Misi Terakhir Matrikulasi, Awal Perjalanan untuk Lebih Menghargai Suami

Mengasah Empati

Hati manusia itu mudah berubah. Bisa keras seperti batu, pun dapat lebih lembut dari pada sutra. Semua bergantung pada pemiliknya. Empati menjadi jalan penghubung dengan hati orang lain.

Apakah simpati dan empati sama?

Mata dan telinga dapat menangkap sinyal atau apa yang dilakukan orang lain. Simpati menjadi titik tolak untuk lebih tertarik pada orang lain yang kemudian diwujudkan dengan perbuatan, pemikiran dan juga ucapan mulia. Simpati yang terasah mampu menjadi empati. 

Empati terbentuk dari proses melatih rasa simpati dalam jangka panjang. Tidak semua orang mampu berempati pada orang lain. Kadang kita bisa bersimpati, tetapi tak mampu menempatkan dirinya seperti orang lain. Bila demikian, kita belum sepenuhnya berempati pada orang lain.

Salah satu wujud empati yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain adalah dengan peka terhadap permasalahan yang ada di sekitar. Tidak hanya sekadar tahu, tetapi berupaya untuk membangun sebuah solusi.

Pengalaman Mengajarkan Segalanya

Sebelumnya, saya sebagai pendidik di sekolah dasar di daerah Sulawesi Barat. Bersama dengan anak-aak di sana memberi gambaran mengenai perilaku serta keseharian yang kadang luput dari orang tua. Salah satunya mengenai pergaulan.

Dari 60 orang tua siswa, sebagian besar dari mereka menganggap anak sebagai sosok baik. Kalaupun nakal, masih dalam koridor kewajaran.

Anak perempuan main, kadang keluar bersama teman-temannya ataukah nongkrong. Pun yang laki-laki juga demikian, tanpa melupakan tanggungjawab bekerja di kebun dan membantu orang tua, mereka dibebaskan untuk menjaln hubungan dengan siapa pun.

Bahkan, sebagian dari orang tua mereka tak tahu siapa teman dan bagaimana anak menggunakan ponselnya. Mirisnya, ada yang menganggap kalau anak laku di mata lawan jenis itu sebagai kebanggaan. Jadi, jangan heran kalau anak tamat SD sudah ada yang nikah.

Dari mereka pula saya belajar banyak tentang seksualitas. Ibaratnya dari 60 siswa, ada yang sudah pernah melihat film porno, kissing, petting ataupun berhubungan badan. Tidakhanya anak SMK, yang SMPbahkan SD pun pernah. Anak SD? Ya, mereka kadang melakukannya di hutan, kebun bahkan rumah.

Dari cerita satu anak hingga cerita lainnya, mereka belajar seks dalam kacamata sempit dari melihat hp, melihat orang tuanya secara tak sengaja ataukah karena terbiasa melihat lawan jenis ketika mandi. Rangsangan yang tak terduga ini, nyatanya memberi peluang besar dalam pemakluman sifat yang menjerumuskan anak-anak ke pergaulan “adegan dewasa”.

Salah satu masalah di sana memang kurangnya kamar mandi pribadi. Dalam satu dusun, ada satu tempat mandi umum selain sungai. Itu pun selalu ramai dengan orang yang bebas dan berpakaian minim. Tak jarang hanya dengan belitan sarung.

Orang tua ataupun guru seringkali denial terhadap pristwa seperti ini.

Mau marah dan protes tak bisa, yang ada sayahaya sebagai pendengar keluh kesah dan cerita mereka.

Sayangnya, ini juga terjadi di sekitar daerah saya, khususnya di mana saya lahir—Blitar. Saya sendiri mengenal istilah seks sejak SD, itu pun bukan dari orang tua langsung. Lebih tepatnya, saya mendapatkan info itu dari teman pergaulan.

Di lingkungan saya sekarang pun, tepatnya di daerah Pleret, Bantul, anak di bawah umur sudah ada yang berpacaran. Pun ada yang secara sembarangan dan bebas menggunakan istilah kasar dan jorok dalam kesehariannya.

Di kalangan remaja, bercanda tentang seks atau sesuatu yang tabu tanpa rasa malu bukanlah hal baru. Tak jarang pula,rupian ibu-ibu juga membahas mengenai hal ini. Dengan nada bercanda tentunya.

Pandangan Tentang Seksualitas

Seiring berjalannya waktu, cerita mengenai seksualitas dalam konotasi negatif ini terus berlanjut. Satu hal yang bisa ditarik benangnya adalah mengenai kurangnya kesiapan, baik orang tua dan anak dalam menangani perihal seksualitas ini.

