“Ini sangat enak, aku tidak pernah memakan makanan seperti ini. Apa namanya?”
“Itu singkong goreng ada juga yang menyebut ubi. Benarkah kau tidak pernah memakannya? Sayang sekali. Kalau begitu aku akan sering mengajakmu keluar dan memakan makanan yang pernah kau lihat sebelumnya. Tapi kau harus ingat ini adalah rahasia.”
Persahabatan dalam dongeng itulah ikatan mereka. Leoniterlahir sebagai seorang anak dari keluarga bangsawan menjalin persahabatan dengan Tian anak petani. Pertemuan bagaikan misteri, hanya karena sepotong singkong goreng tumbuh benih kekaguman di hati Leoni. Leoni terlahir dengan kelemahan fisik, hidupnya yang dipenuhi gemerlapnya kehidupan menjadi hampa. Hingga akhirnya ia bertemu Tian.
—…—
Kepergiannyamenyisakan luka, Tian meninggalkannya untuk melanjutkan pekerjaan keluarganya sebagai petani. Tubuh itu kini terbaring lemah, ia seperti kehilangan cahaya kehidupan. Matanya sayu dan iapun tidak banyak bicara berbagai dokter didatangkan namun obat masih belum ditemukan. Penyakit masih tersembunyi disarangnya. Hingga mereka akhirnya mereka menemukan sumber penyakit itu.
“Kenapa kau jadi lemah seperti ini?” Sapa Tian perlahan.
Demi Leoni, kedua orangtuanya rela mencari keberadaan Tian.
“Aku akan memberikan segalanya tetaplah disini”, ia menguatkan diri terbangun. Menatap Tian seakan ingin menyimpannya dalam-dalam selagi masih ada kesempatan.
“Aku ingin semua kekayaanmu sehingga aku tidak perlu bekerja. Seandainya ini milikku dan aku mengusirmu apa yang akan kau lakukan?”
Leoni terdiam, keraguan terpancar dari wajahnya.
“Lakukanlah tugas sebagai nonamuda dan aku akan melakukan tugasku sepenuhnya dimana aku seharusnya berada.”
“Aku tidak bisa, berada dalam sarang emas ini membuat kehidupanku seperti mayat berjalan. Kaulah yang mulai mengenalkanku akan sebuah senyuman. Bagaimana mungkin aku merelakan kepergianmu?”
“Aku bukan pengasuhmu jadi…”
“Kau adalah sahabatku, satu-satunya sahabatku.”, Leonimemotong perkataannya, mata itu tidak dapat berbohong.
“Terserah, kau tahu aku…”
“Tidak suka dengan anak cengeng dan tidak mau terikat aturan.”
Tian tersenyum Leoni mengingat semuanya.
“Cepatlah sembuh sehingga kita bisa menikmati lumpur bersama lagi.”, Tian menatap pintu dimana kedua orang tua Leoniberdiri. Senyum mereka lebih dari sekedar ungkapan rasa terimkasih.
—…—
“Kenapa aku harus sekolah ditempat yang sama sepertimu?” gerutu Tian.
“Bukankah ini yang kau inginkan.”
Mereka berdiri di depan sebuah gedung yang menjulang menantang langit. SMA Nusa Harapan, terukir dengan gagahnya..
“Aku hanya bercanda waktu itu.”
“Sekarang sudah terlanjur, aku akan membantumu.”
Senyum tidak pernah terlepas dari bibir Leoni, “terimakasih”.
Kehidupan sekolah berjalan lambat, Tian mulai tersiksa. Kemampuannya dalam mengikuti pelajaran berjalan seperti kura-kura. Leon setia memberikan semangat dan dorongan kepada sahabatnya.
“Sekolah ternyata tidak begitu buruk, terimakasih!”, perkataan Tian membuat Leon tertawa lebar. Tian terpana memandang ruang ekstrakulikulernya.
Segala penat yang dirasakan Tian telah terbayar saat ia bisa mengkuti kegiatan taekwondo. Leoni menggunakan kekuatannya untuk mendaftarkan Tian.
“Apa yang kau ikuti?”
“Aku ikut kepengurusan perpustakaan jadi kalau kau mau meminjam buku ataupun mengerjakan laporan serahkan padaku.”
“Memang sesuai dengan dirimu.”
Sore itu Leoni tersenyum puas melihat sahabat baiknya berlatih taekwondo dari jendela perpustakaan. Sebelum Leoni mengerjakan laporan ia menyempatkan mengirim pesan.
Aku melihatmu, kau seorang bodygurad yang tangguh. Aku menunggumu, setelah selesai latihan datanglah ke perpustakaan lantai dua.
Dunia sekolah memberikan kenyamanan sendiri, serpihan memori terukir indah. Terutama jika berhubungan dengan hati. Waktu berjalan tanpa bisa ada yang mencegahnya, apapun bisa terjadi begitu juga dengan Leonidan Tian. Disaat Leonimemfokuskan diri dengan nilainya, Tian mendapatkan angin segar bercumbu rayu dengan para gadis. Tian menjadi idola baru, terutama saat ia mulai menorehkan namanya dalam daftar atlet sekolah.
Leoni berusaha memahami namun disisi lain ia merasa kehilangan. Terlebih saat Tian telah menambatkan hatinya pada seseorang diantara pemujanya. Eca adalah nama yang beruntung diantara siswi lain.
Dalam menjalin hubungan, orang ketiga merupakan parasit. Itulah yang dirasakan Leoni. Tian tidak menunjukkan perubahan namun Leonimemahami kondisinya. Hingga pertengkaran kecil tidak dapat terhindarkan.
“Apakah kau akan tetap memilih Leoni?, setiap kali kalian bersama hatiku dijerat rasa cemburu. Kau selalu bercanda dengannya sedangkan aku?”
“Ca, kenapa kau jadi seperti ini?”
“Aku membicarakan hubungan kita, pernahkah selama ini kau memperhatikanku? Bukankah kau kekasihku?”
“Ada satu hal yang harus kau tahu, walau kita pacaran aku masih memiliki kehidupan pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Termasuk dengan Leoni, ia sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Persahabatan kami terjalin lama sebelum aku mengenalmu kalau kau mau menerima diriku kau juga harus menerima dirinya. Disaat aku kehilangan semua keluargaku hanya dialah yang setia disisiku. Sekarang dia adalah keluargaku satu-satunya. Berhentilah mencurigai hubungan kami, saat kau membencinya berarti kau juga membenciku.”
Perdebatan sepasang kekasih menjadi perhatian di dalam restoran kecil itu. Eca terisak lirih sepeninggal Tian. Disisi lain ada seseorang yang juga menangis mendengar pertengkaran mereka, ia tidak lain adalah Leoni. Perasaan Leoni bercampur aduk bukan karena sedih ia terlalu bahagia mengetahui bahwa ia memiliki seseorang yang menganggapnya sebagai saudara.
—…—
Berita tidak sedap menghampiri telinga, persahabatan Leonidan Tian diguncang rumor yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Leoni merasa bersalah dan putus asa, terlebih disaat Tian jarang terihat di sekolah. Ia mengira Tian telah meninggalkannya. Keadaanya menjadi semakin memburuk tatkala Leoni harus dirawat di Rumah Sakit. Kedatangan orang tuanya membuat Leonisemakin jengah, pembicaraan sama. Perihal sama dan selalu diulang hingga Leoni fasih mengulang perkataan mereka.
“Kamu harus kuat seperti kakakmu Leoni? Kamu adalah penerus keluarga jadi jangan lemah. Banyak orang di luar yang mengincar posisimu!”
Sampai hari ke tiga Tian belum mengunjunginya, Leoni masih mengharapkan kedatangannya. Bulan purnama menyempurnakan kesepian Leoni. Bulir-bulir bening itu luruh, isak kesepian mengiris hati.
“Aku mau menyusulmu kak, aku sudah tidak kuat lagi”
“Kalau kau pergi siapa yang akan membantuku mengerjakan tugas.”
“Tian….kau…”, Leoni memandang sahabatnya dengan rasa tidak percaya. Tian perlahan mendekati ranjangnya. Tanpa bisa ditahan Leonimemeluk tubuh tegap itu. Tian membelai rambut itu seperti yang biasa ia lakukan.
“Aku takut kau tidak datang.”
“Kalau aku tidak memenangkan lombaku maka aku tidak bisa segera menemuimu.”
“Kau menang?”
“Itu tidak perlu dijawab.”
Mereka duduk berhadapan, bulan menjadi penerang satu-satunya. Leonimenatap lekat wajah Tian.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Kukira inilah waktunya. Katakan sejujurnya tentang perasaanmu. Mereka pasti akan mengerti karena mereka adalah orang tuamu.”
“Tapi?”
“Aku tidak bisa mendampingimu kalau seperti ini? Kuharap kau paham dengan ini semua. Ada saat dimana kita harus memilih jalan hidup agar tidak tersesat. Aku yakin kau bisa karena aku memahamimu.”
“Bagaimana kau tahu semua ini?”
“Aku bukanlah patung, aku manusia yang bisa melihat dan mendengar. Apakah itu belum cukup?”, Leoni terdiam
“Segala keputusan ada di tanganmu. Ini adalah kehidupanmu, kau berhak untuk bahagia, senyum itu lebih dari segalanya.”
“Terimakasih, kuharap kau bisa menungguku. Apakah masih ada harapan?”
“Aku sudah mengatakan sejak awal, hubungan persahabatan dan persaudaraan ini lebih dari cukup. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang benar, bukan sebagai kekasih. Aku yakin kau akan mendapatkannya suatu saat nanti.” -Air mata Leoni meleleh.– “Yang harus kau lakukan hanyalah lebih terbuka kepada orang lain.”
—…—
Pesta pernikahan Tian digelar secara sederhana, semuanya tertawa merayakan berita bahagia ini. Saat semunya larut dalam kegembiraan. Sebuah mobil berhenti di halaman rumah Tian. Seorang gadis membuka pintu perlahan, kaki jenjangnya menggambarkan betapa mempesonanya sang pemilik. Rambut hitamnya terjepit pita emas yang senada dengan bajunya. Ia berjalan perlahan menantang puluhan pasang mata.
“Aku menunggumu kenapa lama sekali?” Sapa Tian tanpa bisa menyembunyikan senyum. Gadis itu mengembangkan tangannya menyambut sahabat yang sekian lama ditinggalkannya.
“Tian! Selamat atas pernikahannya.”
“Selamat datang Leoni, selamat datang kembali ke rumah.”
“Ini adalah harimu mari kita merayakannya. Dimana calon istrimu? Aku ingin memberinya selamat secara langsung.”
“Di dalam, ia sedang berdandan.”
Pandangan itu memunculkan berjuta pertanyaan, Leoni tersenyum menggandeng tangan Tian.
“Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang untukku.”
Bantul, 25 Agustus 2019