Buku menjadi salah satu jalan untuk mengenang dan mengetahui perjalanan hidup yang kulakukan. EH, tidak hanya diriku tetapi juga di keluarga. Proses jatuh bangun dalam hidup berkeluarga, membuatku ingin terus belajar dan belajar.
Pun di Bunda Cekatan ibu Profesional ini. Khusunya untuk minggu kelima ini, ketika membuat peta belajar. Ada kebingungan, mau dibawa ke mana sih semua ini? Setiap kali NHW (Nice Home Work), sebutan untuk tugas pekanan yang harus dilakukan mahasiswa Bunda Cekatan muncul ada keraguan yang menggelayuti. Terlebih kalau sudah mulai baca satu per satu milik orang lain.
Milikku sudah benar belum ya? Kok sepertinya berbeda. Selalu ada keraguan. Namun, kembali lagi. Aku melihat dan mengidentifikasi sendiri. Seakan berkaca. Berbeda tidak masalah kok, yang penting sesuai dengan keinginan hati. Sejalan dengan visi misi hidup yang dipegang.
Menulis Buku
Menulis satu-satunya yang kubisa. Hanya melalui menulis aku seakan bisa menjadi diri sendiri. Kali ini aku memilih untuk menuntaskan tulisan hingga menjadi sebuah buku. Proses menulis buku itu memang panjang, perlu fokus tinggi untuk merampungkan. Setiap kata dipikirkan satu persatu akan makna dan penggunaannya.
Pemilihan materi, sumber, serta berita kekinian juga tak bisa sembarangan. Kredibilitas dipertaruhkan di sini. Sok banget ya! Hanya belajar dari pengalaman. Aku sudah pernah melakukan kesalahan, kali ini aku tidak ingin mengulangi kesalahan memalukan itu. Aku sangat takut pertanggungjawabanku pada Allah.
Kali ini aku memilih tema seputar ADHD. Buku tentang ADHD ini sudah terpikir sejak tahun lalu. Di kala diagnosa awal tentang anak sulungku masuk telinga, aku ingin sekali mendokumentasikannya. Sayang semuanya tertolak keadaan. Lebih tepatnya hanya bersifat wacana. Satu tujuan yang mengambang bagaikan benang yang mudah terombang-ambing oleh keadaan. Saat itu, rutinitas dan ketidakseimbangan perasaan menjadi kendala yang tak dapat dibantah.
Pandangan diriku perlahan berubah dan terarah. Perjuangan untuk sampai ke titik ini mengorbankan waktu, tenaga, finansial dan juga perasaan. Tidak ada yang murah dan mudah. Adakalanya rasa ingin menangis, berhenti dan berlepas tangan. Tapi bagaimana dengan hati nuraniku sendiri? Tidak ada kerelaan sama sekali.
Setiap kali aku melihat anakku, pikiran untuk selalu bergerak dan berjuang seakan menggema di tengah pergolakan batin. Kalau aku … salah! Kalau bukan kami orang tuanya, siapa yang akan membersamainya hingga ia siap untuk hidup mandiri?
Self Love
Self love menjadi salah satu jalan untuk move on dari keadaan. Selama ini, aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuk orang lain, anak, suami, orang tua hingga mertua. Apa yang mereka inginkan, selalu ingin kupenuhi. Pun walau harus bertentangan dengan prinsip. Aku ingin dianggap ada. Aku ingin selalu berkontribusi dalam keluarga kecil kami. Nyatanya, hasil seringkali bertolak belakang dengan usaha yang dilakukan.
Pernah sekali waktu, demi mengikuti keinginan mertua yang menginginkan menantu punya penghasilan sendiri. Aku kalang kabut mencari cara untuk bisa menghasilkan uang dari tulisan. Karena itulah keahlian yang kuyakini bisa kulakukan. Namun, pendapat mertua berbeda. Penulis bukanlah pekerjaan. Itu hanya sampingan dengan penghasilan tak seberapa, tapi menghabiskan waktu banyak di depan komputer.
Hasilnya? Anak seperti tak terurus, pola tidur kacau, rumah berantakan belum lagi kalau aku berkaca di depan cermin. Ya Allah, siapakah itu? Badan tambun, rambut putih acak-acakan, cekungan mata panda semakin menekan pipi yang kian melebar, belum lagi penampilannya. Tanpa polesan lipstik, bedak dan juga sapuan kosmetik lainnya.
Kecewa? Tentu saja. Puncaknya, saat aku mengetahui kalau anakku ADHD. Pusat kesalahan seakan tercetak jelas di dahi. Ibulah yang jadi sasaran.
Ini semua pasti karena ibunya!
Ini semua karena anak selalu diberi ponsel.
Anak kecil kok diberi komputer.
Ibunya tidak becus mengurus anak.
Hm, tuduhan, prasangka dan dan segala cemoohan seringkali mampir di telinga. Bukan oleh orang lain, ini semua oleh kerabat dekat sendiri.
Bagaimana perasaanku? Hancur. Tanpa mereka katakan pun aku sudah merasa bersalah. Tanpa mereka perjelas, aku juga tidak menginginkan semua ini terjadi. Kalau seandainya anakku bisa hidup dengan baik di tangan orang lain, aku merelakannya. Tapi apa? Ini bukanlah settingan. Ini kenyataan. Ini hidupku.
Solusinya? Cerita ke suami tidak menyelesaikan masalah. Semakin terpuruk pun membuat hubunganku dengan bocil memanas dan merenggang. Emosi tak stabil. Akibatnya? Bocil yang biasanya bersandar padaku seringkali menangis dan menangis.
Di saat itulah, aku sadar, tidak ada yang akan mencintai diriku kecuali aku sendiri. Kalau aku tidak bahagia, keluargaku bisa hancur. Tawa memudar. Celoteh ringan hanya sayup tipis terdengar. Apalagi kata sayang seakan menghilang.
Komunikasi Efektif
Dalam berumah tangga, hubungan dengan pasangan menjadi sesuatu yang muthlak untuk diperjuangan. Kalau renggang, diperbaiki dan dikuatkan. Kalau sempat hilang dicari sinyalnya biar nyambung. Pun kalau sudah bagus harus dijaga kerekatannya.
Komunikasi ini yang menjadi jembatan kami untuk saling memberi dukungan satu sama lain. Karena bagaimana pun, kekhawatiran, kegelisahan dan juga apa yang kurasakan juga dirasakan oleh suami. Walau cara kami mengekspresikan berbeda, kami bisa saling merasakan sinyal itu. Kalau tidak dibicarakan secara terbuka, aku takut akan menimbulkan keretakan di akhir. Hal inilah yang akhirnya menjadi kesepakatan kami untuk memperbaiki cara komunikasi.
Memiliki anak ADHD membutuhkan penanganan serius, berkepanjangan dan saling berkesinambungan. Mulai dari awal saat kami mendengar diagnosa itu keluar dari mulut dokter, hingga proses assesment yang panjang dan menghabiskan waktu ataupun materi. Banyak sekali isi pikiran yang terasa penuh. Aku yang perasa dan pemikir dengan suami yang serba cuek, perlu menemukan jalur yang sama untuk memantapkan langkah kami ke depannya.
Perkembangan Anak ADHD
Pencapaian tumbuh kembang atau milestone bayi hingga balita anak sulungku berbeda dengan yang lain. Awalnya kuanggap hanya biasa saja. Mungkin karena anak laki-laki, terlihat lebih aktif bukanlah hal besar.
Pun saat ia mengalami speech delay, itu dianggap hal lumrah. Kan jalannya tak masalah. Kan dia tumbuh sehat, kan dia merespons dengan baik. Berbagai pemikiran dan pendapat denial, selalu kucari untuk menenangkan hati.
Nyatanya, semua anggapan itu hanya penundaan. Inilah yang akhirnya kami sesali. Di usia 5 tahun, kami baru berani mencari kebenaran dan mencoba segala hal untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan anak kami agar tidak tertinggal dari teman-temannya dan juga agar ia bisa survive sendiri di lingkungan yang kurang ramah seperti saat ini.
Kok kurang ramah? Iya, contoh mudahnya mengenai bullying. Anakku memiliki hati yang rapuh. Ejekan seringkali melemahkan semangatnya. Sebagai anak yang berpengaruh pada sensorinya, anakku mengalami masalah pada pola makan. Hanya makanan kering yang masuk. Sayur ataupun buah tertolak. Mulut tak mau menerima. Seringkali hanya melihat saja sudah membuatnya muntah. Akibatnya? Badan anakku gembul. Ini sudah menjadi bahan ejekan. Belum lagi kekurangan dan keterlambatan lain yang ia punya.