Mengenal Diriku
Setelah sekian lama, hari ini tepatnya Rabu, 15 Maret 2023 saya memberanikan diri untuk kembali menulis. Yah, setelah vakum berbulan-bulan ada kerinduan untuk kembali mengisi blog ini.
Menjalani peran sebagai mahasiswa Bunda Sayang memberikan dorongan untuk selalu berani berbenah dan aktualisasi diri dalam proses pengasuhan. Salah satunya untuk kembali membuat jurnal rutin di blog.
Sebelumnya, proses pengasuhan menjadi salah satu penyebab diri ini kurang PD untuk unjuk diri. Kehilangan calon anak kedua, depresi hingga berakhir dengan memutus beberapa kegiatan dan aktivitas menulis. Yang lebih parah, saya menjadi lebih fokus pada diri sendiri.
Rasa bersalah karena kealpaan pada anak pertama menjadi titik balik untuk lebih menghargai apa yang sudah ada. Apalagi setelah tahu, kalau anak pertama—Hakim, ternyata didiagnosa SPD (Sensory processing disorder) dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) di usianya yang ke enam.
Self Awarness
Belajar untuk mengenal diri sendiri setidaknya membuka jalan untuk selalu waras sekaligus menemukan versi terbaik diri. Dalam hal ini, saya terbantu untuk lebih mengelola perasaan, pikiran dan perilaku. Apalagi ketika waktu lebih banyak dihabiskan berdua dengan bocil.
Ke mana suami? Saya termasuk pejuang LDR, suami berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga di luar kota sedangkan saya berjuang di rumah. Jadilah, apa yang ada di rumah itu menjadi tanggungjawab saya, pun dengan pengasuhan anak.
Awalnya, ini semua bukan impian yang ingin saya capai. Saya ingin aktif di luar sembari membantu suami. Namun, hidup tak selamanya sesuai keinginan. Realita jauh lebih kejam dari apa yang kita bayangkan (Byuh lebay!) Bukan begitu. Dalam kondisi apa pun selayaknya kita berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan yang tak terduga. Apalagi sebagai ibu dan juga istri.
Sebagai penyokong keluarga, kenyamanan diri sangatlah penting. Rasa ini membuat kita merasa lebih baik, merasa dihargai dan juga merasa berharga. Proses perjuangan yang kita lakukan seyogyanya juga menguatkan emosi positif diri dan dapat menular ke anggota keluarga lain.
Apa yang Terjadi Hari Ini?
Menjalani terapi okupasi (OT) sekaligus terapi perilaku (BT) menjadi kebiasaan baru di hari Rabu. Pun di hari ini. Perjalanan ± 1 jam dari Pleret ke Jl. Magelang menjadi tantangan sekaligus pengalaman tersendiri. Beruntung calon bayi kami di usianya 5 bulan dalam keadaan sehat dan prima.
Rencana terapi Hakim masih panjang. Seakan saling menguatkan, kami (saya dan Hakim) selalu menyempatkan diri untuk berbicara dari hati ke hati selama perjalanan. Plus untuk calon dedek dalam perut, Alhamdulillah juga terasa aktif.
Temperatur Kebutuhan Emosi Diri
Berada di antara Hakim dan calon buah hati kami, saya merasa dicintai, dibutuhkan, dan bernilai. Walau permasalahan terasa semakin banyak dan melelahkan, saya menjadi lebih bersyukur. Pun walau jarak memisahkan, saya selalu merasa dihargai, dipahami dan juga aman karena suami tidak pernah melupakan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah.
Di sisi lain, saya merasa kurang kompeten sebagai ibu. Khususnya menghadapi anak saya dengan kondisinya yang spesial. Pun juga untulk kebutuhan calon anak kami lainnya. Butuh banyak usaha untuk mendampingi tumbuh kembang mereka.
Jauh Lebih Dalam Mengenali Diri Sendiri
Saya merasa dicintai
Berada di antara suami dan bocil menempatkan diri saya di posisi istimewa. Terlebih saat kami berkumpul. Tidur bareng, saling bicara dan ngobrol. Terlesip juga ungkapan sayang. Yah, walau kalimat itu lebih sering muncul dari mulut bocil, saya tetap merasa senang dan bahagia.
Bukan berarti suami tak sayang, memang dari awal ia sudah mewanti-wanti kalau ia tak pandai berkata-kata. Ungkapan dan perbuatannya seringkali random. Namun di antara mereka, terdapat persamaan. Khususnya ketika saya tidur, kecapekan atau saat sakit. Mereka pasti memeluk tiba-tiba dan menangis.
Saya merasa dipahami
Mempunyai rekan hidup yang dapat diajak ngobrol menjadi poin plus. Bisa dibilang saya ini lebih emosian dari suami, tetapi kesulitan dalam mengungkapkannya. Berbeda dengan suami yang bisa cerita semuanya, saya merasa lebih segan dan enggan.
Belajar darinya, saya mulai terbuka. Namun, dalam kondisi tertentu kebiasaan lama itu masih juga ada. Seakan memiliki indera ke enam, suami seakan tahu apa yang saya rasakan. Jadi, walau tanpa diminta ia sukarela membelikan cokelat da makanan kesukaan. Tak jarang pula, ia memberi izin untuk berbelanja. Plus, yang lebih penting, ia diam kalau saya mulai ngereog.
Saya merasa dihargai
Diberikan kepercayaan dalam mengelola kebutuhan rumah tangga, uang dan pendidikan memberikan peluang bagi saya untuk mengeksplore diri sekaligus mengembangkan diri. Dari dasar inilah, suami lebih menghargai pendapat saya. Apa pun yang saya katakan, ia terima. Tentu saja dengan catatan selama minta izin, jujur, terus terang, sekaligus dengan biaya minim (ha ha).
Pun kalau ada kondisi yang mengharuskan kami berdebat, jalan keluar berupa perdamaian selalu menjadi titik tolak. Pokoknya, masalah rumah tangga harus diselesaikan berdua.
Saya merasa bernilai
Menunjukkan diri yang lebih sehat dan waras menjadikan saya berusaha untuk memperbaiki pola hidup. Berawal dari diet dengan tujuan agar badan lebih sehat sekaligus menurunkan berat badan, saya memberanikan diri mengatur makanan keluarga. Lebih tepatnya ke anak. Yah, walau kadang di bilang tega karena anak selalu bilang lapar di mana pun dan kapan pun (ini semua karena SPD salah satu faktornya, jadi sensori ambang batas kenyang itu tidak ada. Hanya makan dan makan.)
Poin plus lagi ketika anak menunjukkan perilaku positif di luar, saya merasa bangga dengan diri sendiri. Antri di kasir misalnya, walau terlihat sepele, anak ADHD membutuhkan usaha ekstra untuk melakukannya.
Saya merasa kompeten
Memiliki basic pengetahuan kesehatan dan pendidikan setidaknya memberi gambaran sekilas akan kebutuhan dan kesehatan anak. Pun kalau ada masalah, semisal dalam tumbuh kembangnya, saya lebih mudah bertindak sekaligus tahu harus mencari bantuan ke siapa.
Saya merasa aman
Berada di rumah menjadi tempat teraman dan ternyaman. Memiliki tetangga yang kooperatif sekaligus berperan sebagai penjaga mengikis kekhawatiran karena jauh dari suami. Jadi, kalau ada apa-apa lebih mudah mencari bantuan.
Saya merasa diperhatikan
Hidup merantau menjadi salah satu dasar untuk lebih menjaga silaturahmi dengan keluarga melalui ponsel. Setidaknya, sehari sekali harus menghubungi ortu/ mertua. Lebih tepatnya, mereka yang lebih sering menghubungi (Ho ho). Kalau suami jangan ditanyakan, bangun tidur sudah telepon.
Saya pun Bisa Jatuh dan Jauh
Saya tidak dicintai
Berada jauh dari keluarga seringkali menyisakan luka. Apalagi saat mendapat masalah. Seperti kemarin, ketika keguguran. Rasanya ingin bercerita, tetapi sungkan dan segan. Suami dinasnya jauh, tak bisa bebas cuti. Orang tua sedang kesulitan ekonomi, pun dengan mertua sedang haji. Merasa sendirian dengan segudang tugas rumah tangga dan mengasuh anak sangat tidak mengenakkan. Butuh waktu lama untuk sekadar bisa menerima keadaan.
Saya tidak dipahami
Memiliki hobi menulis dan juga sebagai anggota komunitas seringkali membutuhkan waktu untuk me time bersama teman. Butuh waktu untuk keluar, butuh jeda untuk sekadar bertukar pikiran. Namun, terkadang suami tak mau mengerti. Membersamai anak dirasa memberatkan (walau memang itu benar adanya.) Apalagi kalau ada acara seharian, hm acc-nya butuh waktu dan proses negosiasi yang lama.
Saya tidak dihargai
Sebagai ibu rumah tangga, keuangan menjadi hal sensitif untuk dibicarakan. Pernah suatu kali, suami beli mobil, motor dan barang lainnya tanpa adanya komunikasi. Padahal ada keperluan lain yang tak kalah penting dari hobinya itu.
Anggapan uang hobi adalah haknya menjadi bomerang untuk keseharian kami. Ujung-ujungnya pasti adu argumen. Beruntung, Allah masih sayang, walau ia bertransaksi di belakang saya, akhirnya ketahuan. Itu pun pasti ada kerusakan atau masalah. Belum lagi kalau mertua ikut campur (yang lebih berani menegur dan memarahinya), saya selalu dijadikan tameng.
Saya tidak bernilai
Kebutuhan anak yang kian melonjak menjadikan tabungan sekaligus pengeluaran tidak seimbang. Kadang merasa bersalah juga, tak mampu memberikan konstribusi apa pun. Apa yang diusahakan tidak menghasilkan pundi-pundi rupiah. Walau berusaha hemat, kekurangan dalam belanja harian seringkali menimbulkan penyesalan tersendiri. Kok bisa ya!
Saya tidak kompeten
Urusan dapur menjadi ancaman bagi saya. Khususnya untuk masak 3x sehari. Suami tipe yang senang makan berbeda di setiap waktunya. Lebih baik fresh dan hangat. Padahal masakan yang saya bisa bukan menjadi favoritnya, semisal sayur bening, sop, botok, lalapan. Suami lebih suka yang kering, segala sesuatu harus digoreng. Sedangkan, makannya pun sedikit. Lebih banyak ngemil.
Penyesuaian ini menjadi salah satu alasan untuk menurunkan ego. Dari pada makanan mubazir, biarlah ia jajan di luar. Pun tetap harus dalam batasan.
Saya tidak aman
Berdua dengan bocil di rumah membuat saya harus ekstra dengan orang baru. Terkadang saya tidak nyaman jika ada tamu laki-laki yang langsung nyelonong masuk. Padahal sudah tahu kalau suami tidak di rumah. Jadilah rumah selalu ditutup. Biarlah dianggap sombong, yang penting kami nyaman di rumah sendiri.
Saya tidak diperhatikan
Berada di keluarga sendiri (apalagi saat kunjungan), saya selalu mendengar keluh kesah tentang adik-adik. Jarang ibu dan bapak perhatian akan apa yang saya alami. Menurut mereka, sebagai anak sulung kehidupan saya sudah enak dan terjamin (Alhamdulillah), dibandingkan adik-adik saya. Jadilah saya merasa harus kuat dalam segala kondisi, padahal di saat tertentu saya juga rapuh dan butuh perhatian.