Mupeng Jadi Penulis Bahagia Gara-Gara Talkshow Kinara Kejora di HUT IIDN Ke-11

Saya dan IIDN

https://ibuibudoyannulis.com/

Tahun 2018, kali pertama saya tahu komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN)  ini. Hanya sekadar tahu dan ikut jadi member pasif. Pun dengan blog. Tulisan demi tulisan mulai teparkir, sayangnya tak bertahan lama. Salah satunya mengenenai niatan. Saat itu, saya fokus menulis cerpen, iku event, dan sibuk menjalankan Sokoomah.

Tahun bergulir, komunitas yang didominasi warna merah dan putih ini kembali menghiasi beranda  tahun 2020 melalui bukunya Single, Strong, and Sparkling. Jiwa kepo pun meronta, saya buka web dan mulai tertarik untuk membaca satu persatu atikel dan ulasannya. Setelahnya, saya terlupa karena sibuk mengurus perpindahan rumah serta mengurus orang tua.

Program penulisan buku solo menjadi jalan untuk mempertemukan kami lagi, teutama dengan Mbak Widyanti Yuliandari, ketua umum IIDN. Dari pengalaman dan juga ceritanya mengelola blog, kebuntuan saya akan dunia literasi kembali terbuka. Apalagi sewaktu membaca tentang artikel hutan itu, hm entahlah bagaimana menjelaskannya. Bumbu infomasi yang ringan dan murah, diracik menjadi kata, dan sedap dipandang hingga secara halus masuk dalam memori. Dapat hidayah istilah kerennya. Sejak saat itulah, saya jatuh cinta dengan IIDN dan juga menulis di blog.

Selama ini, saya tidak terlalu peduli akan namanya publikasi atau branding diri. Sebagai perempuan yang memiliki cita-cita menjadi penulis, menghasilkan karya adalah hal muthlak. Sayangnya, sikap diam dan tak acuh ini justru semakin mendekatkan saya pada kebuntuan.  Kebosanan melanda, niatan menulis ternoda oleh motif unjuk diri tanpa adanya peningkatan kualitas tulisan. Ketika saya menyerah, IIDN membuka simpul itu. Alhamduillah.

Deretan tulisan yang dikelola oleh IIDN menjadi penyemangat. Ada masa tersandung, tejatuh, hingga terjungkal. Namun, mereka terlihat tak menyerah, bahkan event dan juga kegiatan yang dilakukan lebih beragam. Ada tour blog, pelatihan, dan kegiatan lain, yang kadang membuat saya berpiki ulang. Selama ini aku nandi? Kok katrok banget.  

Tahun 2021 menjadi keberuntungan tatkala saya menjadi bagian dari festival perempuan ini. Pejuangan selama 11 tahun adalah saksi perjalanan mereka. Karena itu, saya tak mau kalah apalagi berdiam diri dan melihat mereka berjaya dengan kesuksesan. Jangan harap ya, saya pun juga mau! Masih banyak yang harus dilakukan, yang penting nulis dulu.  

Mengenal sosok Kinara Kejora

Pekenalan saya dengan Kinara Kejora dimulai sejak talkshow Perempuan dan Menulis tanggal 29 Mei 2021. Lebih tepatnya saya yang tahu dan ingin bekenalan. Kalau Mbak Kinara mana mungkin kenal dengan saya, yang masih baru nulis juga.

Pertama kali mendengar gaya bicaranya, saya langsung terpikat. Koyone ewong etanan. Guyonan itu sering telontar kalau ketemu sesama orang Jawa Timur. Nyatanya perempuan yang lahir tahun 1972 itu memang kelahiran Ngawi sebelum membangun istananya sendiri di Surabaya.  

Di usia yang tak lagi muda, saya tak menyangka kalau karyanya bejibun.  Bahkan, ada yang sampai dijadikan film, seperti Ayah Menyayangi Tiada Akhir.

Sumber Instagram @KiranaKejora

Kemaruk sepertinya istilah yang tepat untuk penulis yang baru melahirkan novel Renjana Biru di Langit Morotai ini. Segala sesuatu yang berasal dari hati dijadikan inspirasi untuk menghasilkan karya . Novel, cerpen, artikel, bahkan skrip naskah film pun ditekuni. Amazing, pantaslah kalau ia menjadi salah satu perempuan inspiratif yang mengisi festival perempuan 2021 IIDN.

Penulis bahagia itu saya!

Apakah Mbak tidak bahagia sebelumnya? Maybe yes maybe no. Di awal waktu saya masih bersemangat belajar menulis sesuai dengan kebutuhan. Termasuk apa yang saya sukai, mengenai sesksualitas dan cerpen.

Seiring waktu berlalu dan bertambah banyaknya teman literasi, keinginan untuk bisa bersaing pun melonjak. Rasa bersaing tak terbendung. Plus unjuk gigi dalam bentuk buku menjadi prestige yang menggoda.

Menulis bukan lagi suat kebutuhan, tetapi keharusan. Setiap hari harus setor, event yang diikuti bejibun, hingga tanpa saya sadari semuanya telah berubah. Selain pola tidu, juga kebiasaan, dan emosi. Ini saya sadari ketika satu persatu anggota keluarga melakukan protes.

“Ibu kok jarang main denganku?” protes si kecil.

“Mbak, kok sibuk di depan laptop. Spaneng banget, lemburan dan jarang istirahat.” Adik Ipar turut memberi respon.

Terakhir dari suami, “Nulis terus ndak ono duwite!” (JLEEEB!)

Sejak saat itulah, saya memfokuskan diri pada satu hal. Menguasainya baru kemudian mencoba bidang lain. Selain itu, melibatkan hati juga sebuah keharusan. Diawali dengan berbagi, kita akan lebih percaya diri. Bebagilah walau sedikit, kita tidak tahu kapan tindakan kita mendapat penilaian baik. Pun dengan sebuah cerita.

Refleksi Diri

Di bawah ini ada lima hal yang menarik perhatian untuk bisa dijadikan refleksi diri.

  • Niat

Tidak dapat dipungkiri, semua berasal dari niat. Hati merupakan inti dari tubuh yang kita miliki. Semakin hangat, tubuh pun menjadi ringan dan peka akan apa yang tejadi. Sebaliknya, jika hati membeku, segalanya menjadi terasa kaku dan keras.

Dunia liteasi juga seperti itu. Kita tidak perlu menjadi orang lain, jadilah diri sendiri. Kalimat ini sering tedengar daam pelatihan, tetapi sangat sulit dilakukan. Kenapa? Karena kita belum menemukan jati diri.

Yuk, coba dijawab pertanyaan ini!

  • Apa niatan kita menulis?
  • Adakah manfaat yang didapat dari tulisan kita? Terlebih untuk diri sendiri.

Ada begitu banyak jawaban yang keluar dari mulut. Satu dengan yang lain berbeda. Inilah yang  membuat kita spesial. Niatan yang baik akan membawa penulis menuju ke jalan kebaikan, walau terkadang jalan yang dilalui terjal dan berbelok, bahkan kadang tesesat setidaknya masih bisa kembali ke jalan utama. Jalan menuju Allah.

Bagaimana kalau niatan kita berbeda, setidaknya pikirkan di masa mendatang. Semakin banyak yang membaca, pelafalan, dan juga doa pun semakin deras. Inilah yang memberatkan. Bukankah kita tidak mau keburukan nanti akan berbalik pada keluarga dan anak cucu?

Ini jugalah yang dikatakan Mbak Key dalam talkshow kemarin, di mana ia lebih memilih untuk menarik salah satu novelnya yang becerita tentang perselingkuhan, padahal saat itu minat pembaca masih tinggi. Butuh dua tahun untuk melakukannya. Ia mengalami kerugian kalau dilihat dari kacamata materi. Namun, ia memiliki visi misi yang jauh dari itu.

Moral dan tanggung jawab berada di pundak penulis.

So, bagaimana niatan kalian ketika menulis?

  • Menelisik Godaan.

Dalam hal ini, kalau saya lebih ke pengaruh ponsel.  Ponsel membuyarkan fokus, terlebih bagi mereka yang menyukai media sosial ataukah melihat tontonan. Ada banyak cerita dai teman mengenai hal ini, mereka yang kebanyakan membuka ponsel ketika menulis biasanya lebih lama menyelesaikan naskah.

Nyambi istilah jawanya, kita melakukan lebih dari satu pekejaaan di waktu bersamaan. Setiap penulis memiliki keunikan tesendiri dalam mencari inspirasi. Ada yang  mendengarkan  musik, sembari mencatat, tetapi ada juga yang berdiam diri di kesunyian.

Semua inspirasi yang dikumpulkan bisa buyar kalau nada ponsel bedering. Bagaimana kalau ada pesa? Ataukah ada status yang menarik. Berawal dari godaan untuk menjelajah satu akun bisa berlanjut ke akun yang lain. Tanpa disadari waktu telah meminggalkan kita.

  • Pentingnya mengupgrade diri.

Keterbatasan waktu memungkinkan kemampuan menulis seseorang menjadi berkurang. Inilah yang saya rasakan. Yang lebih buruk kalau penulis merasa bisa dan nyaman dengan dirinya. Tidak mau move on. Dampaknya, kita kehilangan momen untuk mengembangkan tulisan, kita juga melewatkan kesempatan untuk membaca. Kan sudah membaca status? Jawaban yang pandai tetapi kurang bijak.

