Sejak pagi suasana di rumah sudah memanas. Hakim dan bapaknya terlibat perdebatan. Hakim tidak terima game yang ia sukai dihapus. Sedangkan dari sisi bapak, hakim telah melanggar kesepakatan di mana ia hanya memperbolehkan Hakim instal game dalam dua baris (± 6 permainan). Namun, malam itu ada kelebihan 2 game di ponsel. Game dihapus secara acak tanpa pemberitahuan.
Belum adanya titik terang gencatan senjata di antara mereka, Hanna sudah rewel. Ia tak mau ditinggal dan hanya menempel seperti anak kanguru yang ingin selalu dalam gendongan.
Mendekati pukul 9, saya mencoba menengahi di antara keduanya. Hakim pun diam menyerahkan ponsel dan langsung duudk di mobil. Sedangkan si bapak masih ngedumel sembari memanaskan mobil.
“Jadi sekolah jauh tidak?” (sebutan kami untuk terapi Hakim).
Keduanya mengangguk dalam diam. Saya pun hanya geleng kepala.
Perjalanan dimulai, hakim langsung tertidur. Mungkin karena capek nangis dan teriak terlalu lama. Sedangkan, saya dan suami mengobrol. Di sela obrolan, kami mneikmati camilan dari rumah sebagai pengganti sarapan. Namun, tiba-tiba terdengar suara letusan. Saya hanya bisa istigfhfar, sedangkan suami sigap menepikan mobil dan turun.
“Ban depan pecah, Bu.”
Saya segera turun dan berteduh di toko terdekat sembari menggendong Hanna. Hakim masih tertidur di kursi depan dekat sopir dan suami mencoba mengganti ban. Menit berlalu, tergantikan jam. Rasa haus kian menyiksa seiring teriknya matahari.
Di tengah kondisi itu, suara klakson dan mobil yang tiada henti membuat kepala semakin berdenyut hebat. Rasanya ingin pesan gocar saja untuk sampai ke tempat terapi. Namun, uang cash yang dibawa tidak cukup. Di ebanking pun juga tak kalah mirisnya.
Hanna yang semula tenang, bisa diajak bermain menjadi rewel. Ia pun terlihat kehausan dan mengantuk. Toko dalam kondisi tutup, kedai di sampingnya juga dikunci. Beruntung masih ada bekas meja dan beberapa lembar triplek tak terpakai. Saya terpaksa duduk di atasnya, di antara debu untuk menyusuinya.
Analisa Singkat
Biasanya, dalam kondisi demikian, saya mengutamakan ponsel. Mencari keberadaan benda pipih itu untuk membunuh waktu. Namun, dengan santainya saya hanya melenggang pergi meninggalkan mobil. Yang lebih penting saat itu bagaimana Hanna tidak rewel.
Di antara waktu yang tidak singkat itu, saya juga mengamati keadaan orang di sekitar yang berlalu lalang bergantian dengan mobil, motor, gerobak, sepeda dan juga ambulans. Walau pada akhirnya harus menyerah pada gejolak emosi yang kian memuncak, ponsel menjadi pilihan terakhir untuk menenangkan pikiran.
Dampak Ponsel Berlebih Bagi Tubuh
Ponsel menjadi barang wajib di rumah. Entah digunakan oleh orang dewasa/ orang tua, anak-anak juga sudah berkenalan bahkan bisa dikatakan lebih dekat dengannya. Hal ini sempat saya rasakan. Pagi hari bangun sudah mencari ponsel. Di sela waktu menjaga anak, tangin ini gatel untuk membuka ponsel. Pun ketika mau memasak, mencuci ataukah melakukan pekerjaan rumah, menengok ponsel semacam rutinitas tak tertulis. Walau hanya sekadar ingin melihat balasan wa. Semua itu tak terelakkan.
Ya kalau kecintaan pada ponsel tak mempengaruhi yang lain. Lima menit masih oke, kalau sampai setengah jam atau lebih? Biasanya ada waktu yang harus berkurang dan dikorbankan saat melihat ponsel. Salah satu di antaranya menulis.
Dari beberapa hal yang saya alami, beberapa hal ini memang perlu diperhatikan dan diwaspadai jika terjadi.
Penurunan konsentrasi
Terutama dalam melakukan kegiatan yang membutuhkan konsentrasi seperti menulis, mengajari anak, ataukah berbelanja. Kita rentan terganggu oleh notifikasi, gelisah menanti balasan, menunggu reaksi ataukah sekadar ingin lihat chit chat yang ada di grup.
Penurunan kemampuan interpersonal
Penggunaan ponsel secara berlebihan dapat mengurangi interaksi sosial. Tidak hanya dengan saudara atau tetangga, dengan suami dan anak komunikasi pun bisa terhalang. Belum lagi kalau dengan bayi. Bila kita lebih memilih menghabiskan waktu di depan layar daripada berinteraksi secara langsung dengan amak, mereka juga secara otomatis terdidik seperti itu.
Risiko kesehatan mental
Penggunaan ponsel berlebih dapat meningkatkan risiko kesehatan mental pada anak-anak. Dalam hal ini erat kaitannya dengan efek negatif media sosial. Jiwa bersaing semakin menggebu. Ada keinginan seperti mereka, ada juga rasa ingin membandingkan. Jadilah terkadang kita bisa mengalami gangguan tidur ataupun kecemasan. Kalau parah bisa menjurus ke arah depresi dan isolasi sosial.
Penurunan aktivitas fisik
Saya selaku perempuan yang memasuki angka 35 tahun cenderung kurang beraktivitas fisik. Bila malas menghampiri lebih memilih untuk duduk diam dan terikat pada ponsel. Kalau ditelaah lebih jauh, ini bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti obesitas dan kekurangan olahraga.
Penurunan daya pikir
Penggunaan ponsel yang tidak terkendali dapat mengganggu waktu belajar kita. Belajar memasak, upgrade ilmu dari buku ataukah belajar dari lingkungan sekitar. Berbeda kalau kita memang menghabiskan waktu dengan belajar dari ponsel itu sendiri. Seperti melihat youtube.
Potensi paparan konten yang tidak pantas
Konten saat ini sangat beragam. Agar bisa fyp segala cara dilakukan. Terkadang hal ini bisa menjadi amunisi kita untuk bisa memperingatkan anak. Namun, kalau tidak dibendung bisa saja jadi bomerang untuk diri sendiri. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan perilaku kita.
Gangguan dalam hubungan keluarga
Anggota keluarga yang lebih terikat pada perangkat mereka , mengurangi waktu berkualitas yang dihabiskan bersama-sama. Orang di sekeliling dianggap mengganggu. Belum lagi kalau orang tua marah ataukah menunjukkan emosi dan berbicara panjang kali lebar. Anak akan lebih sensitif dan menganggap kita sebagai subjek yang menjengkelkan.
Gangguan tidur
Pernah hal ini saya lakukan ketika membaca komik kesayangan. Sayang kalau tidak sekali habis. Setiap chapter selesai nagih ke chapter selanjutnya. Waktu pun habis begitu saja, jam 3 pagi sudah di depan mata. Akibatnya mempengaruhi kualitas tidur dan performa keesokan hari. Mood pun juga terjun bebas.
Risiko keamanan dan privasi
Hal ini yang paling saya takutkan. Apalagi kalau mau update atau pasang status di wa. Sebagai istri dan ibu yang menjalani hubungan LDM, rumah menjadi markas sekaligus istana. Tidak adanya sosok suami di rumah membutuhkan penjagaan ekstra. Beruntung ada tetangga dan kerabat yang selalu siap membantu.
Cerita Puasa Ponsel
Puasa dimulai hari Minggu (15 September 2024) selama 5 hari. Jendela puasa: 06.00-11.00,13.00-18.00, 23.00-05.00. Dalam rentang waktu itu, ponsel berusaha di silent, saya tidak scrol media sosial ataukah melihat youtube. Pun ketika di malam hari “niatnya” sudah lepas ponsel dan tidur.
Kriteria:
- Tidak menggunakan ponsel didepan bayi atau anak.
- Dalam waktu jendela puasa, ponsel disilent atau dimatikan.
- Tidak scrol media sosial, e-commerce ataukah komik online di jam itu.
Hari pertama dan kedua, belum bisa optimal. Saya masih menjadi PJ di sebuah grup BeranilangsingKuy (BLK). Intensitas melihat dan membalas wa masih tinggi. Hari ketiga juga masih sulit dilakukan, saya menjadi PJ Rumbel Healing dan ada pertemuan perdana. Hari keempat dan kelima mulai bisa diterapkan. Terutama yang pagi hari. Kalau malam masih sering gagal. Apalagi ketika ada video baru dari youtube yang dinanti seperti Hirotada, tangan gatel untuk segera melihatnya.
Hari ke enam dan ketujuh sudah lebih baik kemajuannya. Dalam kondisi tertentu mampu meletakkan ponsel tanpa kerisauan. Walau belum lama seperti target, Alhamdulillah sudah bisa berpisah dan tidak galau lagi. Biasanya pagi hingga siang masih bisa tanpa ponsel, tetapi kalau siang sembari gegoleran niatan untuk membuka sangat tinggi.
Hal Yang Sudah Berhasil
Belum ada yang berhasil dari kriteria yang saya buat. Anak masih sulit disounding pun dengan suami. Ponsel masih menjadi bagian yang sulit dipisahkan. Namun, ketergantungan itu sempat merenggang. Walau tak bisa di setiap momen, saya mencoba mahami bila dalam kondisi khusus (seperti pecahnya ban di atas).
So, dari evaluasi yang ada untuk minggu depan, puasa ini masih berlanjut dengan beberapa perbaikan dalam prosesnya. Terutama yang berhubungan dengan komunikasi di keluarga.