Perjalanan Puasa Minggu Kedua
Remidi! jika sebelumnya hasil yang diharapkan tidak sesuai, kali ini beberapa perubahan dilakukan. Proses puasa 1
Minggu kedua melakukan puasa ponsel terasa lebih mudah. Bukan berarti bisa lancar. Puasa dilakukan dari 23-29 September. Sejak awal puasa, saya mengkomunikasikan lagi perihal penggunaan ponsel ini ke anak. Pun jam yang bisa ia gunakan untuk meminjamnya. Hal serupa dilakukan di grup wa yang biasanya saya aktif di dalamnya.
Waktu puasa:
Pagi 05.00-11.00
Siang: 13.00-17.00
Malam: 18.00-21.00
Saya pikir, saat berpamitan, mereka akan mengejek ataukah menyepelekan. Nyatanya, mereka justru mendukung dan penasaran tentang apa yang saya lakukan. Terlebih dengan pencapaian yang saya dapat. Bisa tidak ya, saya lulus?
Hari pertama, setidaknya bisa bebas ponsel sampai siang hari. Saat bayi tidur dan saatnya makan siang, kadang mengintiplah isi wa, tapi melenceng sampai lihat youtube. Hari kedua, tidak berbeda jauh, walau waktunya lebih lama lepas dari ponsel. Godaan untuk mengintip media sosial sering muncul. Buka lima menit, ingat tujuan awal ditutup lagi. Kelepasan lagi, lihat media sosial di malam hari.
Hari ketiga dan seterusnya lebih sulit menolak godaan membuka ponsel selepas maghrib. Beruntung ada suami di weekend yang bisa diajak kerjasama. Kegiatan keluarga di rumah jadi bervariasi. Hakim lebih banyak diajak suami, ikut solawatan, salat di masjid, jalan-jalan ataukah sekadar ngedate di olive. Sedangkan saya, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Bermain bersama bayi tepatnya. Ponsel lebih banyak tergeletak begitu saja di meja.
Dari apa yang saya alami, hal utama yang terasa tentu saja pekerjaan menjadi lebih cepat selesai. Waktu istirahat semakin banyak dan menenangkan. Interaksi dengan bayi semakin intens. Sebagai side effect yang terasa, saya lebih banyak nyemil bersama bayi (Hanna usia 2 tahun). Hanna sudah belajar mengenal makanan, ia penasaran akan apa yang saya makan. Pun yang orang lain lakukan. Selama masih dalam jangkauan pandangannya, ia akan tertarik. Jadilah, kami mencoba berbagai makanan. Sekaligus menguji dan melakukan tes mana makanan yang ia mau dan tidak.
Hal yang Berhasil Dilakukan
Tidak membawa ponsel dalam kamar mandi menjadi sesuatu banget. Setelah punya bayi, berada di kamar mandi menjadi kegiatan eksklusif yang jarang dinikmati. Biasanya, semua dilakukan serba cepat. Terlambat sedetik saja bayi sudah berada di depan pintu sembari menangis.
Kondisi di rumah hanya ada saya, adik saya, si Hakim (sulung) dan Hanna (bayi). Suami pulang seminggu sekali. Jadi, kalau Hanna ada yang membantu menjaga, ini sebagai kesempatan untuk sekadar melihat hiburan, entah scrol instagram ataukah membuka shopee. Dalam minggu kemarin, kegiatan ini tidak dilakukan.
Manfaat lain yang terasa, screen time berkurang. Waktu tidur menjadi lebih cepat dan panjang. Biasanya keinginan melihat ponsel menggebu saat malam. Di mana Hanna mulai/ akan tidur (sekitar jam 21.00 ke atas), itu pun seringkali tidak hanya sebentar. Kalau kecolongan bisa sampai tengah malam.
Dalam minggu kemarin, saya seringkali tidur di awal waktu. Setelah Hanna tidur, saya ikut terlelap di sampingnya. Faktor lain yang tidak dapat diabaikan tentu saja karena obat, seminggu ini lutut saya terasa nyeri dan tidak nyaman. Entah karena apa, apakah karena angkat beban berlebih atau karena saya semangat berlari dan lompat di minggu sebelumnya. Akhirnya, mau tidak mau kegiatan olahraga teralihkan ke istirahat.
