Mood Swing Bumil, Tantangan Komunikasi Produktif dengan Suami

Trigger

Sedari pukul 03.00 pagi, saya sudah menyiapkan keperluan hari ini. Tidak seperti biasanya, hari ini bisa dibilang istimewa. Setiap Kamis bocil menjalani Terapi Wicara (TW) sekaligus Terapi Sensori Integrasi (SI), jadilah kami harus berangkat lebih pagi. Selain karena perjalanan panjang, bekal yang perlu dipersiapkan juga banyak. Di antara yang pokok tentu camilan si kecil dan suami juga.

Berbeda dari hari sebelumnya, ini kali pertama suami mengantar kami. Biasanya ia sibuk kerja, tetapi karena hari ini ia bisa selo jadilah kami berencana naik mobil.

Perjalanan dari rumah ke tempat terapi ± 1 jam dengan motor. Karena sudah tahu dan tak mau terlambat, saya sudah mengingatkan suami dari semalam.

“Berangkat lebih pagi, jangan sampai telat!”

Peraturan saat terapi, kalau terlambat waktu tak bisa ditambah. Harus sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Mengingat pentingnya terapi bagi bocil, saya pun sudah mengusahakan semuanya dari pagi. Mulai dari sarapan, persiapan mandi air hangat, baju dan lainnya.

Menjelang keberangkatan, suami masih santai makan. Diingatkan masih ada waktu. Saya ganti memandikan bocil, ia terlihat berkutat dengan mobilnya. Hingga timbullah berdebatan di antara kami.

Tepatnya, satu jam sebelum jadwal terapi kami keluar dari rumah. Ah, sudah firasat nih bakalan terlambat. Namun tak sempat saya utarakan, perasaan sudah terlanjur ndak enak. Rasanya ingin meledak saja kalau dipancing pertanyaan konyol yang tidak pada tempatnya.

“Masih ada waktu kan? Ndak akan terlambat.”

Mendengar perkataan suami saya jadi semakin cemberut. Apalagi setelah menyadari rute pilihannya yang melewati gang menuju pom bensin.

“Isi bensin dulu, Bu.”

Saya mencoba sabar, tetapi menyadari antrian mengular dan tepat di belakang bus, entah bagaimana wajah saya berubah tiba-tiba saat itu. Langsum asem.

Cobaan belum berhenti sampai di sana. Suami juga masih harus mompa ban. Belum lagi jalur yang ia pilih ternyata memiliki titik macet yang panjang.

Ya, Allah rasanya sesak. Suasana sudah panas, sumuk dan pegel, eh belum lagi bocil yang rewel membuat suasana di mobil semakin membakar amarah di dada.

Mungkin karena naluri, Hana (nama calon anak kami nantinya, hasil pemberian bocil) juga tambah aktif. Ia seperti tahu dan dapat merasakan suasana dalam mobil yang kian memanas.

“Jam berapa, Bu?”

Saya pun diam. Pertanyaan lain pun saya jawab singkat, padat, sekaligus judes (palingan). Mau bagaimana lagi. Kalau bicara banyak malah takutnya disertai amarah. Eh tanpa disangka, kalau diam suami malah justru semakin mengomel dan menyalahkan jalanan yang macet.

Memang, perjalanan hari itu terasa lebih jauh dan berat. Hingga akhirnya, kami pun terlambat lebih dari 30 menit. Sayang sekali!

Menyampaikan Pesan dengan Sepenuh Hati

Dalam suasana hati yang amburadul, komunikasi menjadi jalan terjal yang sulit untuk dilalui. Kami pun lebih memilih berdiam diri. Saya lebih banyak menanti bocil di dalam ruang terapi, sedangkan suami lebih memilih menunggu di mobil.

Di saat itulah, saya memperbanyak istighfar. Kok bisa ya saya mudah sekali marah dan tersinggung. Rasanya ingin menangis saja. Beruntung suami tak menanggapi alarm perang yang sudah saya bentangkan. Lebih tepatnya, ia justru peka akan tanda bahaya yang keluar dari diri saya.

Sembari menata hati dan pikiran, saya juga memikirkan posisi suami yang tak mudah. Dalam kondisi yang tak fit, ia secara sukarela mau mengantar kami. Yah, walau tak sesuai dengan perkiraan, niatan itu tentu perlu diapresiasi.

Dalam perjalanan pulang, saya lebih memilih untuk mengisi perut terlebih dulu. Kan ada pepatah yang bilang kalau perut terisi otak pun jadi lebih mudah diajak kompromi. Biar Hana juga lebih tenang.

“Sudah enakan, Bu?” Pertanyaan suami kali ini saya jawab dengan senyuman. Apalagi setelah melihat kue yang kami bawa sudah ludes masuk perut.

“Kenapa cemberut terus dari tadi?”

“Gara-gara Bapak kita terlambat!”

Dari, obrolan ringan itu, saya pun mengutarakan apa yang selama ini mengganjal di hati dan pikiran. Termasuk marah karena kasihan si bocil waktu terapinya berkurang. Ah, sayang sekali. Padahal perjuangan ke sana sudah sejauh ini.

Bocil yang sedari tadi memperhatikan kami pun juga bertanya kenapa muka ibu kok aneh sejak tadi. Jadilah percakapan kami bertiga mulai mengalir. Tak terkecuali saya awali dengan kata maaf. Karena saya, semuanya jadi merasa tidak nyaman.

Partner Sejati Istri

Selama beberapa hari momen bersama suami menjadi sesuatu yang berharga. Ia yang biasanya jarang di rumah kini hadir dan membersamai kami. Tanpa melewatkan momen spesial, saya selalu berusaha untuk bisa dekat dengannya.

Ternyata itu semua tak mudah. Perasaan kami yang juga naik turun turut andil dalam menentukan suasana yang tercipta di rumah. Kadang senang, tak jarang pula ada ketegangan. Pun termasuk hari ini.

Walau ada perselisihan, kami berupaya untuk selalu menyelesaikannya. Tak ingin permasalahan menumbuhkan jarak di antara kami.

Yah, walau ini saya rasa sangat berat di awal pada akhirnya saya harus berbenah. Bila biasanya saya lebih memilih diam, kini saya harus berusaha melatih untuk bicara menggunakan hati. Tak hanya sekadar bicara omong kosong dan melepas emosi. Semuanya harus ada makna.

Instropeksi Hari Ini

Setelah sampai di rumah, saya baru mengetahui kalau sakit suami masih belum sepenuhnya sembuh. Masih ada rasa nyeri yang ia rasakan. Rasa lelahnya pun kian terpancar di wajah yang semula selalu dibalut senyuman.

Menyadari semua itu, saya merasa bersalah. Yah, walau ini akibat mood swing atau karena yang lain, saya perlu menata emosi lagi. Tidak ada yang sempurna. Selalu ada keterbatasan. Di sanalah kita perlu selayaknya bersikap bijaksana dalam mengamati dan menjalani sesuatu.

#tantanganzona2

#harike-2

#bundasayang8

#institutibuprofesional

#ibuprofesionaluntukindonesia

#bersinergijadiinspirasi

#ip4id2023

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *