Hari pertama di Embrace Your Innerchild and be Happy, dr. I Gusti Rai Wiguna, Sp. Kj memberikan statement menarik. Emosi bayi itu tidak hanya terbentuk selama pengasuhan, bisa saja bibit dan bekal emosi itu sebenarnya adalah efek dari dalam kandungan.
Percayakah Sobat, kalau janin dapat merekam memori?
Pengasuhan Orang Tua dan Janin
Kehamilan selama kurang lebih sembilan bulan memilin ikatan batin antara janin dan ibunya. Mulai dari pertama kali roh ditiupkan, janin di dalam perut hidup layaknya manusia biasa. Ia membutuhkan nutrisi dan oksigen untuk berkembang. Satu per satu organ juga mulai terbentuk, seiring dengan kompleksnya fungsi organ yang dibutuhkan.
Pun dengan otak. Saat janin berusia 6-7 minggu pembentukan otak sudah terjadi. Dimulai dari pembentukan otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), batang otak, kelenjar hipofisis hingga hipotalamus. Semuanya terprogram sempurna, baik laki-laki ataupun perempuan.
Struktur otak jika dilihat dengan mata telanjang hanya berbentuk seperti tumpukan kerutan yang terbelah. Padahal dalam otak, terdapat bagian-bagian yang sangat penting fungsinya. Salah satu hal yang membedakan otak kita dengan otak hewan adalah otak emosi.
Di dalam rahim, fungsi otak emosi ini lebih dominan daripada otak intelektual. Salah satu tindakan yang bisa dilihat dan dirasakan oleh ibu adalah dari reaksi janin. Misal ketika ibunya marah-marah, sang janin akan menendang ataukah mengalami pergerakan aktif. Sebaliknya, kalau diperdengarkan Al-Quran ataukah musik klasik, ia bisa diam dan tenang.
Bagaimana kalau janin berasal dari ibu yang tidak mengharapkannya? Bila selama kehamilan orang tua mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan (misalnya anak ini akan diberikan kepada orang lain), orang tua bertengkar, atau sang ibu mengalami perasaan-perasaan negatif atas suatu sebab, maka janin dapat turut merasakan.
Berdasarkan penelitian, emosi (positif atau negatif) akan terus tersimpan sepanjang hidup. Saat anak lahir, semua perasaan janin akan terekam di alam bawah sadarnya. Kalau sudah besar, si anak nantinya akan mengalami layaknya dejavu. Padahal belum kenal atau lihat, tetapi sudah seperti berada di sana.
“Wah, aku seperti pernah mengalaminya.”
“Aku merasa dekat dengan tempat ini.”
Di Balik Sebuah Peristiwa
Pengalaman tidak menyenangkan juga dapat membekas. Ini juga tantangan bagi orang tua yang mau mengadopsi anak. Ketika mengadopsi anak, kita tidak tahu bagaimana perasaan dan ikatan ibu dengan janin dalam kandungannya.
Nah, ada beberapa kasus orang tua angkat sudah memberikan pengasuhan terbaik, tetapi sikap anak masih memusuhi ataukah melawan. Terkadang juga memberontak.
Pernah suatu kali, keluarga tante saya mengadopsi seorang bayi. Setahu mereka, bayi itu diberikan nutrisi dan penghidupan yang layak melalui dana bulanan yang diberikan kepada si ibu. Pun ketika masih bayi, mereka memberikan yang terbaik. Seiring berkembangnya waktu, pertumbuhan anak itu terasa luar biasa.
Ketika anak itu berusia 5 tahunan, ia seringkali menunjukkan ekspresi ketidaksukaan pada Om. Bisa dibilang, ia sangat sensitif. Kalau Tante mengingatkan anak itu akan marah, melempar kursi atau barang-barang.
Tante berupaya untuk menangani sendiri. Ia beranggapan, semua yang tejadi karena pengasuhan mereka. Mereka ikut kelas parenting, memberikan nutrisi yang layak dan juga tempat pendidikan yang memadai. Namun, semuanya kembali terulang.
Setelah diperiksakan ke psikiater, Tante diminta untuk menemui rang tua anak ini. Ternyata ada sesuatu yang belum tuntas dalam diri si anak. Dulu, ia memang tidak diinginkan oleh orang tuanya karena kondisi ekonomi.
Sang ibu sering berkata tidak mengharapkan janin itu hidup, bahkan beberapa kali minum jamu agar keguguran. Sedangkan sang ayah, sering memukul perut ibunya kadang membenturkan ke lantai atau meja. Pertengkaran-petengkaran yang terjadi membuat si ibu stres. Namun, semua mereda ketika Tante akan mengadopsi anak itu.
Ada kisah lain yang menarik dari dr. Rai!
Seorang pemuda (M) berusia 20 tahunan didiagnosis dengan gangguan psikosomatis. Yang belum tahu, psikomatis itu merupakan keluhan fisik yang timbul karena adanya pengaruh pikiran dan emosi. Alasan yang menyebabkan semua keluhannya belum jelas, tetapi tidak dapat dilihat secara fisik semacam luka atau infeksi.
Setiap kali merasa tidak nyaman atau terusik, M akan merasakan badannya berkeringat, jantung berdebar kencang dan yang paling membuat tidak nyaman, ia akan merasa seperti demam. Sekujur tubuhnya terasa panas.
Padahal dalam kesehariannya, M termasuk orang yang menjaga kesehatan. Setelah dilakukan pemeriksaan dan juga terapi (salah satunya hipnoterapi) belum ada perubahan yang signifikan. Masa kecilnya terlewati dengan bahagia, pun ketika ia remaja. Namun, kenapa rasa panas itu masih terasa?
Saat itulah sang ibu yang biasa hanya mendampingi diajak gabung dan konsultasi.
“Apa yang sebenarnya terjadi ketika M masih dalam kandungan?”
“Saya pernah mencoba menggugurkannya dengan berendam air panas di bathtup. Pun ada cara lain yang saya lakukan, tetapi gagal.”
Apa yang dapat Saudara ambil dari kedua cerita di atas?
Otak Manusia
Otak emosi berkesinambungan dengan hormon dan saraf. Bila emosi meningkat, semisal kita marah. Energi yang dibutuhkan semakin banyak, sayangnya pembuluh darah semakin menyempit karena oksigen yang diolah pun juga semakin meningkat. Layaknya perjalanan oksigen dan darah, jantung dan paru-paru juga saling terkait.
Berdasarkan penelitian, sakit fisik lebih banyak disebabkan oleh pikiran dan emosi. Karena itu, mengetahui diri sendiri menjadi bekal kuat dalam membangun proteksi diri.
Setelah bagian otak emosi beserta organ di sekitarnya, juga ada yang namanya limbic system. Limbic system juga bisa dikatakan sebagai otak mamalia, yang sering dikenal sebagai otak hewan. Jadi, tidak salah kalau ada yang mengatakan manusia kadang bisa menjadi hewan.
Secara tidak langsung perkataan ini menjadi nasihat sekaligus peringatan. Apabila emosi tidak dikelola dengan baik dan terarah manusia dapat bertindak buas.
Nah, bagian lain dari otak yang menarik adalah otak reptil yang berfungsi untuk melindungi manusia pada saat mendapat serangan atau adanya tanda bahaya. Refleks yang ditunjukkan pun secara spontan.
Bisa berupa Fight (serang) ataukah flight (menyerah). Bayangkan kalau kita menghadapi anjing galak, apa yang kita lakukan? Biasanya akan refleks lari. Di saat seperti inilah otak reptil mendominasi.
Seiring bertambahnya kedewasaan seseorang, otak juga turut berkembang dan menyerap informasi. Ini nanti jugalah yang berpengaruh pada pengelolaan emosi.
Manusia itu pengendali emosi dan pikirannya. Kalau sebaliknya yang terjadi, berarti ada luka dalam diri yang belum sembuh!
Jika pengalaman dan pendidikan dapat sinkron, otak kita tidak hanya menyarankan lari tetapi juga menggunakan alat di sekitar untuk bertahan sebelum semua memori dan pengalaman baru ini tersimpan di bagian prefrontal.
