Menyelesaikan Konflik Anak (Maksudnya anak disini lebih kepada anak usia 2-5 tahun)

Menyelesaikan Konflik Anak(Maksudnya anak disini lebih kepada anak usia 2-5 tahun)

Kejadian 1

Hari ini ada kejadian menarik di sekolah. Kelas dipenuhi anak usia 2-4 tahun yang bermain selepas lelah belajar 15 menit. Berbagai macam mainan tersebar ke seluruh penjuru kelas. Kami berempat sebagai orang dewasa juga berada di sana untuk mengawasi. Saat perhatian kami fokus pada salah seorang anak yang kebingungan mencari tas. Ada salah seorang anak (T) yang jatuh ke belakang dengan kepala terbentur cukup keras. Tangisnya merubah suasana yang semulai damai menjadi cukup menengangkan. Kami berempat saling berpandangan, selepas mendudukkan dan memeriksa kepalanya.  Alhamdulillah tidak ada luka.

Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Berbagai spekulasi muncul dalam benak, yang kebetulan sebelumnya ia bermain dengan seorang temannya (J) di balik pintu. Saat itulah keluar sebuah suara yang kami berusaha untuk membenarkannya, “Bagaimana bisa jatuh? Apakah di dorong oleh J?”. disaat tidak ada jawaban suara lain menimpali, “Mengapa J mendorong T, itukan tidak boleh. Kita harus sayang teman.”

Tidak ada yang berubah selain suara tangis. Selama beberapa waktu J hanya terdiam di dekat tembok, ia hanya bisa menunduk. kami memintanya untuk meminta maaf. T berhenti menangis dan J semakin tertunduk ke luar kelas.

Kejadian 2

Di minggu sore yang cerah, enam anak bermain tembak-tembakan termasuk anakku. Mereka bercanda ria merancang jenis senjata yang cocok untuk mereka gunakan. Anakku merupakan yang terkecil diantara mereka. ia memang sangat jahil dan suka menggoda anak yang lain. Saat salah seorang anak meminta bantuan, perhatianku teralihkan.
Tak berselang lama terdengar suara bug-bug yang keras diikuti suara tangis. Kulihat seorang anak (H) memukul punggung anakku tiga kali. Aku sempat syok karena ini pertama kalinya ia menerima pukulan seperti itu. H masih terlihat marah, aku berusaha menenangkan diri dan memandangnya tajam. “Kenapa adek dipukul?” pertanyaanku hanya dijawab dengan tundukan kepala. Anak yang lain ada yang menyahut, kalau anakku ternyata memukul H dengan kayu berpaku. Terlihat ada bekas goresan di lengan kirinya. Tak ada kata yang keluar, aku hanya memeluk anakku. Benar anakku salah, tapi responnya itu sangat menakutkan.

Kejadian 3

(M) datang ke rumah dengan raut muka masam, sumpah serapah keluar dari mulutnya. “(A) jahat, aku tidak mau bermain dengannya.” gerutunya. selidik punya selidik semua ini bermula dari kejadian sebelumnya. M dan A bermain bersama di depan rumah A. Mereka berebut mainan, tiba-tiba A memukul M di kepala. M membalas, tapi malang saat itulah ibu A keluar rumah dan melihat semuanya (saat M memukul A). Tanpa bertanya apa yang terjadi M dimarahi, label anak nakal keluar dan bla bla bla.  M merasa ketidakadilan terjadi tapi tidak ada yang berpihak padanya.
Apa hikmah yang bisa diambil dari kejadian di atas?

Sebagai orang dewasa kita seringkali lebih banyak menggunakan mata daripada telinga. Percaya pada apa yang kita lihat terkadang lupa untuk mengkonfirmasi informasi lainnya. Emosi seringkali menyertai setiap keputusan kita tanpa memedulikan perasaan mereka. Yang lebih parah kita merasa kalau kitalah yang benar. Jadi saat diminta untuk memutuskan siapa yang bersalah, ada kekeliruan yang kita perbuat. Untuk itu perlu langkah bijak dalam menyelesaikan konflik.
Jadi apa yang seharusnya kita lakukan?
  1. Mengatur emosi

Sebagai orang dewasa kita harus bisa memberikan contoh kepada anak untuk menyelesaikan konflik secara positif (kejadian 2). Konflik merupakan proses untuk lebih mengembangkan emosi, pemikiran dan perilaku mereka. Jangan sampai hal sebaliknya yang terjadi. Untuk itulah keadilan perlu diterapkan.
Saat emosi terjaga, pikiran juga lebih jernih. Saat inilah kesempatan kita untuk menentukan apakah sekiranya perlu menyelesakan konflk dantara mereka ataukah menyerahkan semuanya pada mereka untuk menyelesakan sendiri. Sehingga dalam membantu menyelesakan masalah akan mencapai kepuasan di semua pihak. Kalau kita salah dalam memberikan contoh, emosi yang tumbuh dalam diri anak juga akan berbeda.  Seperti kejadian 2, bukankah reflek yang diperlihatkan anak merupakan salah satu efek dari pengalaman menyelesaikan konflik sebelumnya.
2.       Tidak memihak

Merelai dan mencari momen yang tepat untuk menjadi penengah sangat penting. Keberpihakan dapat diminimalisir. Ketika hal ini terjadi kita akan lebih adil. Kalau konflik yang terjadi melibatkan keluarga kita hal ini memang lebih sulit (kejadian 3). Tapi kita harus berupaya berempati, bagaimana seandainya keluarga kita juga diperlakukan demikian?
  1. Lebih banyak mendengarkan

Konflik bisa terjadi antara dua orang atau lebih untuk itulah mendengarkan pendapat dari semuanya merupakan suatu keharusan. Dengan data yang terkumpul kita dapat mengcross checkkejadian yang sebenarnya. Seperti kejadian 1 dimana kita tidak ada saksi. Padahal belum tentu ada kejadian dorong mendorong. Siapa tahu ia jatuh sendiri.
  1. Memberikan rasa aman dan nyaman dengan sentuhan

Saat masalah terjadi anak-anak lebih banyak diam. Dari tiga kejadian mereka hampir menunjukkan respon yang sama di hadapan orang dewasa. Bukan berarti mereka sepenuhnya tahu apa yang mereka lakukan. Mereka hanya tidak tahu cara untuk mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Atau mereka sebenarnya tahu tapi tidak ada daya untuk mengungkapkannya. Diam adalah cara aman untuk keluar dari masalah. Karena itulah sentuhan perlu diberikan, antara lain:
          Sebagai ungkapan sayang.
          Kalian berharga karena itu harus saling menyayangi diantara teman.
          Bagi yang berbuat salah selain ia tahu kesalahannya, ia dapat belajar cara terbaik menyelesaikan konflik dengan perdamaian.
          Menenangkan akan rasa terkejut/ syok yang dialami.
          Apabila ada yang terluka maka ia akan mendapat rasa nyaman kembali.
          Untuk lebih mudah mengungkapkan emosi sehingga kejujuran terjadi.
5.       Mengenalkan istilah saling memaafkan

Mengapa ku ambil istilah saling memaafkan? Selama ini bagaikan sebuah tradisi yang meminta maaf adalah yang salah. Padahal tidak semuanya bentuk permintaan maaf itu sebagai ungkapan rasa bersalah. Adakalanya walau seorang anak benar ia diminta untuk meminta maaf. Sehingga hal ini berdampak pada emosinya. Dimana sang anak akan merasa jengah, jengkel dan menganggap bahwa permintaan maaf adalah mantra suci untuk dapat menyelesaikan masalah. Agar semua ini dapat diminimalisir kita perlu menenalkan adanya hokum ‘sebab akibat’.
Apa itu hukum sebab akibat?
Missal: A memukul B hingga menangis. Upaya kita untuk mendamaikan berjalan, permintaan maaf keluar tapi peristiwa pemukulan itu terus berulang. Kita sudah menjelaskan panjang lebar mengenai saying teman dan bla bla bla. Tapi tidak ada perubahan. Sesekali selain memberitahu, mencontohkan dengan memukul A dibagian yang sering di pukul A (kalau biasanya aku mengukur rasa sakit yang dapat diterima anak).  Saat ia merasa kesakitan, peluk. Jelaskan kita saying padanya, bukakah dipukul itu sakit? Jadi kenapa kita perlu memukul orang lain.
6.       Konsistensi
Dalam hal ini tidak perlu dipertanyakan. Memang terkadang sulit dilakukan terutama kalau kita sedang dalam kondisi yang tidak fit. Tapi tetap harus dicoba dan dilakukan terus menerus. Rasa lelah,amarah, kecewa perlu kita jadikan bekal untuk bisa membuat senyum anak yang mengalami konflik kembali merekah.
Banyak hal yang perlu kita pelajari dalam hidup ini termasuk cara berinteraksi dengan anak. Semakin lama anak akan menemukan konflik yang beragam. Dari situlah pengalamannya terbentuk. Untuk itu, kita juga perlu lebih banyak belajar agar selalu terupgrade ilmu dan tingkah laku kita. Umur boleh semakin tahu tapi pemikiran harus bisa mengimbangi yang muda.
Demikian semuanya, silakan di share pengalamannya ya? Ditunggu! Siapa tahu bisa kita jadikan referensi dan pengalaman.
Salam saying dari keluarga D.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *