Siapa pun ingin berkarya, termasuk saya. Namun, mau berkarya apa? Selama ini kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang istimewa. Ibaratnya, saya hanya mengikuti arus.

Bisakah saya menemukan karya di usia yang sudah terlalu matang ini? Entahlah, tidak ada salahnya mencoba.

Kuadran Aktivitas

Demi memudahkan diri untuk menyelami diri lebih dalam, menggunakan kuadran aktivitas adalah alternatif pilihan yang layak untuk dicoba.

Kuadran aktivitas adalah gambaran prioritas yang kadang kita lupakan. Dengan menuliskan satu persatu kegiatan, kita dapat lebih mudah memilih dan memilah yang sesuai dengan kondisi saat ini.

Suka dan Bisa

Dimulai dari aktivitas yang membuat kita dapat merasa tenang, damai dan nyaman ketika melakukannya dalam jangka panjang.

Passion adalah kunci yang dapat membantu kita untuk menemukan aktivitas ini.

  • Menulis blog

Saya suka menulis, sejak di bangku SMA kegiatan ini saya lakukan untuk mengisi waktu luang. Zaman itu, computer ataupun laptop masih menjadi barang mahal. Saya belum mampu membelinya. Memiliki buku spesial untuk menulis adalah hal yang sekiranya lebih mudah dan murah.

Dimulai dengan memilah buku yang masih kosong dengan yang sudah terisi. Jika dalam satu buku masih banyak yang kosong, itu bagian yang saya robek. Sedangkan, bagian lain dikumpulkan untuk dijual kepada toko bumbon (kelontong kalau zaman sekarang. Saat itu, pembungkus kertas masih banyak. Sebagai pelapis daun pisang atau jati, kertas bekas memiliki manfaat sebagai pelapis terluar.

Bila sedang ada uang, saya membeli kertas buram ukuran F4 lima ribu, memotongnya menjadi empat kemudian dijilid. Lima ribu sudah menjadi ratusan halaman dan sudah menjadi amunisi menulis selama beberapa bulan.

Kegiatan menulis berhenti selama saya kuliah. Selain karena kesibukan, juga tidak ada teman ataupun komunitas yang mendukung. Penyebab lainnya karena di masa itu, laporan harus ditulis tangan. Puluhan lembar Folio bergaris harus terisi setiap minggunya.

Kegiatan menulis kembali tumbuh selepas saya kuliah dan harus mengabdi di SGI! (Sekolah Guru Indonesia). Dari sanalah saya memula lagi untuk menulisan cerita. Terlebih keseharian anak-anak di sana, pun juga dengan kondisi pendidikannya. Tulisan menjadi media promosi, saya pun diharuskan kembali berlatih untuk mengasah kemapuan.

Pun selepas menikah, menulis menjadi pilihan tepat untuk dapat menekuninya. Dari cerita fiksi hingga non fiksi saya tempuh. Namun, belum ada kekuatan atau hati yang kuat di sana. Blog, menjadi pilihan akhir setelah tiga tahun menggeluti dunia literasi.

Dari blog saya mampu untuk lebih mengekspresikan diri. Pun dari blog saya merasa lebih bebas dalam menyampaikan isi hati. Ruang publikasinya lebih personal.

  • Menjadi sukarelawan pendidik seksualitas

Sejak SMP, saya menyukai cerita romance, terlebih dari luar negeri. Barbara Catland menjadi penulis yang pertama karyanya saya baca. Memang bisa dikatakan novel itu untuk dewasa, tetapi ada sesuatu yang unik di sana. Bahasa yang disampikan, penokohan hingga rayuannya itu lo. Dan bila disadari, apa yang ada dicerita juga ada di sekitar kita.

Di awal waktu ada perasaan malu, tetapi lambat laun semua itu nyatanya memang dilakukan oleh orang yang katanya dewasa. Sebagai seorang pemalu nan introvert, membaca novel seperti itu menjadi media untuk bias nyambung dengan mereka yang notabene sudah punya kekasih dan lainnya.

Dari sana pula, saya kadang menjadi media konseling informal. Karena katanya lebih terbuka dalam hal percintaan. Apalagi yang berbau sensual.

Keterbukaan saya bertahan hingga kuliah dan menikah. Bukan lagi novel picisan ataukah yang berbau 18+  yang menjadi santapan baca. Ada manhwa, manga dan manhua yang sekarang telah berkembang dengan berbagai genre.

Pun buku penunjang seksualitas semakin banyak dan berkembang, Ini memudahkan untuk bisa memahami seksualitas lebih jauh.

Sebagai ungkapan rasa penasaran, saya pernah masuk dalam situs dating gay, dunia fujoshi hingga grup-grup yang menyangkut ke dunia pelangi.

