Hari raya kurban telah kita lalui , apakah ada yang istimewa di dalamnya?
Ada yang berbeda dengan Hari Raya Kurban kali ini. Jika sebelumnya kami sekeluarga hanya memaknai sekedarnya, puasa, ikut shalat sunnah setelah itu melihat acara penyembelihan kurban di halaman masjid. Tapi Alahamdulillah perlahan semuanya berubah dan tidak hanya bermakna akan kewajiban saja. Namun kemarin setelah bersilaturahmi dengan salah satu sahabat yang mengaku ‘nabi palsu’, ada pemahaman terbaru mengenai arti berkurban.
Berkurban itu bukan dari hasil sisa yang kita miliki tapi hasil dari sesuatu yang paling kita cintai. Maksudnya?
Permisalan saja ya? Gaji lima juta perbulan, dalam tabungan masih ada uang 5 juta (dari mengumpulkan selama setahun). Untuk keperluan sehari-hari, susu, akomodasi dan lainnya tersisa 100-500 ribu untuk simpanan. Nah di hari raya ini kebetulan tidak ada sisa bahkan menjadi minus karena ada keperluan mendadak. Dalam siatuasi seperti ini apakah kita perlu berkurban?
Opsi 1
Tidak perlu berkurban, jika memandang dalam kacamata kebutuhan karena kita masih kekurangan. Uang ditabungan merupakan kebutuhan simpanan untuk keperluan mendadak. Dan itupun hanya sekedarnya.
Opsi 2
Bisa berkurban. Selama kebutuhan keluarga masih bisa tercukupi.
Dimanakah kita berada? Apakah dalam opsi 1 atau ke 2. Sebenarnya semuanya hanya bergantung dari sudut pandang. Jika kita merasa mampu maka pilihan ke dua sangatlah tepat tapi jika tidak semoga Allah memberi kita hidayah di kesempatan lainnya. Itulah pendapat kami pada awalnya. Tapi menurut ‘nabi palsu’ tidak ada opsi 1 atau 2, yang ada haruslah tetap berkorban. Walau habis tabungan kita, tetap niatkan untuk berkorban.
Apakah pendapatnya itu salah? Mari menengok sejarah sebentar. Silakan berpikir sejenak!
1. Apakah tatkala Nabi Ibrahim mengorbankan Nabi Ismail karena perintah Allah beliau dalam kondisi yang mapan? Mapan dalam artian semuanya tercukupi, rumah bagus dihuni dan punya penghasilan pasti.
2. Berharga anak ataukah harta yang dimiliki? Saat peristiwa berkurban terjadi, bukankah anak yang notabene harus disembelih? (sebelum Allah menggantinya dengan sebuah mukjizat.)
Dari dua pertanyaan itu saja sudah terlihat jelas bagaimana kurban yang seharusnya dilakukan, terlebih sebagai seorang muslim. Dalam hubungan dengan Allah tidak ada yang perlu diragukan. Jadi korban itu ‘wajib’, dalam artian niat yang semoga bisa terealisasikan. Untuk itulah perencanaan berkurban perlu dilakukan di tahun sebelumnya.
Mengapa begitu? Ini dikarenakan untuk mengurangi pendapat yang mengatakan kalau berkurban itu ketika kita bisa berlebih dari sisa keperluan kita. Walau dengan gaji dibawah lima juta sebenarnya kita bisa belajar berkurban.
Contoh seperti ini: untuk berkurban paling mudah sekarang 3.000.000 untuk seekor kambing ataukah untuk berpatungan membeli sapi secara berkelompok. Jadi 3.000.000 : 12 = 250 ribu . untuk menghemat 250.000 perbulan kita bisa memotong uang jajan keluarga (bukan anak ya), mengurangi pemenuhan kebutuhan tambahan (asesoris, pakaian, ataupun yang lain). Memang diawal sulit tapi kenapa tidak dicoba untuk beberapa bulan?
Dari sinilah kita akan lebih banyak belajar untuk bersabar dan ikhlas. Bersabar dengan segala keterbatasn dan ikhlas menerima keadaan dalam segala kondisi. Hemat tidak harus pelit. Tatkala berencana untuk berkurban kita upayakan bicara dengan keluarga. Istri dan anak diberitahu dan diajak berdiskusi untuk menentukan kebutuahn mana yang harus rela tergantikan atau dikurangi. Jika semuanya dilakukan bersama insyaAllah akan terasa lebih mudah.
Nah, sudah siapkah kita untuk berkorban?
InsyaAllah tahun depan kita sudah siap dan kita akan berkurban bersama. tapi jangan sampai berkorban perasaan ya?
Salam sayang dari keluarga D.