Jika dilihat dari perubahan emosi yang ada, di bawah ini dapat menggambarkan semuanya:
Kunci Keberhasilan
Dalam diri selalu berusaha ,emjaga komitmen dengan target yang ingin dicapai. Pun selalu mengingatkan diri kalau ini sebenarnya demi saya dan anak-anak. Apalagi Hanna sudah mulai kenal dan tertarik pada ponsel. Apa yang saya lakukan menjadi hal yang menarik untuk ditiru. Yah, walau me time jadi terasa berkurang, saya berusaha legowo menyadari kalau apa yang saya lakukan sebenarnya memang bukan hal yang baik.
Dari segi eksternal, semua ini berjalan lebih mudah karena dukungan anak, suami dan adik. Orang di lingkungan rumah sangat berpengaruh pada apa yang saya lakukan setiap hari. Keberadaan mereka tentu menjadi pemantik untuk selalu bersikap baik.
Suami sebagai rajanya pembawa ponsel di mana pun, perlu diingatkan setiap waktu. Namun, selama ini usaha yang saya lakukan masih nihil. Saya yang justru tertular habbitnya yang tak layak untuk ditiru. Jadilah saya ingin tobat sekaligus agar bisa menjadi alarmnya tatkala diperlukan.
Untuk Hakim, ponsel menjadi kebutuhan. Kadang kami beradu argumen perihal ponsel ini. Saya butuh untuk bekerja, sedangkan ia butuh untuk mencari hiburan. Saya merasa kesulitan berhadapan dengan anak zaman sekarang, segala sesuatu dianggap sebagai lelucon. Ah, orang tua kolot dan kuno. Saya hanya dianggap sebagai omdong (omong doang). Banyak cuap tanpa aksi. La saya juga tak bisa lepas dari ponsel, malah menasehati orang lain. Setidaknya, dengan saya mencoba puasa ada perubahan positif yang bisa dia lihat dan serap untuk dilakukan.
Puasa Selanjutnya
Selama beberapa waktu, saya merasa emosi bagaikan roller coaster. Terlebih saat menghadapi si sulung, Hakim. Segala tingkahnya memang saat ini bisa dikatakan lebih bebas dan kespresif. Jadinya untuk seminggu ke depan saya ingin lebih fokus kepada emosi “marah”.
Hakim sudah memasuki SD. Kegiatan dan perilakunya dipengaruhi oleh teman-temannya. Ada yang baik, tapi ada juga yang positif. Kalau positif tentu saja semakin didukung. Kalau negatif? Akan membuat ibunya banyak istigffar dan mengeluarkan 20.000 kata dalam sekejap. Ya kalau hanya perkataan, kalau ternyata saya menyakitinya secara fisik? Ya Allah penyesalan itu kian menumpuk.
Beberapa hal yang membuat saya mudah tersulut akan perilaku Hakim. Kebiasaan mendengarkan sesuatu dengan suara keras (di mana batas ambang kerasnya beda dengan saya). Salah satunya saat ia melihat youtube. Di lain waktu berhubungan dengan uang. Hakim pelupa. Uang saku seringkali hilang/ terjatuh begitu saja.
Bila berhubungan dengan teman, Hakim sangat loyal. Teman meminta, jawaban selalu yes. Apa pun seakan diberikan. Termasuk makanan/ jajan ataukah barang. Yang membuat saya tertohok itu ketika ia memberikan apa yang dimiliki tanpa menyisakan untuk dirinya sendiri.
Kebiasaannya dalam meletakkan barang sembarangan hingga menyimpan sampah juga menjadi pemantik setiap hari untuk selalu meninggikan ucapan.
Bagaimana perasaan Hakim dan kondisnya? Ia akan selalu bilang kalau ibu ini pemarah. Apa yang dilakukannya selalu salah. Saran dan semua yang saya katakan seakan menjadi gangguan untuknya.
“Kan saya berbagi dengan teman, Buk. Kenapa ibu marah?”
“Saya lupa meletakkan uangnya, kan bisa minta lagi ke ibu atau bapak lagi.”
“Tempat sampahnya jauh.” (Padahal hanya tinggal berdiri dari tempat duduk dan melangkah 3 jangkah. Pun sama untuk piring/ gelas kotor.)
“Ini itu tidak keras, aku sudah mengecilkan suaranya.” (Padahal kalau dari luar/ rumah tetangga suara itu terdengar jelas.)
“Hakim mau makan mie setiap hari.” Ia menjadi pemuja indomie, keinginannya makan indomie setiap hari, tanpa jeda.
Bila diingatkan/ dimintai tolong, respons Hakim “Kenapa Hakim selalu disuruh?”
“Adek terus yang disayang, hakim selalu dimarahi.”
Dan masih banyak lagi interaksi kami yang membuat amarah tersulut. Semoga minggu depan menjadi lebih baik.