Yah, berbicara mengenai seksualitas tak akan pernah berhenti. Seksualitas itu menarik karena selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri.  Sayangnya, masih ada sebagian orang yang mengerucutkan seksualitas hanya sebatas berhubungan seks.

Mengajak seseorang sadar seksualitas itu berat, di satu sisi ketidakpahaman membuat mereka malas untuk belajar apalagi praktik. Di sisi lain, bagi yang sudah tahu, malu untuk mengakui kekurangan apalagi memberikan pengetahuan mengenai seksualitas ke orang lain.

Pun untuk remaja yang menjalani persoalan seksualitas sulit untuk menemukan solusi tepat yang sesuai dengan kondsinya. Apalagi perihal pergaulan.

Saatnya Bergerak!

Sebelumnya saya tidak tahu kalau sikap nyaman saya pada seksualitas ini menjadi sumber kepercayaan diri untuk berkecimbung di dunia pendidikan sesksualitas.

Saat ini, saya di posisi sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Gerak serba terbatas. Demi menyiasati pergerakan ini, saya memfokuskan diri untuk membuat kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Inilah yang menjadi cikal bakal Sokoomah.

Dari Sokoomah, saya mulai menebarkan pengetahuan mengenai seksualitas. Namun, seiring berjalannya waktu tantangan untuk terus melangkah semakin berat, entah karena kesibukan, kurangnya support system baik dalam materi ataupun tenaga, jalan Sokoomah menjadi terseok-seok.

Tak bisa dipungkiri, menjalankan hal yang bersifat sosial itu memang berat. Diperlukan pengorbanan yang besar tanpa ”hasil”. Hasil di sini lebih kepada uang.

Ini pula yang menjadi godaan untuk banting setir. Beruntung cinta dan kenyamanan membuat saya bertahan. Karena inilah yang saya bisa dan kuasai.

Surat Cinta untuk Misua

Sepasang istri dan suami harus berjalan beriringan. Ketika saya memutuskan untuk berkiprah di luar rumah, suami memiliki peran penting sebagai pelindung sekaligus teman diskusi. Berperan tanpa dukungan suami rasanya sangat berat. So, sebagai salah satu support suami ada yang perlu saya utarakan.

Malam Pak, apakah masih lembur? Atau sudah menderum seperti mesin disel? Alias ngorok.

Entah apa jadinya dua bulan ini tanpa dukunganmu. Kita terpisah jarak semakin jauh. AKu bersama Hakim di Magetan, sedangkan kau masih sibuk di Kendal. Perjalanan pun semakin panjang. Kali pertama kita berpisah kau berupaya menyetir sendiri, nyatanya malah tambah capek. Badan sakit semua dan mudah masuk angin.

Saat, anak kita rindu tak ada kata lagi selain maaf. Rencana Kepulangan etiap akhir pekan, berubah menjadi satu bulan sekali. Itu pun akan lebih lama karena bertepatan dengan praktik kerja di perusahaan milik orang Jepang yang terkenal ketat dengan aturannya. 

Aku berusaha memaklumi dan bertahan di tanah kelahiranmu, bersama eyang dan Hakim (5 tahun). Semuanya mulus seminggu di awal. Pengalaman sewaktu Hakim masih bayi (7 bulan di sana) memberi harapan untuk melancarkan adaptasi.

Segala kegiatan baru kucobadan jalani. Menyapu pekarangan dan rumah, membersihkan tegalan, memanen singkong dan buah (nangka, pisang, jeruk nipis, sirkaya, dan jeruk bali), menyiapkan makanan selama masa panen dan juga belanja pagi dengan jalan kaki (3 km) setiap pagi. Semua kulakukan dengan antusias dan perasaan gembira.

Sayangnya, Allah berkehendak lain. Di tengah kebahagiaan menanti anak kedua, aku harus mengalami miskram. Belum lagi perilaku eyang yang membandingkanku dengan ibu dalam merawatnya. Semua serba salah. Pikiranku pun kacau. 

Aku berusaha bersikap baik-baik saja dan masa bodoh. Namun,semuanya masih terasa sulit dan justru semakin menghunjam di hati. Sakit, apalagi ketika aa yang kita lakukan selalu dikritik. Kejadian inilah yang akhirnya membuatku down.

Sebelumnya, aku masih optimis mampu melakukan semuanya di tengah keterbatasan jarak dan komunikasi denganmu,Pak. Bisa aktif di komunitas, menulis dan juga menjalankan Sokoomah yang berkecimbung di dunia pendidikan seksualitas.

Namun, berita duka itu ternyata meninggalkan luka. Aku yang biasanya optimis menjalankan misi dari Matrikulasi Ibu Profesional, malah terpuruk. Apalagi setelah mendengar omongan sekitar yang justru menyepelekan apa yang baru saja kualami.

