Siapa yang ikut komunitas hanya untuk sekadar menambah pengalaman?
Adakah perubahan yang dirasakan saat mengikuti komunitas?
Adakah dampak positif yang membuat kita menjadi lebih baik?
Apakah dampak itu berjalan jangka panjang atau sekadar sesaat?
Berbeda dari komunitas lain, Ibu Profesional tidak hanya berfokus pada perkembangan kemampuan dan juga skill anggotanya. Di dalam Matrikulasi, kita justru dibekali kebutuhan dasar, salah satunya memaknai kembali karakter moral.
Sebelum mengajarkan dan koar-koar tentang moral, kita justru ditantang untuk mengenali karakter moral yang terdapat dalam diri.
Karakter Moral itu?
Poin penting dalam memaknai karakter moral menurut Hamidah Rina Mantiri
- Karakter moral sudah ada dalam diri, kita tinggal mengembangkan.
- Tidak perlu bergantung pada “tempat\ lingkungan” untuk menumbuhkan moral.
- Di mana pun berada kita bisa berkembang. Namun, bila ada pilihan kita bisa memilih tempat yang baik, menanam karakter dan meluaskannya.
Berbicara mengenai karakter moral tak lepas dari peran kita sebagai perempuan. Sejak lahir, kita sudah memiliki imajinasi dalam pikiran anak-anak, menjelang dewasa kita naik jabatan menjadi kakak.
Setelahnya, kita berkembang sebagai perempuan mandiri, bekerja kemudian menikah dan menjadi istri. Waktu berjalan, tanggungjawab di pundak bertambah saat kita menjadi ibu, mertua bahkan hingga nenek.
Menyelami diri adalah hal tersulit untuk dilakukan. Namun, tanpa adanya upaya itu semua perkembangan diri sulit diraih. Ibarat punya mantan, susah move on kalau kita tidak memiliki tujuan yang jelas dalam hubungan yang terjalin.
Memaknai karakter moral yang sejatinya sudah ada dalam diri, tak bisa sepenuhnya sempurna. Namun, dengan usaha mengenal dan menggalinya, kita punya kesempatan untuk mengembangkannya. (Jika sadar dan konsisten lo!).
Karakter Moral Ibu Profesional
Melalui Ibu professional ada karakter moral yang perlu diasah dan ditajamkan, di antaranya:
Never Stopped Running, The Mission Alive
Sebagai seorang perempuan, kita dilarang mudah menyerah. Kita harus terus bergerak. Tidak akan berhenti menjalankan misi dan tugas hidup. Pun dalam menjalankan peran mencoba menerima dengan suka cita. Dalam hidup selalu beranggapan kita berharga dan misi tak pernah mati.
Sejak kecil saya terbiasa melakukan apa pun sendiri. Ibu bekerja sebagai TKI. Hanya Bapak yang menjadi penopang hidup. Pun dalam keseharian bapaklah yang mengajarkan semuanya. Mulai dari memasak, mencuci baju, bersih-bersih rumah hingga belajar pelajaran sekolah.
Saat adik hadir, saya tak menganggapnya. Selain karena saya tak mau urusan dicampuri juga merepotkan. Ke mana-mana harus diikuti dan semuanya seakan menjadi tanggungjawab saya. Padahal saat itu, ibu masih harus kembali ke luar negeri, sedangkan Bapak sibuk bekerja.
Kehadiran ibu mulai terasa di saat saya SMA. Perlahan, saya mulai merasakan perbedaan. Ada yang mengurus rumah, perhatian akan kesehatan saya, pun ada yang selalu memeluk saya di kala tidur. Walau awalnya jaim, saya merasakan kenyamanan yang selama ini saya rindukan.
Sejak itulah, saya memandang ibu bukan hanya sebagai profesi ataukah sekadar sebutan saja. Ibu memiliki makna mendalam dalam lingkup keluarga. Kehadirannya memang mampu menghidupkan suasana dalam rumah. Selain menjadi hangat, juga semakin nyaman untuk ditinggali.
Pikiran saya terkait Ibu Rumah Tangga (IRT) juga berkembang. Untuk itulah, persiapan jauh-jauh hari sayalakukan. Sebelum saya tinggal dalam lingkup kecil (rumah), saya harus melakukan segala sesuatu yang sekiranya tak akan pernah saya sesali.
Dimulai dari mengambil kuliah di jurusan yang dipilih orang tua sebagai upaya berbakti, saya berfokus pada kegiatan organisasi/ kegiatan luar. Walau akhirnya tak bekerja seperti keinginan mereka, setidaknya saya bisa memenuhi harapan sebagai sarjana. Saya juga membeli buku sesuka hati, berpetualang, kerja jauh dari orang tua, dan juga menulis.
Hingga tahun 2015 akhir, tepat dihari Natal, saya menikah. Kehidupan sebagai istri dimulai. Sebagai IRT sangat sulit. Nyatanya, tak seindah dari apa yang saya bayangkan! Jauh panggang daripada api.
Kembali kepada karakter moral Never Stopped running, The Mission Alive, saya pun terus bergerak untuk menyesuaikan diri dan bertahan dengan pilihan yang telah saya ambil.
Setiap proses saya nikmati, air mata sebagai pembasuh hati yang selama ini terbiasa mandiri. Keluhan sebagai penguat hati yang tanpa disadari telah rapuh. Pun untuk tawa, menjadi pelembut hati untuk selalu bersyukur.
Don’t Teach Me I Love to Learn
Sebagai Ibu Profesional kita ditantang untuk senang belajar. Menjaga semangat belajar untuk meningkatkan kualitas diri baik sebagai istri, ibu maupun individu.
Sebagai istri saya memulainya dengan belajar mengenali diri, pasangan, kemudian orang terdekat suami. Hidup dalam lingkup keluarga suami membawa tantangan baru dalam kehidupan.
Membaca buku perihal kepribadian dan seputar pernikahan membuat saya lebih mudah menerima kekurangan diri. Dulu, saya termasuk keras kepala, banyak maunya dan juga bersikap terlalu masa bodoh. Semenjak menikah saya bisa merefleksikan diri. Salah satunya dari pandangan suami, mertua, hingga ipar dan tetangga.
Ini lebih memudahkan saya untuk hidup dalam realita, bukan angan seperti yang saya harapkan semata.
Sebagai istri, saya belajar untuk melayani suami. Jika sebelumnya memegang prinsip mandiri, sekarang lebih menurunkan ego. Apalagi sebagai IRT, tonggak utama keuangan terletak di tangan suami.
Saya pun dituntut untuk mampu mengatur keuangan. Berlatih menjaga perasaan terutama mertua dan siap sebagai samsak kesalahan.
Tak berhenti sampai di sana. Sebagai penghiburan diri, saya mengembangkan passion menulis. Berlatih dari satu komunitas ke komunitas lain, menulis buku, menjadi mentor penulisan hingga menjadi pemateri atau narasumber.
Ternyata melelahkan. Dunia literasi sangat luas. Dari sudut cerpen, novel, hingga sudut lain non fiksi: feature, artikel dan resensi buku nyatanya belum membuat saya puas dan merasa “Ah, inilah yang gue cari.”
Mungkin, inilah perjalanan. Di pertengahan tahun 2021 akhirnya saya menemukan media kepenulisan yang sesuai, blog. Dari sanalah saya bisa bebas mengekspresikan diri.
I Know, I Can Be Better
Ibu Profesional selalu ingin menjadi lebih baik dari hari ke hari. Ia tahu bahwa jika hari ini dirinya lebih baik dari hari kemarin. Inilah yang namanya orang beruntung. Sebaliknya jika hari ini dirinya tidak lebih baik dari hari kemarin maka ia akan menjadi orang yang merugi.
Berbicara dan membaca itu memang mudah. Bertindak dititik awal menjadi yang tersulit. Sebelumnya, saya tidak peduli akan perubahan untuk menjadi yang terbaik. Lebih tepatnya, saya menjadi terbaik sesuai dengan pandangan saja tanpa adanya ilmu. Jadilah, saya malah ngedrop dan merasa down.
Yups, ilmu menjadi bekal penting. Inilah yang seringkali terlewat.
Jadi, kalau saya ingin lebih baik dalam menata rumah, saya belajar gemar rapi. Pun belajar tips dan trik yang tersedia dalam buku pengembangan. Salah satunya dari Ibu Profesional: Bunda Cekatan dan Bunda Sayang.
Tak berbeda jauh saat saya mengenalkan seksualitas pada anak. Saya belajar dari buku, ikut training dan pelatihan. Setelahnya praktik dengan trial dan error.
Always on Time
Ibu profesional adalah orang yang pandai mengatur waktu. Sebagai orang yang menghargai waktu, Ibu Profesional selalu berusaha hadir dalam kegiatan atau perkuliahan sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama.
Dalam hal ini, saya belum sepenuhnya lulus. Setiap waktu kita berlomba dengan waktu. Waktu akan selalu ada, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya.
Proses pemaknaan pentingnya waktu untuk orang seperti saya tidak mudah. Saya orang easy going, yang terjadi ya sudahlah. Semua akan ada waktunya. Selama kurang lebih empat tahun, saya tak mampu memilih dan memilah kegiatan. Semuanya diayahi.
Tak peduli akan apa yang terjadi, pribadi menjadi yang utama. Namun, momen kegagalan demi kegagalan hingga masalah keluarga mengajarkan, kalau apa yang saya lakukan hanyalah pelarian.
Selama ini, saya belum memiliki tujuan apalagi menghargai waktu. Jadilah saya berbenah, mulai menentukan prioritas berdasarkan kemampuan dan kebutuhan diri, anak serta suami.
Salah satu hal yang bisa saya praktikkan di Ibu Profesional tentu saja membagi waktu dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Saya sebut kuliah saja, biar lebih formal sekaligus bermakna mendalam. Selama saya bisa mengikuti, kegiatan akan dilakukan secara langsung. Namun, bila terkendala anak atau kondisi lainnya saya segera menyusul.
Pun untuk tugas, saya memilih untuk mengerjakan di awal waktu. Jika tugas diberi waktu tiga hari saya selalu membaginya menjadi beberapa tahap. Tak bisa sepenuhnya rampung dalam sekali waktu. Sehari untuk sekadar riset dan membaca materi. Hari kedua meraba tugas dan batasannya kemudian menulis. Hari terakhir sebelum batas pengumpulan tugas, tulisan sudah diolah.
Sharing is Caring
Ibu profesional tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia peduli terhadap sesama. Karena itu ia suka berbagi apa saja, termasuk berbagi ilmu dan pengalaman. Namun, ingat ya! Ia hanya membagikan apa yang sudah ia alami dan praktikkan.
Ini adalah kesalahan yang biasanya saya lakukan. Kenapa? Memfilter informasi yang sekiranya bermanfaat itu sangat sulit. Apalagi perlu validasi dan praktik dulu.
Prioritas Karakter Moral Versi Diri
Saat ini, saya mengalami kebimbangan memaknai Never Stopped running, The Mission Alive dan Sharing is Caring. Kenapa?
Di bulan lalu, saya memiliki targetan untuk selalu berbagi dengan tulisan ataupun melalui kegiatan online. Tidak hanya berupa materi, tetapi juga pengalaman diri. Kegiatan harian pun sudah terjadwal. komunikasi dengan suami dan anak berjalan baik. Namun, di awal bulan Juni saya harus berpindah tempat ke mertua. Bersama bocil, saya harus membersamai dan menemani Eyang yang ditinggal haji.
So, jadilah saya memilih Never Stopped running, The Mission Alive.
Kegiatan yang sebelumnya terencana teralihkan dengan menyesuaikan kondisi di desa. Di mana Eyang tinggal sendiri. Bersama Bocil, kami bertiga harus tinggal di rumah limasan tua dalam lingkungan pedesaan yang dikelilingi gunung dan sawah.
Memperbaiki kondisi fisik
Berbeda dari tempat tinggal saya yang seuprit, rumah mertua terbilang besar. Ada empat bangunan utama, rumah bagian depan, dapur, ruang untuk kegiatan keluarga dan gudang. Setiap hari bagian itu harus dibersihkan. Belum lagi perihal tegalan, kolam ikan dan juga sawah.
Beranjak dari bersih-bersih, saya harus belanja, memasak dan mencuci. Setelahnya, pergi ke sawah. Ah, dan masih banyak lainnya.
Bila memikirkan pekerjaan memang tiada habis! Jika tidak berbenah dan menata ulang rencana harian, apa yang sudah saya rencanakan sebelumnya bisa hancur berantakan
Perubahan mulai saya awali dengan berjalan kaki ketika belanja, bergerak aktif di subuh setidaknya memberi ruang di dada untuk menghirup udara segar sekaligus refreshing.
Untuk kegiatan lain, saya pun bergiliran melakukannya. Bila hari ini menyapu besok mencuci. Atau sebaliknya. Pun kalau memasak, bila dirasa terlalu capek belanja lauk matang. Khusus untuk Eyang yang penting ada sayur, botok pelas dan camilan pagi, sudah cukup.
Membersamai bocil
Perihal ini tak bisa diabaikan. Bocil sekolah dan ngajinya libur (meliburkan diri). Suami jarang pulang, Di rumah tidak ada orang lain selain eyang.
Akhirnya, ketika di desa, kegiatan seringali berdua. Jika selama di Jogja, fasilitas bermain dekat, di desa itu terasa langka.
Saya pun memberinya ruang untuk lebih mengeksplore alam. Bersama teman barunya, ia bisa menghabiskan waktu di sungai, bermain sepeda dan kadang berenang di sumber.
Sedangkan saya? jadi tim pengawas.
Menulis tetap eksis
Selama di Jogja, menulis lebih leluasa. Fasilitas pun memadai, apalagi untuk internet. Kalau sekarang serba terbatas. Yang ada hanya android, sinyal juga tak stabil.
Demi tetap bisa eksis, saya memaksakan menulis tengah malam. Entah di buku, note HP atau yang lain harus ada yang ditulis. Pun untuk menunjang semuanya, beberapa buku dari Jogja saya bawa.
Kegiatan komunitas sementara jadi bayangan
Bukan berarti mengesampingkan, selama masih ada hal lain yang menuntut untuk diselesaikan kegiatan komunitas disambi. Asalkan masih bisa memenuhi kriteria kelulusan, hal ini tetap dijalani.
Sedangan, untuk keaktifan di grup wa atau fb, tetap mengalami kemunduran. Jika sebelumnya dapat berperan aktif dan cepat. Saat ini lebih banyak menjadi pengamat. Untuk membalas komen atau yang lain dilakukan sesekali.
Yuhu, cukup sekian untuk yang bisa saya tuliskan. Walau belum sepenuhnya berjalan, apa yang Sobat baca sudah saya lakukan dan praktikkan lo!
Kalau Sobat bagaimana? Adakah hal baru nan tiba-tiba juga yang dialami?
Share juga ya, siapa tahu bisa saling memberikan energi positif untuk menjadi versi terbaik diri.