Faktanya, remaja menjadi bagian terbesar yang ada di sana. Inilah yang menjadi titik tolak saya untuk dapt menularkan pendidikan seksualitas ke lingkungan. 

  • Beberes

Sedari kecil saya lebih menyukai menyapu dan membereskan rumah daripada memasak. Beberes membuat saya lebih banyak bergerak, dan hasilnya dapat dinikmati dengan perasaan lebih rileks. Lingkungan nyaman membuat saya lebih mudah untuk berpikir.

Walau tidak selalu bersih, rumah jadi terlihat lebih manusiawi untuk ditinggali. Sebelumnya, saya sempat stres juga. Rumah berantakan dan tak mampu menangani karena merasa punya banyak kerjaan.

Nyatanya, semakin saya biarkan. Saya semakin terpuruk. Kaki sewaktu menapaki kotoran atau sesuatu yang ngeres (kotor) terasa gatal dan tak nyaman. Tangan pun rasanya gatal bila ada sesuatu yang tak pas pada tempatnya.

Perubahan pun saya lakukan. Rumah menjadi prioritas. Minimal harus disapu setiap hari.

Seiring berjalannya waktu, saya lebih toleran. Apalagi setelah menikah dan memiliki anak. Rumah setidaknya bersih walau masih berantakan. Pun rumah masih enak sebagai tempat istirahat walau dinding penuh coretan dan  tempat penyimpanan sudah tak beraturan.

Suka tapi Belum Bisa

Memiliki sesuatu yang disukai, mendorong kita untuk belajar memahami dan mendalaminya. Namun, bagaimana kalau kita sudah belajar, tetapi belum optimal hasilnya?

  • Mengajari anak di dalam indoor

Bocil termasuk anak aktif. Saya justru kewalahan kalau membawanya di dalam rumah. Ia ingin belajar melipat, saya lambat dan mudah lupa prosesnya. Apalagi kalau berhubungan dengan menggambar, membuat produk ataukah menyusun robot misalnya.

Meminta bantuan membuat saya tetap waras. Beruntung suami dan ipar pengertian.

Dalm kondisi tertentu, tanpa diminta suami turun tangan. Salah satunya membuat kreativitas atau produk tertentu, seperti layang-layang. Namun, memang tak selalu bisa. Kalau sudah seperti ini, bocil jadinya lebih suka gelesotan di depan laptop.

  • Menjahit

Saya termasuk pemilih dalam pakaian. Kalau memang suka ya ingin pakai itu saja. entah bentuknya bagaimana, saya suka ya dipakai. Hal ini seringkali jadi bahan komplain suami.

“Daster robek dan tembelan semua masih dipakai.”

Tambal sulam menjadi kegiatan harian yang tak bisa dihindari. Saya suka menjahit tetapi tidak bisa melakukannya dengan rapi. Pernah belajar menggunakan mesin jahit tetapi hasilnya tak optimal dan malah tak bisa dipakai. Pun saya juga pelupa. Jadi, trik dan tips seringkali hanya sebagai wacana belaka.

Jahitan saya juga tidak aestetik. Asalkan tidak terlihat bolong ya beres. Tidak indah dan sembrono. Kadang, saya malas mikir untuk menggunakan benang sesuai warna pakaian yang perlu dijahit. Bisa ketebakkan, hasilnya? Yups. Saling bertabrakan.

Setelah saya menikah dan setiap minggu seragam anak robek, entah di bagian selangkangan ataukah jahitan samping, saya mulai belajar lagi. Hasilnya seadanya, asalkan benang sudah senada.

Bisa tapi Tidak Suka

  • Memasak

Sejak kecil, saya jarang masak. Walau ditinggal ibu jadi TKI, saya jarang terjun di dapur. Saya lebih memilih membersihkan rumah atau mencuci daripada sibuk menyalakan kayu bakar atau kompor untuk menanak nasi.

Perubahan saya rasakan sewaktu kuliah. saya tinggal di asrama, ada piket harian untuk memasak.Jadilah, saya mulai belajar untuk membuat sayur lodeh, oseng, hingga botok. Yah, walau seringkali gagal tetapi saya sudah ada kemauan untuk mencoba.

Pun setelah saya menikah, kebiasaan ini masih bertahan hingga sekarang. Kalau hanya masak nasi, sudah exspert lah. Apalagi masak mi goreng atau rebus.

Kalau untuk masak yang lain, perlu contekan. Jadinya, rasa di setiap masakan bisa berbeda.

Sebenarnya, saya suka berbelanja dan bagian memotong. Namun, kalau sudah masak entahlah. Rasanya tidak tentu arah. Otak saya sudah kacau, belum punya takaran pas dalam memasukkan bumbu. 

Tidak Bisa dan Tidak Suka

  • Mendesain

Dalam membuat desain, saya menghabiskan banyak waktu. Jika rencana sejam selesai, ini bisa lebih. Otak kadang tak sinkron.  Ruwet. Belum pemilihan warna, bentuk, tulisannya dan tata letak.

Pernah pakai yang sistem otomatis, tapi hasilnya ya sudahlah. Saya kira tak layak untuk dipamerkan. Pun kalau ada di fb, ig dan blog, semua itu lebih banyak memakan waktu daripada menulis. Apa yang di sana juga bentuk dari keterpaksaan, daripada tidak membuat.

Saya juga tak melewatkan kelas desain bagi pemula. Sayangnya, belum ada perubahan yang signifikan. Selain karena keterbatasan latihan, saya juga perlu waktu lama untuk menghadapi kritik. 

  • Siaran langsung/ menjadi youtuber

Berbicara di depan kamera membuat kepercayaan diri saya menurun. Mungkin karena sekiranya bicara sendiri ya, tetapi tetap saja berbeda. Apalagi bila ada orang yang bercanda atau menyinggung menyangkut fisik. Saya belum kuat untuk menerimanya.

Saya tambun, ada rasa insecure. Memikirkan bagaimana perkataan dan pandangan mereka, membuat saya merasa konyol. Hal ini pulalah yang membuat saya lebih nyaman bila memberikan materi melalui wa atau media yang lebih tertutup.

  • Membuat video

Tak berbeda jauh dengan membuat konten dan mengisi youtube. Kegiatan mengedit video sulit dipahami. Baik melalui aplikasi ataukah tidak. Faktor lain yang mendasari saya menjauh dari edit video adalah kapasitas ponsel dan juga komputer. Jadul. RAM tida kuat.

Aktivitas yang membuatku bahagia, semangat dan berbinar mengerjakannya

Menulis dan memberikan edukasi berhubungan dengan seksualitas.

Kegiatan ini seakan berada di luar kepala. Walau kadang sarana dan prasarana tidak mendukung seperti sekarang, tidak menulis dalam sehari sekiranya ada yang kurang.

Seperti saat ini, saya jauh dari kota. Kesibukan di desa lebih banyak menguras tenaga fisik. Kelelahan sudah pasti, dari pagi hingga sore sibuk di sawah, di tegalan ataukah di dapur. Belum lagi kalau bocil mengajak keluar, jalan-jalan ataukah berenang. Sisa tenaga malam menipis. Kasur menjadi godaan besar di kala malam menjelang.

Padahal nih, saya termasuk orang yang cerewet dalam tidur. Kenapa? Kurang tidur membuat badan dan kepala saya sering pusing. Ini sudah terjadi sejak saya SMA. Jadi, kalau sakit kepala kambuh, saya tak bisa melakukan apa pun.

Daripada tak bisa beraktivitas, tidur menjadi prioritas yang tak bisa tergantikan. Kalau begitu, apakah menulis blog berhenti?

TIDAK.

Kegiatan menulis tetap saya lakukan walau tak dipublish. jumlah kata dan ragamnya memang menurun, tetapi insyaAllah tak mengurangi kualitas.

Pun untuk kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan seksualitas tetap berjalan, khususnya untuk kelas wa. Yang sekiranya lebih fleksibel daripada memaki Zoom atau Google Class Room.  

Rencana Karya Produktifku 

Sokoomah sudah ada sejak tahun 2019. Memang masih kecil, tetapi insyaAllah tetap berjalan dalam menebarkan pendidikan seksualitas sejak dini.

Ini memang cita-cita. Saya pernah salah karena membaca cerita yang seringkali berbau pornografi. Namun, nyatanya pengalaman tentang seksualitas ini dapat menjadi sarana untuk lebih berkembang dan membantu orang lain.

Kendala saya untuk bisa menjalankan Sokoomah adalah publikasi dan juga konsistensi. Untuk itulah blog saya bangun. Selain sebagai sarana untuk membangun branding juga penyalur passion diri.

Sokoomah seharusnya ada kegiatan mingguan dan bulanan. Salah satunya mengenai kulon (kuliah online). Gratis bagi komunitas.

Namun, karena ada berbagai kendala. Jadi, hanya komunitas tertentu yang masih menjalin komunikasi baik dengan Sokoomah. Salah satunya KANCAH.

Yah, sebagai upaya untuk upgrade diri, saya juga masih terus belajar untuk menguatkan Sokoomah dan blog ini. Termasuk salah satunya ikut Ibu Profesional.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *