Keluarga Sancoko
Sancoko merupakan nama samaran suami. Ia terinspirasi dari film Gundala Putra Petir. Sebagai tokoh utama, ia ingin berperan sebagai penyelamat keluarga. Pun dalam keluarga ini, Sancoko diibaratkan sebagai keluarga penyelamat. Tidak hanya untuk anggota keluarga tetapi juga untuk orang lain.
Sebagai calon keluarga A, kami sekeluarga mulai membuat proyek keluarga. Dimulai dari hal kecil. Dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga. Tentunya berdasarkan prioritas yang kami terapkan saat ini.
Yups, saat ini fokus kami kepada si Sulung, Hakim. Sebagai anak spesial, perlu komunikasi berkelanjutan untuk bisa memberi paham akan suatu hal padanya. Termasuk dalam penggunaan uang. Hakim mulai mengetahui nilai uang ketika masuk SD. Itu pun sekadar tahu. Habis minta lagi. Tidak ada kata terbatas dalam kamus hariannya.
Sebelumnya, sebagai anak yang jarang jajan. Tidak ada pembatasan anggaran untuk jajan. Los dol. Asalkan beli makanan dan habis dimakan, ya sudah. Cukup buat saya. Namun, semakin ke sini. Kebutuhan Hakim bukan lagi masalah perut. Saat memegang uang dipikirannya adalah mainan. Jadi, berapa pun yang ada di kantong, uang itu untuk membeli mainan. Ketika lapar atau haus, minta lagi. Kalau tidak diizinkan, ambil uang di dompet.
Pemahaman Keuangan Hakim
Pengaturan jatah sudah dilakukan. Namun, hanya bertahan beberapa saat. Hakim sering mengakali dengan meminta suami ataukah jajan terlebih dahulu. Kemudian saya yang bayar. Cash bon atau hutang istilah kerennya.
Saya dan suami pun saling diskusi dan sepakat. Keuangan Hakim memang harus mulai diperketat. Saat kami memulai, Hakim tantrum. Marah dan teriak. Memukul pintu garasi dan juga menjahili adiknya hingga menangis. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Perilakunya ini berlanjut hingga ke sekolah. Bad mood! Apalagi kalau kesukaannya, kereta Tomika disinggung. Sudah pasti marah lagi.
Untuk itulah, kali ini kami memiliki proyek keluarga hingga lebaran mendatang untuk mengatur keuangan Hakim. Kenapa sampai lebaran? Hakim sudah tahu dan memahami perihal uang saku. Sebanyak apa pun tanpa pengawasan semuanya direncanakan untuk membeli Tomika yang harganya sekitar 250 ribu. Itu pun preloved. Kalau baru sekitar 1 jutaan.
Proyek Keluarga

Pelaksanaan di minggu pertama bisa dikatakan belum berhasil. Hakim masih menolak. Nggerundel istilah jawanya. Sulit menolak Keputusan kami. Namun, ketika dipersilakan memberikan solusi tak ada suara yang keluar. Ia hanya diam. Ketika lebih ditekan lagi jawabannya.
“Hakim tetap mau Tomika, jatah Hakim buat beli Tomika. Hakim suka dan sayang dengan Tomika!”
Semua kembali ke Tomika. Selama ini, ketika Hakim membeli Tomika, ia akan puasa membeli mainan selama dua bulan. Namun, dalam pelaksanaannya ia masih sering meminta uang untuk membeli mainan murah/ kecil (istilah dari Hakim). Itu pun hampir setiap hari.
Harga mainan itu beragam, mulai 2 ribu hingga 10 ribu. Bila 2 ribuan, Hakim membeli lebih dari satu. Nyawa mainan itu tidak bertahan dari sehari. Selepas dibuka dari plastik, dibuat mainan. Kemudian sudah tamat. Kalau tidak rusak ya dirusakkan. Sengaja dilindas pakai sepeda, dilempar ataukah dibuang. Kalaupun masih ada, keesokan harinya tidak dimainkan. Katanya bosan. Hakim lebih menyukai suasana saat membuka mainan baru.
Ketika semuanya dijelaskan, Hakim seakan tak terima. Walau kecil kalau dihitung selama sebulan ya banyak. Pun kalau melanggar jatah membeli Tomika dikurangi tidak terima. Terjadilah tantrum lagi. Walau tidak separah sebelumnya.
Minggu kedua diskusi keluarga masih seputar keuangan Hakim. Kami pun memberi penjelasan perihal kondisi keuangan keluarga. Uang dalam dompet saya pun diperlihatkan. Sekarang, saya sudah tidak terlalu banyak menaruh uang di dompet. Sekiranya cukup untuk jajan, palingan sekitar 10-30 ribu.
Masih jadi PR hingga saat ini untuk kembali mengulang tentang pentingnya mengatur keuangan. Setidaknya Hakim saat ini lebih terkontrol saat diberi uang. Ke sekolah tahunya 10 ribu, pulang beli es teh 6 ribu kemudian jatah ngaji 5 ribu. Cukup.
Waktu dan Pelaksanaan Proyek Keluarga
Dalam menjalin komunikasi, kami membuka pembicaraan secara terbuka dan santai. Karena Hakim dan suami ADHD, pembicaraan seringkali melompat lompat. Jadilah mobil menjadi tempat ternyaman untuk memulai obrolan. Walau kadang keluar jalur, saya lebih mudah untuk mengembalikan ke topik obrolan.


Pun di mobil suasana lebih nyaman. Suami ada di rumah, Hakim dalam kondisi prima. Obrolan pun nyambung begitu saja. Walau seringkali output kurang sesuai, setidaknya obrolan seperti ini membuka jalan untuk lebih dekat dan tahu siatuasi masing-masing. Hakim juga lebih terbuka.
Kami tahu dari sisinya perihal makna uang miliknya. Uang Hakim ya uang Hakim, tidak boleh diutik. Apa pun yang terjadi uang itu harus utuh. Kenapa ia membeli mainan yang dianggap kecil? Menurutnya itu tidak boros karena nominalnya sedikit.
Ia juga kekeh tentang makna kepemilikan jatah itu seperti apa? Milik Hakim utuh, yang lain bisa berkurang. Dan masih banyak kesalahpahaman pemaknaan, jadinya saya dan suami pun hanya bisa tercengang. Wah, pantas!
Pembicaraan bersama seperti itu dilakukan di akhir pekan. Selama suami pulang. Namun, di hari-hari setelahnya, saya tetap mengkomunikasikan topik ini. Tetap ada adu argumen lagi. Saya pun menjelaskan lagi. Ritme berulang. Sama seperti sebelumnya.