Nah, masih ada yang belum menggunakan otaknya? Eh!
Mengenal Lebih Dekat Emosi
Emosi itu artinya bergerak keluar. Ekspresi atau respon terhadap sesuatu. Kadang kita salah tangkap kalau emosi itu sesuatu yang negatif layaknya marah. Padahal emosi itu netral dan membuat hidup jadi lebih berwarna.
Emosi dasar manusia itu ada 6, di antaranya:
- Kebahagiaan
- Kesedihan
- Ketakutan
- Jijik
- Marah
- Terkejut
Emosi dapat diibaratkan sebagai tukang paket, jika kita mendapat paket sesuai keinginan ada rasa bahagia yang menghampiri. Bila paket dari orang tak dikenal, kadang kita merasa kaget, takut, jijik ataupun terkejut. Yang lebih parah kalau paket itu berisi sesuatu yang tidak menyenangkan sama sekali, kita akan marah tak jelas. Di saat bersamaan bisa sedih pula.
Semua emosi dasar memiliki fungsi positif. Kadang, di masa milineal ini, ada yang beranggapan kalau emosi positif itu ya bahagia. Padahal sejatinya bahagia yang dirasakan secara berlebih pun memberikan dampak negatif bagi kita. Salah satunya berkurangnya empati.
Ingatlah! Segala sesuatu yang dilakukan atau diterima secara berlebih akan memberikan efek sebaliknya.
Nah, emosi manusia terbentuk dari tangkapan peristiwa atau respon orang lain. Sayangnya, tanpa disadari, emosi yang kita tampilkan 99,9% pun demikian. Istilahnya, emosi yang tidak terkontrol bukan lagi cerminan diri tetapi cerminan respon orang lain yang kita rekam dalam ingatan.
Ekspresikan Emosimu!
Emosi tidak bisa dihilangkan, layaknya anugerah yang melekat pada diri manusia harus diterima dan disalurkan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi hal ini, salah satunya kepribadian, pengalaman di masa lalu, ataukah dari pengasuhan yang terjadi.
Cara untuk mengeluarkan emosi, di antaranya:
Supresi
Berawal dari kebutuhan yang tidak terpenuhi dan merasa tidak diteima, seseorang yang memiliki trauma di masa lalu akan berusaha tegar di hadapan semua orang. Agar ia terlihat baik-baik saja dengan menekan semua permasalahan, harapan dan keinginan dalam diri.
Cara ini mendapat feed back baik dari lingkungan, tetapi dapat merusak diri. Bahkan, orang yang sering melakukannya memiliki risiko sakit yang lebih besar.
Bagaimanapun, tekanan yang menumpuk akan menekan kerja hormon, saraf dan juga pembuluh darah. Kalau itu semua sudah terkumpul dan menumpuk di satu organ, tubuh secara fisik juga akan merasakan rasa sakit itu.
Ekspresi
Mengekspresikan emosi secara langsung dan terus terang sangat baik pada tubuh. Namun, hal ini kurang mendapat respon positif dari lingkungan.
Release
Mencoba dengan melepaskan emosi secara tepat perlu latihan dan ketekunan. Emosi harus dilepaskan di tempat yang tepat. Misal kita marah pada anak karena menumpahkan susu di lantai. Tak bijak kalau kita langsung meluapkan ke anak.
Lebih baik mencari tempat privasi dan mendekatkan diri pada Ilahi. Bagaimanapun hati itu misteri, dan hanya Allah yang mampu menguasainya secara penuh.
Yang pertama kita perlu mengakui akan emosi yang ada di dalam diri.
“Ya Allah, saya merasa tidak kuat. Bantulah untuk mengangkat kesedihan ini.”
Pengakuan ini membuat diri kita menjadi menyadari batasan diri. Di saat sudah merasa memiliki kelemahan, kita perlu berusaha/ berikhtiar. Bisa dengan nafas dalam,meminum air hangat, wudu ataukah salat.
Selanjutnya, sabar dan berdoa!