Dalam pengasuhan yang kita lakukan, pengalaman kita di masa lalu (masa kecil) sangat mempengaruhi apa yang kita lakukan. Secara tidak langsung, segala sesuatu akan terekam dan kemungkinan bisa terulang. Kalau pengalaman baik sudah selayaknya diteruskan ke anak, tapi bagaimana kalau sebaliknya?
Di titik inilah saya perlu menggali kembali, apa sih yang terjadi sebelumnya?
Kebersamaan dengan Bapak
Di masa kecil, saya lebih dekat dengan sosok Bapak. Sedangkan ibu, hanya samar dan tidak lebih dari sekadar cerita dari Bapak dan orang sekitar. Seingat saya, ibu sudah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi sejak sebelum saya TK. Masa SD tanpa kehadirannya, SMP juga. Pernah pulang sebentar karena hamil adik, tapi itu tak berlangsung lama. Awal SMA kami baru bisa berhadapan dan mengawali obrolan dengan canggung.
Saat itu, kehidupan ekonomi keluarga sulit. Penghasilan Bapak sebagai buruh panggul jeruk tak mencukupi kebutuhan. Ibu, yang sebenarnya lulusan SPG tak kunjung mengalami pengangkatan. Jadilah, keluarga kami bisa dibilang selaras dengan garis kemiskinan. Kenekatan Ibu merantau di negeri orang berusaha dimaklumi keluarga, terutama Bapak. Jadilah segala pekerjaan rumah tangga termasuk memasak, bersih-bersih hingga mencuci baju saya pelajari dari Bapak.
Sosok Bapak memang menakutkan dan tegas. Keinginannya untuk memperbaiki kehidupan melalui pendidikan sangat kuat. Apa pun dilakukan demi anaknya ini agar bisa memperoleh nilai memuaskan di sekolah.
Segala macam les hingga puluhan buku rela dicarikan, bahkan tak jarang Bapak merelakan diri untuk melakukan semua pekerjaan agar saya bisa belajar lengkap dengan susu dan makanan pendamping. Padahal nih, susu di masa itu masih tergolong mahal, itu pun masih perahan asli dari sapi. Namun, ia rela membeli sore hari kemudian merebusnya agar kami (saya dan adik) mendapat asupan gizi.
“Bapak-Ibu kerjo gawe awakmu ben pinter, ndak bodo koyo Bapak. Ben penak lek kerjo.” (Bapak-Ibu kerja untukmu agar pintar, tidak bodoh seperti Bapak. Biar enak kalau cari kerja)
Sisi lain dari Bapak, ia tergolong galak dan emosian. Apalagi kalau persoalan ayam kesayangannya. Tak jarang, saya mendapat mandat untuk memberi makan ayam sekaligus minumnya. Namun, karena ingin main seringkali terlupa hingga ayam terlepas atau bertarung dengan ayam lain. Jadilah, saya kena omel.
Berbeda kalau saya memasak, apa pun hasilnya pasti dibilang enak dan dihabiskan. “Enak kok!” Hanya itu yang terucap, walau saya tahu kadang keasinan ataukah gosong. Pun kadang bentuknya berantakan, ia tak pernah komplain. Yang seharusnya nasi jadi bubur, yang seharusnya sayur kacang panjang dan tempe malah jadi sayur ulat. Saat itu, saya belum tahu kalau harus memilih dan memilah serta membuang bagian yang berlubang. Bapak bilang, “Lain kali hati-hati, vitamin yo bagus tapi sesekali jangan keterusan.”
Pernah pula, saya bandel karena memukul adik hingga kepala bocor dan menangis. Bapak belum pulang, tetapi karena terlalu takut saya bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Saat Bapak pulang, saya dengar adik mengadu. Ah, rasanya saya tidak ingin terlihat. Jadilah ketika dipanggil saya tak menyahut. Pun saat tetangga dan sanak keluarga datang saya masih bertahan di bawah tumpukan karung dan bantal. Hingga rasanya, saya terkantuk-kantuk dan ketiduran.
Saat itu saya tidak kepikiran, Bapak akan khawatir bahkan memanggil bala bantuan untuk mencari saya. Yang saya tahu, kemungkinan saya akan kena marah dan pukul. Malam hari, suasana rumah semakin ramai, seakan lupa atas apa yang terjadi saya keluar begitu saja dengan perut keroncongan. Bapak yang melihat, hanya memandang saya sekilas kemudian pergi ke luar rumah. Namun, yang jelas saya melihat air mata keluar dari kedua matanya.
Berbicara mengenai Bapak, tiada habisnya. Apalagi kalau berhubungan dengan kejujuran. Pernah sekali waktu saya menjatuhkan cucian dan juga handuk kesayangan Bapak ke sumur. Rumah saya masih sempit, baju kotor dalam bak biasanya ditaruh di atas sumur yang telah ditutupi papan. Namun, entah sial atau bagaimana papan itu ternyata keropos dan patah.
Seharian saya menunggu Bapak pulang kerja, bingung mau bilang apa. Mau makan tak enak, apalagi istirahat. Yang lebih menyesakkan, adik justru mengolok-olok keteledoran saya. Rasanya sudah mau nangis. Belum genap Bapak menjejakkan kaki di teras, saya bilang apa yang terjadi dengan mata tertunduk dan tangan gemetaran. Ternyata, Bapak justru mengusap kepala dan bilang senang kalau saya jujur. “Besok lebih hati-hati,” ujarnya.
Dalam menjalin hubungan dengan Ibu, Bapak selalu mengingatkan untuk belajar nulis surat. Saat itu belum ada ponsel, kalaupun ada masih sangat jarang. Sekali sms pun mahal banget, apalagi telepon. Pun dengan keluarga dari Ibu, Bapak tak pernah membedakan. Ia selalu mengajarkan untuk selalu menghormati bagaimanapun keadaannya.
Bapak juga orang pertama yang nangis kalau saya sakit. Seringkali ia lemas duluan, tanpa bisa melakukan apa pun ketika tahu saya kecelakaan. Setelahnya, pasti nangis. Menurut Bapak yang kurang mendapat kasih sayang orang tua, memberikan yang terbaik ke anak adalah suatu kebanggaan. Ia tidak menginginkan anaknya, bernasib seperti dirinya.
Sosok Ibu di Mataku
Saya tidak terlalu dekat dengannya, tetapi ada kesamaan kalau kami ini tidak mau mengalah. Pun dengan pasangan. Ibu lebih toleran dalam hal apa pun. Bila Bapak lebih kaku, ibu sebaliknya. Ia jarang sekali marah, tetapi kalau saya sudah keterlaluan, saya bisa didiamkan selama berhari-hari.
“Kamu itu sudah jadi Mbak, lebih pengertian dan bantu adikmu.”
Ibu selalu menganggap saya lebih dewasa, atau bisa dikatakan “sudah seharusnya” lebih dewasa dalam menyikapi semuanya. Kalau soal adik, ibu lebih sensitif, karena adik lebih lemah fisik dan juga pengetahuan akademiknya masih kurang.
Bukannya sombong, kalau soal akademik saya memang bisa dikatakan lebih jago. Selain mendapat beasiswa saya juga bisa mendapat fasilitas dan akses dengan biaya minimal. Beruntungnya, ibu tidak pernah menargetkan kami dengan pencapaian yang sama. Ia lebih sering menuruti keinginan anak walau kadang harus berdebat dengan Bapak.
Inilah yang disayangkan. Perbedaan prinsip Bapak dan ibu mengenai akademik menjadi pemicu adanya percikan emosi di antara mereka. Sulit untuk menemukan titik temu. Adik pun juga akhirnya menjadi semakin sensitif dan hubungan kami terasa semakin jauh.
Istilah kasarnya, Bapak berada di pihak saya sedangkan Ibu di pihak adik (walau tak selalu benar).
Kehidupan kampus dan pengalaman kerja lebih banyak saya habiskan di luar, jadinya jarang pulang ke rumah. Komunikasi kami pun, lebih banyak melalui ponsel. Di saat seperti itu, ibu selalu mendukung apa yang saya lakukan. Semakin banyak saya berhubungan dengan orang, saya akan menjadi lebih kuat dan dewasa dalam bersikap.
Proses taaruf dan pernikahan menjadi titik tolak perbaikan dalam hubungan saya dengan Ibu. Darinya saya menerima banyak wejangan dan juga curahan kasih sayang. Segala sesuatu diurus sendiri. Dari proses seserahan, dekor, MUA dan lainnya dilakukannya tanpa kata lelah. Hasilnya, dari semua foto pernikahan yang melibatkan Ibu, sebagian besar menangkap wajah lelahnya yang terlelap. (Ada rasa kasihan sekaligus lucu kalau diingat.)
“Kamu itu sudah dewasa, harus bisa menyelesaikan sendiri permasalahanmu. Belajar berumah tangga mandiri, segala sesuatu jangan dibalikkan ke orang tua.”
Ketika memulai berumah tangga, perkataan Ibu selalu saya ingat. Pun prinsip ini saya pegang, bila ada masalah keluarga kalau bisa hanya berkutat di rumah, tak harus sampai menjalar ke orang tua. Pamali. Menikah itu untuk sekali seumur hidup, segala risiko adalah tanggungjawab kita.
Part 2 Bunda Sayang 8
#tantanganzona1
#bundasayang8
#institutibuprofesional
#ibuprofesionaluntukindonesia
#bersinergijadiinspirasi
#ip4id2023