RASA TAKUT


Rasa takut mempengaruhi alam bawah sadar kita. Dimana rasa takut merupakan bagian dari naluri untuk bertahan hidup. Rasa takut merupakan peringatan akan adanya bahaya sehingga kita lebih waspada. Tapi jika berlebihan? Tentu saja berdampak kurang baik pada diri kita. Yang paling sering kualami adalah stress kadang juga bisa menimbulkan hal yang tidak realistis.


Bagaimana hal ini dapat terjadi? Disaat ketakutan melanda terlebih lingkungan kurang mendukung maka imajinasi berperan besar dalam memperburuk keadaan. Rasa takut sangat beragam penyebabnya, kali ini yang ingin kubahas mengenai rasa takut akan gangguan jin, entah bisikan was-was ataupun penampakan dari jin yang jahil.


Beberapa hari ini media mengangkat tema yang berbau horror. salah satunya desa penari. Bahkan banyak akun sosial yang memang mengambil tema ini untuk dijadikan bahan utama. Dan yang menjadi permasalahan utama aku termasuk orang yang suka akan cerita seperti ini. Setelah kutelusuri lebih lanjut, cerita seperti ini memang peminatnya tidak sedikit. Jadi temanku di luar sana memang banyak.




Nah, kita mulai dengan ceritaku ya?


Dulu aku merasa menjadi orang yang berani, dalam hal apapun. Terlebih saat masih anak-anak, seringkali aku keluar malam padahal saat itu penerangan belum seperti sekarang. Tapi semakin aku mengerti dan mendengarkan pemikiran dan cerita orang lain tentang horror ataupun mistis pelan-pelan rasa berani itu mulai terkikis. Entah sejak kapan, aku tidak ingat. Hanya saja rasa takut itu semakin berkembang.


Puncak dari semuanya ketika aku mulai memasuki kuliah dan dunia kerja. Selama 25 tahun dalam hidupku aku tidak pernah berhubungan dengan dunia di luar nalar. Setidaknya aku membatasi itu semua. Apa yang kutahu hanyalah cerita. Pengalaman tidak pernah (menurutku masih wajah dan dapat ditolerir). Namun semenjak hidup di daerah terpencil di salah satu daerah Sulawesi Barat ada beberapa hal yang memang harus kupercaya.


Pengalaman ini yang insyaAllah semakin membuatku menyadari betapa tidak berdayanya diri ini. Di Sulawesi Barat aku tinggal di daerah Tutar, daerah pegunungan yang masih asri dengan kehidupan tradisonalnya. Dunia modern seperti fashion sudah memasuki namun cara hidup mereka tetap melestarikan budaya nenek moyang. Disana masyarakat terbiasa hidup bertani, terutama kopi. Lahan mereka tidak berdasarkan ukuran meter tapi hektar. Jadi bisa dibayangkan betapa luas jarak antara ladang satu dengan lainnya.


Hari itu selepas sarapan (jam 8an) kusempatkan diri untuk ke ladang orang tua angkatku. Kami pergi bersembilan, bapak, mamak, aku dan enam adikku yang masih anak-anak. Diantara mereka ada yang berusia 2 tahun. Kami harus jalan kaki dan melewati rumah penduduk yang sebagian besar rumah panggung. Bahkan melewati kandang ternak, kebun kopi, sungai dan lahan ilalang.


Perjalanan kamipun harus menyusuri pinggir hutan dimana beberapa area hanya dihuni oleh pohon-pohon besar. Besar pohon itu menunjukkan kekokohannya mengarungi perubahan jaman. Jika dua sampai tiga orang dewasa saling mengaitkan tangan membentuk lingkaran kupikir baru bisa menyamainya.


Di awal keberangkatan kami tertawa bersama, dan saling bercanda. Selepas mengambil hasil panen kami kembali. Seingatku sebelum ashar masih jam 2an. Saat melintasi sungai yang dikelilingi pohon besar, aku mendahului yang lain mengikuti adikku yang satu-satunya laki-laki diantara kami. Rasa haus yang menyerang membuatku mempercepat langkah.


Perlahan kudengar canda tawa dari belakang, bahkan ada yang memanggilku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan jalan menapaki jalan setapak yang mendaki. Mereka pasti bercanda. Tenagaku sudah habis terkuras dalam perjalanan ini. walau demikian rasa penasaranku kian meningkat tatkala tawa anak-anak di belakangku mengeras. Bagaimana mereka masih punya tenaga untuk bisa bercanda seperti itu? aku menghentikan kaki dan memanggil adik laki-lakiku. Ia melambat dan berbalik mendekati. Melihat senyumnya aku merasa malu. Ia baru berusia 12 tahun tapi masyaAllah tenaganya (aku hanya bisa berdecak kagum).


“Masih kuat?” (dalam bahasa Mandar)

Aku hanya mengangguk dan menunjuk ke belakang.

“Kuakui aku kalah kalau kegiatan seperti ini. Tapi lihatlah mereka di belakangku? mereka daritadi bercanda tiada henti seakan tenaga mereka tiada habisnya.”

“Siapa?”

“Tentu saja saudaramu.”

Ia mengerutkan kening, dan menunjuk ke arah sungai. Dari tempat kuberdiri walau tanpa berbalik, dengan hanya menoleh ke samping aku bisa melihat mereka  mencoba menyebrangi sungai (Itupun aku baru mengetahuinya). Bapak membawa hasil panen, mamak menggendong adik yang paling kecil sedangkan yang lain menunggu di seberang. Tanpa menunggu waktu kutoleh kebelakang dan memang tidak ada orang.

Nah lo siapa pemilik suara itu?


Saat itu aku masih ingin berpikir rasional mungkin saja ada anak-anak lain yang ingin mengerjaiku. Tapi semuanya terbantahkan tatakala kuceritakan pada mamak dan bapak apa yang terjadi. Mereka tertawa dan menenangkan diriku. Kejadian seperti itu memang sering terjadi di hutan, itu cara mereka menyambut. Ada yang bertemu dengan makhluk yang berwujud tapi ada juga yang hanya suara. Menurut kepercayaan mereka, memang ada penghuni di luar kuasa kita terlebih di sekitar pohon besar tadi.


Saat itu aku berusaha tetap optimis untuk berpikir relistis. Aku adalah seorang pemberani, kunci kalimat itu masih terus kupegang. Tapi semakin aku menolak mengakui keberadaan mereka, mereka semakin ingin  berkenalan denganku. Pengalaman di lain waktu.


Saat itu hari menjelang maghrib, aku beserta bapak angkat dan 3 murid dari luar daerah ingin kembali ke dusun kami. Kijang tahun 2009 setia menghadapi terjalnya jalan. Aku duduk di kursi tengah sebelah kiri, di tengah dan dibelakang kursi kemudi serta kursi depan di duduki anak-anak. Perjalanan kami harus melewati rute jalan berlumpur, kebun kopi dan perbukitan yang jarang di huni oleh penduduk.

Saat itu kami melewati jembatan setengah jadi, hujan menambah kondisi jalan semakin becek. Mobil berjalan perlahan. Di depan kami ada mobil yang sempat juga di dorong oleh beberapa orang karena terjebak lumpur. Bapak yang biasa mengemudi di jalan seperti ini tetap terlihat santai dan tenang. Matahari sudah mulai bersembunyi, cahaya kemerahan mulai terlihat. Sembari menunggu  aku mengedarkan pandangan. Tepat di tengah jembatan aku menoleh ke arah kanan, dimana ada kebun kopi yang diselingi tanaman Lombok dan sayuran.

“Pak, itu kasihan mbaknya kok sore-sore seperti ini masih memetik Lombok?” kataku spontan.

Bapak tiba-tiba menghentikan mobilnya, “dimana?”

“Di sana!” Aku menunjuk ke arah kebun, ia masih disana mengenakan pakaian biru dengan rambut hitam panjang diuarai sebatas pinggang. Aku tidak mengenalinya karena wajahnya tertutup.

“Di mana?”

Sekali lagi aku menunjuk, tiba-tiba anak-anak menggeser duduk mereka ke arahku. Wajah mereka memucat.

“Mana mungkin ada orang di kebun jam segini? pasti salah lihat. Di sekitar sini juga tidak ada rumah.”

Tanpa menunggu waktu aku menoleh lagi dan perempuan itu tidak ada. Bapak memberi salam dalam bahasa mandar dan menyalakan mobilnya lagi. Aku hanya tertegun dan berharap itu halusinasi tapi kok ya sangat nyata.


Setelah pengalaman itu, pengalaman-pengalaman lainpun mulai menyusul. Ada saat aku mengajar di SD di pagi hari ada tangan dan muka yang menampakkan diri di jendela, selain itu ada juga murid yang sering kesurupan setiap minggunya. Tapi Alhamdulillah sampai sekarang Allah masih melindungi dan sayang padaku. Sejak itu pula aku memang yakin bahwa mereka memang ada dan hidup di sekitar kita.


Tahun telah berganti. Pengalamanku memang tidak terlalu menakutkan hanya saja pikiranku mulai berubah. Rasa takut itu tetap menyisakan cerita di kala gelap melanda. Kini aku hidup sendiri dengan anakku, suami bekerja di luar kota sehingga kami harus LDR. Sejak itulah kuberanikan diri untuk lebih berjuang melawan rasa takut ini. Tapi tetap saja pernah terbersit rasa menyerah yang menyebabkanku menangis di kala malam. Saat menulis ini aku memang masih menjadi penakut tapi setidaknya aku bisa berdamai dengan itu semua.


Jadi dimanapun berada kita harus tetap bertawakal kepada Allah. Membaca bismillah dan menutup pintu untuk jin masuk ke rumah kita dengan menyebut nama Allah (pintu, jendela, lemari, kulkas, gerbang, tempat minum dan lainnya). Selalu sediakan waktu untuk menenangkan diri. Beraktivitas yang bermanfaat dapat  menghindarkan kita dari stres, misal menulis, jalan-jalan, membersihkan rumah dan lain-lain. Begitu pula saat kita ada masalah cobalah untuk mengalihkan perhatian dan focus menggali potensi diri. Memikirkan penilaian orang lain justru membuat kita semakin terpuruk.


Saat rasa takut melanda kenali pemicunya, tetap berpikir positif. dan yang terpenting hindari berusaha untuk tampil sempurna. Jika memang takut, akui dan meminta pertolongan pada Allah. Jangan ragu untuk meminta bantuan. Selain itu berilah salam dan bertingkah yang sopan jika bertandang ke tempat orang lain ataupun ke tempat baru.


Sampai jumpa rasa takut, selamat datang sikap berani. Aku ada karena Allah, mereka ada juga kuasaNya. Bismillah selalu merendah dihadapanNya.


Selamat mengenali diri sendiri. Salam sayang dari keluarga D.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *