah inikah hukumanku? Dulu aku memang salah. Pernah mengambil jalan untuk tak berhijab dan berpacaran dengan laki-laki lain. Itu pun hanya sekali. Selepas itu aku bertaubat ya Allah! Tapi yang ibu bicarakan bukan diriku, ia saudari kembarku. Ia memang lebih berani dalam penampilan dan sempat menggugurkan janin. Tapi Kau telah mengambilnya. Tidak ada yang tahu kalau kami kembar karena ia diasuh oleh orang lain. Kehidupan keluarga kami yang membuat keadaan harus seperti itu.

Tapi Mas Luqman? Ia yang jelas berbeda denganku telah mau menerimaku apa adanya. Bahkan setelah aku menceritakan masa kelam keluargaku. Bagaimana mungkin aku dapat mengeluh memiliki suami seperti Mas Luqman. Ia bisa seperti itu pasti karena ibunya, apakah aku berhak menghakimi beliau? Dapatkah rasa sakit hatiku ini membalas segala jasanya? Ya Allah apa yang harus Sinta lakukan?, tangis itu pecah lagi kali ini bukan karena sakit hati melainkah lebih karena penyesalan dan rasa syukur.

*****


Hubungan Sinta dengan mertuanya masih renggang, tapi ada sesuatu yang berbeda. Hati yang semula dalam kegelapan kini telah menemukan cahaya. Karena itu, ia tetap menunjukkan baktinya dengan tetap bersikap hormat dan mengikuti langkah suami pulang untuk bertemu ibunya. Tiada yang tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari, pencarian jawaban kehidupan masih berlanjut. 

Setidaknya kini Sinta memahami ia tidaklah sendiri ada suami yang senantiasa di sampingnya untuk menghadapi ombak kehidupan. Ia tidak takut melangkah, ada tangan kokoh yang senantiasa mendukungnya. Jembatan hati dirinya dengan mertua masih rapuh, perlahan ia akan meraih itu.

Sinta memegang gagang telepon itu erat-erat, terdengar suara serak dari seberang

“Bu, ini Sinta.Tolong jangan ditutup dulu teleponnya, ada yang ingin Sinta sampaikan.

        “Sinta mennyayangi ibu dan rindu pelukanmu. Maaf karena Sinta memiliki banyak salah, walau ibu marah Sinta mencoba memahaminya. Karena itu bukti rasa sayangmu. Semoga ibu sehat selalu dan saat kita bertemu aku ingin mengatakan terimakasih telah melahirkan Mas Luqman.”

Tidak ada balasan dan telepon itu tertutup. Sinta tersenyum memegang gagang telepon itu. Senyumnya merekah karena telah berani memulai langkah untuk mendekat. Setelahnya, dengan hati berbunga ia memasuki dapur dan berencana memasak pecel lele kesukaan Luqman.

Bantul, 16 Agustus 2016

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *