Tahun 2025 sudah di depan mata. Sebenarnya, tidak ada rencana untuk merayakan tahun baru. Hari yang dianggap Istimewa oleh orang lain bukan menjadi budaya untuk dirayakan apalagi masuk dalam rencana spesial keluarga. Tahun baru seperti hari biasa. Biasanya kami hanya berdiam di rumah. Saya bersama bocil di Yogyakarta sedangkan suami nan jauh di tempat kerjanya—Kendal.
Namun, pergantian tahun 2024 ke 2025 berbeda. Hari libur si sulung—Hakim bertepatan dengan pergantian tahun. Panjang pula. Jadinya kami bisa berkunjung ke tempat kerja suami sekaligus menempati hunian baru.
Di tahun ini, suami Alhamdulillah mendapat kesempatan membeli rumah di BTR (Bale Tentrem Residence). Kos yang awalnya sempit dan hanya cukup untuk satu orang telah berganti. Kami pun bisa bebas bertandang ke hunian baru yang dipilih suami. Tidak jauh dari alun-alun Kaliwungu, perumahan ini memiliki akses jalan yang mudah. Rumah sederhana dengan dua kamar, satu kamar mandi, dapur dan halaman depan belakang yang cukup luang untuk bercengkrama itu juga sunyi. Tenang dan nyaman dijadikan tempat istirahat. Luasnya 72 m2 Alhamdulillah mampu menjadi hunian baru yang bisa kami singgahi tatkala rindu melanda.
Rumah ini menjadi awalan baru bagi kami untuk menata kembali visi misi ke depannya. Banyak cerita, keluh kesah dan curhatan kami sebagai orang tua yang muncul dalam obrolan semalam. Secuil permasalahan yang kami bahas di malam tahun baru sembari rebahan, diantaranya:
Bagaimana menghadapi polah tingkah Hakim yang sering di luar nalar? Eksperimen dari berbagai benda di sekitarnya seringkali membuat kami takjub sekaligus geleng-geleng kepala.
Apakah kami masih perlu melanjutkan LDM ataukah memilih bersama?
Bagaimana dengan perkembangan sekolah Hakim?
Bagaimana cerita pengalaman suami di tempat kerja?
Bagaimana perkembangan Hanna—putri kedua kami saat ini?
Apa yang akan dilakukan dengan rumah kami ini ke depannya? Mana yang perlu direnovasi?
Serta masih banyak hal receh dan remeh yang membuat kami kadang diselingi gelak tawa ataukah candaan. Kalau Hakim ikut nimbrung, tangis pun turut serta menyumbang suara berisik di malam hari.
Bagaimana tidak? Di saat Hakim ikut pasti ada adu debat dengan suami. Layaknya sesama lelaki, perdebatan lanjut dengan tembak-tembakan (yang menurut versi mereka itu sudah paling keren). Bila Hakim kena peluru sudah dipastikan kesakitan. Sebaliknya, kalau suami hanya terkekeh saja.
Kenangan dengan ADHD di Tahun 2024
Keluarga ADHD, saya menyebutnya sebagai pengingat sekaligus upaya penerimaan pada kondisi anak bungsu kami. Terindikasi kemungkinan karena adanya riwayat keturunan, kami ingin berdamai dengan semua itu.
Tahun ini menjadi tahun kedua kami mengetahui Hakim didiagnosis ADHD. Membiasakan diri dengan terapi dan kegiatannya menjadi rutinitas yang menyedot tenaga dan pikiran. Tak ingin patah semangat. Saya mencoba mencari hal positif untuk bisa lebih memaknai dari apa yang terjadi.
Alhamdulillah, banyak hal yang membuat saya lebih bersemangat untuk menjalani semua ini. Salah satu diantaranya kehadiran dan dukungan dari suami. Walaupun harus LDM, ia rela pulang setiap minggu hanya untuk mengantar Hakim terapi. Pun adanya tetangga yang merespons positif akan kondisi saya, semakin menguatkan diri kalau masih banyak orang baik di dunia ini. Tenaga dan kehadiran mereka di saat saya kesulitan dan kesusahan menjadi sumber tenaga tersendiri.
Kehadiran Hanna di tengah keluarga kecil kami, juga memberikan warna baru. Yang awalnya diselingi penyesalan dengan kondisi si sulung, kini dipenuhi rasa syukur. Penyesalan dalam artian merasa sebagai orang tua yang belum bisa memberikan treatment terbaik dengan kondisi Hakim.
Alhamdulillah Hakim dan Hanna seperti saling melengkapi. Sifat yang berbeda, watak bertolak belakang dan pencapaian tumbuh kembang yang berbeda membuat saya dan keluarga lebih banyak bersyukur. Yang pasti, saya lebih teliti dan perhatian akan setiap tumbuh kembang yang mereka lalui.