Menurut mereka,yang memiliki banyak anak, miskram adalah hal biasa. Namun, bagiku yang merasa kuat dan serba bisa malah menjadi tekanan. Sikap sembrono dan ketidakhati-hatian menggiringku ke jurang rasa bersalah yang tak berkesudahan.

Aku bukan orang yang biasa bercerita apalagi menebar berita hanya untuk sekadar menarik simpati. Mau minta tolong periksa bingung. Jauh pula. Belum lagi kalau bocil tak mau pisah dan menempel terus. 

Aku berusaha bertahan dan periksa sendiri. Namun, apa yang kulakukan justru dianggap sepele. Di satu sisi mereka ingin aku menjaga kesehatan, di sisi lain tumbuh gerutuan karena pekerjaan tak ada yang beres. Bahkan, orang yang sekiranya kubantu hingga kelelahan tak merasa bersalah dan menganggap apa yang kualami sebagai hal yang lumrah.

Yah, aku sejatinya tak meminta banyak waktu. Rasanya hanya ingin tidur dan melepas lelah dalam beberapa hari. Pun aku ingin menangis dan pulang ke rumah orang tua. Namun, tak bisa. Saat itu bertepatan dengan musim panen dan juga pengajian setiap Jumat di rumah. Tidak ada yang mau tidur dan menemani Eyang di rumah. 

Rumah limasan besar itu terasa lengang. Bapak dan ibu (mertua) yang biasanya merawat Eyang masih berhaji, sedangkan saudara yang lain sudah memiliki istana sendiri. Walau berdekatan, bahkan pagar saling menempel, tetapi tetap berbeda. Eyang tak mau tidur selain di kasurnya. 

Segala perasaan menumpuk hingga menekan dada hingga sesak. Sebagai seorang introvert, aku tak suka bercuap-cuap apalagi bercerita ke orang lain. Selama ini ibulah yang menjadi pendengar setia. 

Aku bersyukur kau nekad pulang. Jadilah kedatanganmu setiap akhir pecan lebih terasa anugerah daripada biasanya.

“Maafkan aku, Buk. Kalau mau menyalahkanku terserah. Sing penting awakmu lan Hakim sehat.”

Setiap pulang hanya itu yang kau ucapkan dan itu cukup ampuh untuk membuatku kuat. Walau di tengah tangis yang kadang muncul begitu saja, aku masih menjaga kewarasan. Khususnya mulai misi ke delapan.

Satu per satu kulakukan, menarik diri dari komunitas untuk mencari ketenangan. Membaca komik seperti yang biaa kulakukan di kala galau dan gundah gulana. Serta, lebih banyak waktu bersama Hakim.

Sayangnya, belum genap proes penyembuhan diri, bocil malah sakit. Perasaan bersalah dan takut kehilangan kembali menghantui. Malah semakin membuncah. Aku bisa menangis tiba-tiba, malas melakukan sesuatu dan seringkali tak mau bicara dengan orang lain. Emosi pun labil dan sensitif.

Aku down lagi.

Tahukah kau, Pak. Kenekatanmu untuk tetap pulang memberi suntikan semangat energi. Perjuanganmu naik bus lebih dari 6 jam, menyulutku untuk lebihmenghargai diri sendiri. Alhamdulillah, dI tengah banyak rintangan, masih ada orang yang mau menerima diriku ketika berada di titk terendah.

Ah, Pak, pernikahan kita sudah memasuki usia ke-6. Sebagai orang asing yang hanya kenalan lewat biodata, hubungan kita pun tercatat di buku nikah. Tak ada cinta apalagi sayang. Namun, seiring berjalannya waktu, aku tahu kau bukanlah orang yang kuinginkan tapi orang yang memang sangat kubutuhkan.

Sejak awal nikah, kau selalu mendukungku untuk berekspresi di luar asalkan rumah tetap menjadi prioritas. Misi utama ini seakan mudah, tapi tanggungjawabnya sangat berat. Perlahan, aku mengalami trial dan error. Sering merasa benar tapi nyatanya tak bermanfaat. Malah terkesan egois dan menghabiskan uang.

Beruntung aku memilikimu yang tak banyak kata tapi kalau sudah bicara nyelekit. Jika diibaratkan nilai, awal menikah nilaimu hanya 50 kini mungkin sudah mencapai 100. Entah apa jadinya hiduku tanpa dirimu dan Hakim. 

Terimakasih telah memaklumibersamai kekonyolanku dan menuntunku ketika  lelah menjalani semua ini. Semoga apa yang kita lakukan berkah. Kau bekerja di kantor dengan pikiran jernih dan tahan dari godaan wanita atau uang. Sedangkan aku, akan tetap berjuang dari rumah.

Aku sayang, Pak. Ndang balek!
 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *