Ibu, Maafakan Aku
By: Apiida
ups…maaf foto ini☺☺☺❤
“Ibu masih penasaran, Istrimu masih perawan?”
Perkataan itu terus terngiang walau sudah beberapa hari berlalu. Hatiku terasa sakit namun takut untuk mengungkapkan. Ini semua berawal dari kejadian seminggu yang lalu. Di malam yang dingin aku terjaga, rasa haus membuyarkan mimpi. Sebelum kaki ini memasuki dapur, aku mendengar suami berbicara dengan seseorang. Timbul rasa penasaranku sehingga aku hanya terdiam di belakang pintu dapur. Ada perasaan menyesal tapi semuanya telah terjadi. Perkataan yang menyakiti, merendahkan dan menghina diriku telah keluar dari mulut orang yang selama ini kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri.
Mimpi itu terus menghantui hingga setiap malam tanpa terasa air mata ini meleleh. Malam yang seharusnya menjadi milik kami kini terasa sepi.
“Kenapa menangis?”, aku terhenyak kaget.
“Apakah aku perlu menjawabnya?”
Suamiku terdiam beberapa saat kemudian berbaring di sisiku tanpa kata.
***
Gelengan itu terjadi untuk kesekian kalinya bahkan senyum itu kini mulai menghilang, “Baiklah kalau ibu tidak mau makan, aku akan keluar sebentar nanti mas pasti datang kesini. Apakah ibu tidak apa-apa kalau sendiri?”
Tidak ada jawaban, hanya punggungnya yang kini kian bergetar. Tanpa berkata lagi kulangkahkan kaki ini keluar. Kututup pintu perlahan seiring turunnya air mata. Kusandarkan badan ke dinding, rasanya tubuh ini sudah tidak bertulang. Sejak ibu mendengar cerita yang terjadi ia semakin tidak percaya padaku.
“Mbak Tama, maaf ini ada obat yang harus ditebus.”Panggilan suster Tika mengembalikan kesadaranku.
“Oh —ya.”
Tidak lama kemudian aku pun hanya terdiam memandangi kepergian suster Tika. Kutepuk pipiku perlahan, Ayo Tama, kau pasti bisa. Langkah gontai mengiringi kepergianku ke apotik, antrian terlihat panjang. Aku pun memilih menunggu didekat jendela sambil menikmati langit,pikiranku menerawang.
Pernikahanku seperti khayalan, proses selama tiga bulan tanpa pacaran. Suamiku seorang pebisnis muda yang cukup sukses, diusianya yang masih muda ia dapat menempuh S3 bahkan mendirikan berbagai bisnis makanan di berbagai daerah. Ia pun menjadi anak kesayangan di keluarga, walau ia tidak mengatakannya secara langsung aku pun dapat melihat dari sorot kasih sayang yang diberikan ayah dan ibunya. Semuanya demi dia.
Sebelum ibu mengetahui semua ini, setiap hari ia setia mendampingiku. Walau kami adalah mertua dan menantu saat ini semua hubungan itu terasa hilang. Yang ada adalah anak dengan ibunya. Ia membebaskanku menggunakan dapur dan tidak jarang telinga ini kerap diisi dengan nasehatnya dalam kehidupan rumah tangga.
Namun—semuanya lenyap selepas hari itu.
“Ayana, bukan anakmu kan?”
Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu muncul. Kuperbaiki duduk, kini kami telah berhadapan. Memang aku anak sulung dan memiliki tiga orang adik, adikku yang kedua, Dina baru menyelesaikan kuliah dan tinggal di Jogja, ia meninggal dalam kecelakan dua tahun lalu. Adikku yang ketiga pun meninggal karena keguguran dan yang terakhir adalah Ayana, 3 tahun. Jarakku dengan Ayana sangat jauh, kami terpaut 24tahun sehingga banyak menimbulkan pertanyaan akan siapa dirinya.
Sekali lagi kupandangi mata yang telah meneduhkan hatiku, ia tidak bercanda dan terlihat serius. Aku terdiam, perlahan memejamkan mata menggali kembali memori peristiwa tiga tahun lalu. Peristiwa kelam yang sempat memporak porandakan bahtera keluargaku.
“Apa yang ingin kau ketahui mas, kebohongan ataukah kebenaran?”
“Keduanya.”
“Kebohongannya ia adalah anak dari sepupuku dan kebenarannya…..,” –lidahku kelu.- “Ia adalah keponakanku sendiri mas.”
“Maksudmu?”
“Ia anak Dina mas, hasil hubungan gelap dengan pacarnya. Ia lahir sebelum Dina meninggal dalam kecelakaan,” kataku perlahan.
***
Sudah seminggu sejak pembicaraan hari itu, inilah petama kalinya ia menangis. Aku ingin merengkuhnya namun raga ini seakan membatu.
“Inilah pertama kalinya aku melihat ibuku seperti ini.Apakah aku menjadi anak durhaka? Sepulang dari rumah sakit ia menjadi pendiam. Ia masih menyalahkan dirinya karena mengijinkan pernikahan kita.”
“Kau sendiri bagaimana mas?”
“Aku sendiri tidak tahu dek, ibu begitu rapuh. Ia membutuhkanku. Ibu sangat yakin Ayana adalah darah dagingmu. Ia sakit hati kau dan keluargamu mendustainya.” –Menyisir rambut dengan tangan.- “Saat melihatmu aku ingin sekali memaafkan bahkan menyentuhmu namun aku takut jika seandainya semua itu benar maka apa yang harus kulakukan. Kumohon mengertilah!”
“Kalau begitu kenapa kita tidak melakukannya untuk membuktikan perkataanku.”
“Aku tidak tahu, diri ini terlalu takut. Terlebih kau seorang yang berpendidikan, bisa saja kau melakukan operasi seperti yang ibu pikirkan.”
“Istighfar mas, apakah tidak ada kepercayaan lagi padaku?”
“Entahlah. Kalau seandainya kau kupulangkan ke rumah orangtuamu?”
Ia mengatupkan tangannya dan tertunduk. Aku hanya bisa berlutut dihadapannya, “Ibu memintaku melakukannya”
“Aku mohon pikrkanlah, orangtuaku masih belum megetahui semua ini. Apakah kau tega terhadap mereka?”
“Lalu kau? Kenapa tega terhadap kedua orangtuaku.” Suaranya meninggi.
“Apakah begitu hinanya diriku?”
“Seandainya ada bukti aku akan percaya padamu. Kalau sekarang pun adikmu tidak bisa mengatakan apa pun, sedangkan orangtuamu tetap mengatakan kebohonganyang sama. Terlebih saat ini Ayana lebih dekat dan lengket padamu. Mana—yang bisa kupercaya?”
“Baiklah, apa yang akan mas lakukan?” tanyaku putus asa.
“Entahlah, untuk saat ini biarkan aku berfikir dulu. Aku akan ke rumah ibu, jagalah rumah baik-baik. Dalam dua hari setidaknya berpikirlah tentang semua ini”
Ia meninggalkanku dalam penjara yang disebut rumah. Tidak ada yang bisa kulakukan hanya isak tangis ini pelipur lara. Dada ini sudah terlanjur sakit. Kepada siapa lagi aku bisa bercerita? Kebimbangan mulai menerpa, apakah aku harus cerita kepada kedua orang tuaku atau tidak.
Malam itu ― tanpa kusadari tangan ini menghubungi ibu, tanpa perlu komando mulut ini mengisahkan semuanya. Tanpa kusangka, orang tuaku bertambah marah dan sakit hati.Permasalahan yang kuanggap selesai kini berimbas pada nasib bahtera rumahtanggaku yang baru seumur jagung. Mereka bahkan tidak mau berbicara denganku lagi, sampai saat inipun aku masih ingat perkataan ibu.
“Tidak cukupkah kau menyakiti hatiku? Teganya kau mengorbankan almarhumah adikmu demi kebahagiaanmu? Ibu tidak menyangka kau akan seperti ini. Lebih baik jangan pulang. Rahasia yang telah lama ibu simpan kau buka hanya demi kebahagiaanmu!”
***
Malam itu ia pulang sore, aku ingin memberitahunya namun segera kuurungkan. Perlahan kudekati ia yang bersandar di sofa depan.
“Mas ada satu hal yang ingi—,” tanpa menunggu perkataanku ia mengangkat tangan.
“Apa? Katakanlah!”
“Aku ingin pulang sejenak, ke rumah orang tuaku.”
“Pulanglah kalau kau ingin pulang namun jangan pernah kembali kesini lagi!”
Aku hanya bisa terhenyak mendengar jawabannya. Dengan tekad dan hati perih kubaca sms yang baru kuterima berulang-ulang hingga akhirnya kubalas sms itu.
(21/2/2013)
Dari: Tamaka
Kepada: Ima (Sepupu)
Maafkan aku ayah, ibu. Maaf,maaf— maaf.
***
Hari itu kuhabiskan waktu untuk jalan-jalan, saat aku kembali dan mengucapkan salam beberapa kali tak ada sahutan, tanpa menunggu waktukurebahkan tubuh ini. Sebuah suara membangunkanku. mata sulit terbuka karena setan masih bergelayut di sana. Saat kukerjapkan mata berulang, baru kusadari wajah itu milik Mas Oki. Aku pun segera beranjak bangun, “Mas, ehm sejak kapan?”
Kulihat pakaianku dan semuanya masih sama hanya kini aku telah memakai selimut.
“Ayo shalat subuh berjamaah.”
Sekilas kulihat kaca didinding kamar, ya Allah kerudungku.
Selepas shalat, entah kenapa tanganku tiba-tiba ingin mengapai orang dihadapanku. Mas Oki tiba-tiba berbalik, ia menyodorkan tangan dan tanpa kusadari tangan kami kini telah bersatu. Bagaikan ada sengatan listrik, aku pun hanya memandang telapak tangaku. Inilah kedua kalinya kami bersentuhan selepas akad nikah.
Hening!
Wajahnya memerah, inilah pertama kalinya kulihat wajah itu dari dekat. Mungkin aku pun sama, namun kali ini aku tak menolaknya. Kuberanikan diri untuk mengambil langkah awal. Tangan ini kini telah berlabuh dipipinya, terasa hangat. Hari itu kami menikmati hari pertama kami sebagai suami istri yang sesungguhnya.
“Saat aku pulang, hatiku dipenuhi rasa takut —kau sudah tidak ada lagi di rumah. Aku sangat lega masih bisa melihatmu. Mungkin inilah cinta itu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Jujur saat ini aku tidak siap kehilanganmu. Walau seperti apa pun keadaanmu aku siap menerima, entah itu disetujui orang tua atau tidak. Entah Ayana anakmu atau tidak.”
“Sekarang apakah mas percaya padaku?”
“Maaf telah membuatmu menangis sepanjang waktu. Maaf atas semua sikapku yang kurang dewasa, maaf—,” kuletakkan jariku di mulutnya dan menggeleng.
“Apa yang kau lakukan juga menjadi tanggunganku mas, tidak ada lagi aku atau pun kau yang ada adalah kita. Bagaimana dengan orang tuamu mas?”
“Berikanlah mereka waktu untuk berfikir. Besok kita pulang ke rumah kuharap kau siap menghadapi sikap ibuku.”
“Dan bisakah kita pulang ke rumahku? Aku rindu orang tuaku.”
“Baiklah, aku sudah siap menghadapi orang tuamu. Aku ingin minta maaf.”
“Alhamdulillah. Kita akan mengunjungi makam ayahku dan meminta maaf pada ibu setelah melihat ibumu.”
Senyum itu memudar, tapi aku tetap berusaha memberikan senyum terbaikku. Rengkuhannya merobohkan dinding itu, Ya Allah maafkan aku. Biarlah kami menangis bersama untuk hari ini.
***
(21/2/2013)
Dari: Ima (Sepupu)
Kepada: Tamaka
Mbak, Pak De meninggal subuh jam 04.00, jantung katanya. Segeralah pulang, kasihan budhe dan Ayana.
(22/2/2013)
Dari: Tamaka
Kepada: Ima (Sepupu)
Salam hangat dan sayang
Ibu maafkan anakmu yang tidak bisa pulang ini, setidaknya hanya doa yang dapat kukirimkan untuk mengiringi kepergian ayah. Maafkanlah anakmu yang sekiranya telah durhaka kepada kalian, seandainya ada waktu dan keajaiban aku pasti akan pulang. Janganlah menungguku.
Tolong bilang ke ibu, aku minta maaf.
NB: Kenangan cerita Mb. A yang bertemu di kereta jurusan Malang-Suarabaya.
Jogja, Desember 2016
Salam sayang dari keluarga D.