Kejadian yang tak kalah menyenangkan sekaligus mengharukan juga dialami adik ipar. Di mana tahun ini, ia bertemu jodoh di saat baru merampungkan S2. Teman yang biasanya menjadi sahabat gibah harus berpindah mengikuti suami ke Cikarang. Kebersamaan sekitar tiga tahun harus terjeda olah jarak dan status. Di mana statusnya kini telah menjadi istri Sugi. Sosok lelaki dewasa—9 tahun lebih tua darinya dari desa sebelah yang dikenal lewat orang tua.
Pun yang tak luput dari rasa syukur. Kerjaan suami yang kini semakin cemerlang. Menjadi wakil direktur II di salah satu politeknik di Kendal membuatnya semakin sibuk. Di sisi lain pemasukan pun semakin meningkat. Alhamdulillah, kebutuhan kedua anak tercukupi.
Terakhir, yang tak mungkin terlupa. Bagaimana perjuangan saya dan Hakim dalam mencari SD. Dengan kondisinya yang seperti itu, Hakim membutuhkan sekolah yang mampu menerima dan menunjang bakatnya. Trial dari satu sekolah ke sekolah lain di lakukan. Survey sekolah pun tak jarang ditemani suami di hari weekend.
Saat kami mulai putus asa dengan pertimbangan jarak, biaya dan kemampuan Hakim. Allah memberi jalan saat kami memeriksakan Hakim di rumah sakit karena sakit kulit— Pityriasis Alba. Dari salah seorang pasien, kami mengetahui sekolah ramah bakat Syakila. Tanpa ba bi bu, suami langsung mengajak ke sana.
Sejak aawal pertemuan dengan kepala sekolah—Bu Budi. Saya dan suami sudah jatuh cinta. Pengajaran anak berdasarkan fitrah sesuai dengan gaya belajar Hakim. Alhamdulillah Hakim pun turut nyaman saat trial di sana.
Resolusi di Tahun 2025
Tahun ini, saya berharap lebih produktif. Setelah terjeda karena fokus pada pemeriksaan dan terapi Hakim. Kini saatnya saya pun harus juga mulai melangkah. Selain untuk eksistensi diri juga sebagai sarana untuk bisa menghargai diri. Setelah sempat down karena kondisi Hakim, saya ingin mencoba kuat.
Sebagai orang yang menjadi pegangan hakim, saya berusaha lebih kokoh. Selain fisik, mental pun harus ditempa. Mulai dari membiasakan hidup sehat dengan menjaga makanan dan olahraga. Saya mencoba untuk mencari jalan agar tetap waras. Di antaranya dengan menulis. Ikut KLIP menjadi salah satu bagian dari rencana ini. Saya dapat menulis rutin di blog menjadi target yang saat ini mulai ditekuni.
Tahun sebelumnya fokus mengikuti Ibu profesional khususnya perkuliahan Bunda Cekatan.
Harapan lain, saya menjadi lebih sabar. Perkembangan Hakim saat ini jauh dari jangakuan saya sebelumnya. Mulai dari pergaulan, cara bicara ataupun sikap dan bagaimana kopingnya dalam menghadapi masalah membuat saya harus lebih banyak belajar sekaligus istighfar.
Pun dalam menjalankan peran sebagai istri, semoga saya bisa lebih bersabar atas semua yang terjadi. Saya mampu menjadi pendamping yang layak bersanding di samping suami. Jika suami tak kenal lelah dalam mencari nafkah, saya pun tak bisa menyerah saat diberi wewenang dan tanggungjawab untuk mengurus anak dan rumah.
Yah, harapan lain tentu saja punya kesempatan untuk bisa pulang kampung. Balik ke rumah masa kecil. Ke pangkuan orang tua atau mertua. Melihat mereka sehat dan menua bersama. Saya tak mampu memberi materi berlebih. Hanya doa yang selalu teriring demi keselamatan dunia dan akhirat.
Terakhir, tapi bukan akhir. Tiada yang sempurna apalagi kekal di dunia ini. Kadang terselip rasa iri akan pencapaian orang lain. Namun, saat berkaca pada diri sendiri nyatanya ada hal yang sepatutnya kita selalu syukuri. Pilihan IRT kadang menjadi penyesalan, tetapi itu bukan tujuan akhir. Itu hanyalah sandungan kecil dalam menguatkan niat dan langkah. Semoga saya bisa menjadi IRT yang terus menebar manfaat. Dari rumah kembali ke rumah.
Kalau ini resolusiku, bagaimana dengan resolusimu?