Kalau kita mau membuka pikiran, tulisan yang menarik itu perlu ada sebuah konsep yang menarik di dalamnya. Mulai dari judul yang eye cathing, isi yang padat tetapi tidak membosankan, pun dengan penutup yang ciamik membutuhkan ilmu dan paktik. Semuanya perlu dikombinasikan untuk meracik tulisan yang tepat dan mencerminkan diri.

Semua kemampuan itu didapa dari mana? Ya belajar! Kalau tidak mau bagaimana kita mau unggul di tengah ganasnya persaingan antar penulis.

  • Kemaruk berdasar kemampuan diri.

Dulu, sewaktu masih kecil orang tua sering bekata, “Kemaruk, kabeh-kabeh diayahi malah ora dadi opo-opo.” Serakah, semua dikerjakan justru tidak jadi apa pun, kurang lebih sepeti itu. Pernah juga Bu Rosi, salah seorang editor di Gramedia mengatakan, “Sebaiknya penulis itu ahli dalam satu bidang sebelum mencoba bidang yang lain.”

Bedanya dengan kemaruk yang dilakukan Mbak Key apa? Kesadaran akan kemampuan. Mampukah kita melakukannya? Sebelum menjadi writerpreuneur, Mbak Key lebih dulu memiliki pengalaman menjadi pengajar dan peneliti. Belum lagi kesibukannya menjadi wartawan. Ilmunya sudah diasah oleh pengalaman sebelum memutuskan menjadi penulis.

Kalau kita? Yah, bukan berarti melarang, saya justru menekankan agar kita tidak harus mengikuti arus. Perbaikilah tulisan.Temukanlah jati diri dengan branding yang tepat, agar orang lain tidak bingung. Kalau sudah ada nama yang melekat dalam diri dan karya kita lebih baik, justu pembacalah yang akan mencari.

  • Konsistensi yang wajib diberi alarm.

Tulisan tidak bisa sekali jadi. Menulis itu ibarat napas, jika tak ada, hidup kita berada di ambang batas kematian.  Seorang penulis memandang tulisannya sebagai sesuatu yang berharga, mulai dari persiapan, kegagalan, dan juga hasil tulisan dianggap sebagai bahan yang beharga.

Tanpa adanya pemicu, penulis sejati selalu menganggap menulis itu sebagai bagian dari kesehariannya. Tak perlu formal harus menulis di sini dan di sana, bisa saja berupa curhatan ataukah cuitan.  Yang pasti, menulis harus dilakukan setiap hari.

Penulis profesional menggunakan waktunya setidaknya empat jam sehari menulis, sedangkan kita?

  • Menghindari jalan pintas.

Dalam hal ini plagiasi menjadi contoh yang tak patut untuk ditiru. Boleh melakukan metode ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi), tetapi jangan sampai kita kehilangan jati diri. Boleh mencari inspirasi di mana pun, tetapi ingatlah akan kemampuan diri.

Kalau masih banyak typo, ya belajar teliti.

Kosa kata tebatas, perbanyak membaca.

Katanya tidak baku dan buta ejaan, buka kamus dan pelajari isinya.

Kalau perlu ikut pelatihan dan komunitas yang memberikan efek positif.

Ingat! Proses itu membutuhkan waktu, tidak bisa dalam waktu singkat.

  • Memelihara “anak”

Penulis ibarat sebagai ibu dalam membuat dan memperlakukan buku karyanya, termasuk antologi. Inilah kesalahan yang sering berulang. Penulis seakan bergantung pada orang lain, entah penerbit ataukah komunitas demi tepenuhinya pundi-pundi upiah yang masuk ke kantong. Pikiran inilah yang harus diubah, sebagai penulis kita juga harus aktif berpartisipasi dalam pemasaran bukunya.

Zaman sekarang semuanya berkembang, pun dengan buku. Kita harus melek teknologi, setidaknya untuk penggunaan media sosial. Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan sejak awal untuk pomosi buku, salah satunya belajar branding. Darisanalah kita nantinya akan tahu mengenai cara memikat pembaca, mulai dari kata dan juga sampul buku yang ada.

Nah, ada niatan untuk mencoba? Yuk, mulai dari menulis dan mengunggahnya dengan percaya di di media sosial.

  • Melibatkan Allah.

Sebagai manusia kadang kita terlalu sombong untuk melibatkan Allah. Kita seringkali beranggapan kalau apa yang terjadi berkat usaha diri sendiri, padahal sejatinya semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Pun ketika kita dalam kesulitan, Allah adalah tempat tebaik untuk kembali.

Memang tidak mudah untuk mengakui kalau diri sendiri memiliki banyak kekurangan, tetapi sesekali menganggap diri sendiri lemah dan membutuhkan tempat sandaran tak ada salahnya. 

Semoga bermanfaat dan menjadi penulis bahagia.

Bantul, 25 Juni 2021.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *