Juni dan haji 2022 memiliki hubungan istimewa. Ibarat kasmaran sedang sayang-sayangnya. Bagaimana tidak? Setelah dua tahun sempat tertunda, ibadah haji akhirnya dapat terlaksana kembali.
Kerinduan bertemu dengan tanah suci di depan mata. Satu per satu kloter pemberangkatan telah bersiap bertamu di tanah suci. Walau pelaksanaan ibadah haji sendiri terlaksana di bulan Juli, segala persiapan sudah berlangsung mulai bulan-bulan sebelumnya.
Dapat dipastikan, pengurangan jumlah kuota tak mengurangi ibadah ini.
Yang berbeda dari tahun sebelumnya, ada kriteria khusus setelah pandemi. Salah satu hal pasti mengenai pembatasan umur, harus di bawah 65 tahun. Pun untuk yang memiliki riwayat penyakit tertentu, seleksinya lebih ketat.
Bapak dan ibu mertua termasuk dalam golongan beruntung. Di antara daftar calon, mereka tercatut di sana. Berdua.
Mendengar keberangkatan mereka, saya pun tergelitik untuk bertanya ke suami.
“Pak, kapan giliran kita ya?’
“Aku tak mau berhaji, Bu.”
Mendengar jawaban itu saya pun heran. Siapa sih yang tidak mau menggenapi rukun Islam itu? Padahal bapak dan ibu mertua juga mendukung rencana itu kalua suami mau. Kenapa? Kalua dilihat dari keuangan, insyaAllah masih cukup untuk merencanakannya.
Memaknai Haji Secara Utuh
Haji sebagai proses melengkapi rukun Islam. Berbondong-bondong umat Islam dari seluruh dunia mengunjungi Baitullah (Ka’bah) dengan melakukan serangkaian ritual yang memiliki keutamaan dan makna spiritual/ ibadah.
Menyoroti kata ibadah, tujuan dari berhaji tentu saja untuk semakin dekat pada Allah. Ibadah ini bersifat personal. Namun, dalam lingkup massyarakat desa ada pemaknaan lebih luas. Selain mampu menyempurnakan agama islam, “haji” memiliki tahta tersendiri.
Haji dianggap sebagai orang yang mampu memimpin doa dalam sebuah pengajian misalnya. Pun dalam eknomi haji dianggap orang berada dan kaya. Haji juga harus mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Status haji memiliki prestige dan meningkatkan stratifikasi di lingkungan sekitar.
Sebenarnya, proses pemaknaan Haji yang perlu kita ketahui itu seperti apa?
Pertama, ibadah haji dimulai dengan berihram. Berniat menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Di Miqat Makani (tempat ritual ibadah haji dimulai), perbedaan, strata dan kekayaan ditanggalkan. Semua memakai pakaian sama.
Tujuan utama ke sana hanya untuk mendekatkan diri pada Allah. Pun dari keterbatasan ini, diharapkan manusia dapat menyadari kelemahan dan keterbatasannya sehingga dapat melakukan tanggungjawab sepenuh hati.
Kedua, pakaian ihram juga sebagai peringatan sekaligus menahan diri dari nafsu. Selama ibadah haji, ada aturan yang perlu ditegakkan. Di antaranya; dilarang menyiksa binatang, membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Dilarang pula menggunakan wangi-wangian, menggunting rambut dan kuku, bercumbu atau kawin, dan berhias.
Ketiga, Memaknai ka’bah secara keseluruhan. Dimulai dari mengenal sejarahnya dan mengenali apa yang berada di sana.
Hijr Ismail (pangkuan Ismail). Di sanalah Ismail (sang pembangun ka’bah), berada dalam pangkuan ibunya—Siti Hajar. Seorang budak sekaligus istri kedua nabi Ibrahim, yang konon makamnya pun berada di tempat itu.
Melihat kedudukan yang begitu istsimewa, hal ini membuktikan kalau Allah tidak melihat seseorang dari keturunan atau status sosialnya. Namun, semata-mata karena kedekatannya kepada Allah SWT.
So, ini bisa jadi refleksi diri.
Keempat, tawaf menjadikan pelakunya larut dan berbaur untuk mengitari ka’bah. Hal ini memberikan kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama, yakni mengharap rido Allah SWT.
Kelima, sedangkan Sa’i untuk mengenang perjuangan Siti Hajar dalam memperjuangan hidup di tengah padang pasir setelah ditinggalkan Nabi Ibrahim. Sendirian. Ia harus berserah diri pada Allah demi menghilangkan dahaga bayinya—Ismail. Dari sini pulalah nanti akan lahirnya cerita mengenai air Zam-Zam.
Keenam, dari Arafah, jamaah menuju Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dalam menghadapi musuh utama yaitu setan. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat kita. Ibaratnya sebagai simbol perjuangan menghadapi setan.
Mina menjadi tempat jamaah haji melampiaskan segala emosi mereka terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialami.
Segala proses yang ada, menggambarkan peyucian diri. Namun, kenapa bisa salah kaprah?
Tradisi Tak Sepenuhnya Mengayomi
Salah satu alasan suami balik badan dan lebih memilih menggunakan uang untuk membantu sesama tentu saja mengenai jumlah uang yang harus dikeluarkan demi prentilan selama proses haji. Salah satunya penyelewengan makna”tasyukuran” itu.
Tasyukuran di sini bermakna acara sebagai ungkapan syukur yang mengiringi keberangkatan hingga kepulangan haji.
Yah, entah salah atau benar, keputusan suami dan apa yang dilakukan setidaknya memberikan pandangan baru. Menurut suami, haji itu baik. Namun, bukan pilihan akhir. Apalagi jika tujuannya untuk sekadar memenuhi tanggungjawab hidup dan untuk meningkatkan status di masyarakat.
Di desa, seperti tempat tinggal mertua. Ada banyak acara sebelum berangkat dan setelahnya. Bahkan, di sela proses yang ada, tuan rumah masih harus menjamu orang yang melekan istilahnya.
Entah mulai dari mana semua ini berasal. Haji dianggap sebagai sesuatu yang langka. Tasyukuran dan lainnya dianggap sebagai upaya untuk sujud syukur sekaligus bersedekah. Selain itu, untuk mendoakan yang berhaji agar selamat.
Sayangnya, pemaknaan itu semakin bergeser. Ada kalanya tasyukuran menjadi ajang untuk unjuk diri. Ibaratnya, prosesi yang mengiringi itu lebih diutamakan padahal dekat pada pemborosan. Belum lagi kalau yang mengalami itu adalah orang tua dengan dana terbatas.
Status dengan jumlah uang yang dikeluarkan memang tak bisa diabaikan. Namun, akan menjadi masalah saat pengorbanan yang dilakukan tak masuk akal. Pernah sekali waktu, di desa ada yang melakukan acara tasyukuran haji dengan menjual sawah.
Lahan yang seharusnya mejadi penyambug hidup harus dilepas. Kalau Sobat bertanya mengenai nasib orang itu, ia sampai sekarang masih hidup. Bertahan dengan belas kasih dari saudara dan tetangga, sedangkan sang anak merantau ke kota.
Mari kita selami bersama. Haji diniatkan menyucikan diri, sayang sekali jika harus ternoda oleh prosesi yang ada. Haji yang sekiranya meringankan hati, justru memberatkan hidup.
Di sisi lain, itu menjadi potret betapa pentingnya acara ini di masyarakat kita. Haji tak afdol tanpa tasyukuran. Jadi, orang yang melakukan haji bisa dianggap berhutang pada masyarakat bila “melewati” proses tasyukuran itu.
Prentilan Acara Haji
- Sowan kepada tetua desa/ kyai atau kepada orang yang dituakan. Selain berpamitan juga meminta doa.
- Acara syukuran sebelum berangkat, bisa berupa aqiqoh ulang. Apalagi bagi orang tua yang mungkin telah kehilangan akan ingatan masa kecil mereka. Ada keraguan, apakah mereka pernah aqiqah atau belum. Perkiraan jumlah 100 orang. Bapak (2) dan ibu (1) kambing.
- Pengajian dari kelompok ngaji perempuan ibu-ibu atau laki-laki/ bapak-bapak. Jika perempuan mendekati angka 50, bagi kelompok pengajian laki-laki sekitar 30 orang.
- Pengajian seminggu sekali selama mereka berhaji. Perkiraan 6x dengan undangan sekitar 30-40 orang.
- Sambutan penerimaan haji.
- Dan masih banyak lainnya, jika dijumlahkan total keseluruhan biaya itu sebanding dengan biaya pernikahan. Bahkan, jika tamu terbilang 2000 lebih, angka ini dapat membengkak lagi!
Proses Tasyukuran Utama
Persiapan tasyukuran, dimulai saat keluarga si Haji/ Hajjah dibantu tetangga. Mulai dari acara kecil hingga puncaknya, untuk menyambut kepulangan.
Dari lingkungan terdekat, keluarga mendapat suplai tenaga seperti memasang tenda/ tarub, membersihkan tempat, menata kursi dan meja, memasak, membungkus souveir, dan mencarikan grup rebana untuk penyambutan. Serta membantu dari segi materi seperti bahan makanan dapur, gula, teh, telur atau biskuit.
Tasyukuran puncak dimulai ketika Haji/ Hajjah tiba di rumah. Keluarga, sanak keluarga dan tetangga menyambut diiringi rebana. Ada sepatah/ dua patah kata dari Haji/ Hajjah. Setelahnya, ada doa, wejangan dan makan-makan pun dimulai. Biasanya berlangsung seminggu ataukah selama masih ada yang datang.
Kedatangan tamu sebanding dengan bingkisan atau souvenir yang keluar. Souvenir ini ada nilainya, semisal keluarga dekat/ orang yang sebelumnya titip. Titip dimaksudkan mereka memberi amplop ataukah sesuatu sebelum keberangkatan haji.
Secara spesial, mereka diberi mukena/ sajadah, air zam-zam dan oleh-oleh. Tetangga berupa tasbih, oleh-oleh dan air zam-zam. Pun yang lain disesuaikan dengan kedekatan.
Lamanya waktu kunjungan berlangsung sesuai dengan jumlah tamu, pemberian doa, dan sesi cerita pengalaman selama di sana. Sembari mendengarkan pengalaman selama berhaji, tak lupa ada camilan, air minum, serta makanan yang keluar. Rawon, bakso, soto atau sate menjadi menu utama. Karena sekali masak bisa dalam jumlah banyak.
Hukum Tasyukuran Haji dalam Islam
Ketika saya mengkonfirmasi apa yang dirasakan mertua ketika meneluarkan uang. Mereka hanya tersenyum, rasanya hanya rasa tidak percaya dan bahagia. Mengingat perjuangan dan penantian mereka, semua itu memang layak dikeluarkan.
Namun, ada sisi ketakutan juga. Jika apa yang mereka lakukan berlebih, bagaimana dengan hidup mereka setelahnya. Anak perempuan satu-satunya belum menikah, sekolah pun belum tuntas.
Jadilah, jalan tengah diambil. Dalam menyambut tamu dan melakukan prosesi yang ada, tak berlebih. Memberi semampu mereka, sesuai keuangan yang telah direncanakan.
Kembali pada pemaknaan tasyukuran yang dianggap sebagai sarana penyalur kebahagiaan. Yah, walau uang yang dikeluarkan harus menipiskan tabungan, tak ada raut keberatan. Apalagi setelah semuanya didiskusikan dengan anak dan keluarga.
Ibadah haji memang istimewa. Tidak semua orang mampu melakukannya. Karena itu, ada istilah panggilan khusus dari Allah SWT. Di samping itu, ibadah haji merupakan ibadah yang paling banyak menguras finansial.
Sejatinya, bagaimana sih hukum melakukan tasyukuran haji itu?
Jika melakukan tasyukuran sebagai ungkapan kebahagiaan, itu menjadi sesuatu yang dianjurkan. Syekh Muhyiddin Abdus Shomad dalam kitabnya Al-Hujaj Al-Qat’iyah fi Shihhati; Mu’taqidaati wa Amaliyaati an-Nahdliyah.
“Disunnahkan bagi orang yg haji setelah pulang ke negeranya untuk menyembelih unta, sapi atau kambing untuk di berikan kepada orang fakir, miskin, tetangga dan saudara. Hal ini untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana di kerjakan oleh Rasulullah SAW.”
Dalam kitab Shohih Bukhori
“Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwasanya Nabi Muhammad SAW ketika kembali ke Madinah menyembelih kambing atau sapi.”
Keputusan tetap di tangan ya! Mau ibadah haji atau tidak, bergantung dari keyakinan hati. Selama diniatkan untuk Allah SWT akan diberikan jalan terbaik dalam hidup kita.
Pun bagi yang berhaji, kembali luruskan hati. Jangan sampai makna haji terkikis karena niatan tersembunyi yang kita lakukan. Tasyukuran ada karena memang diperlukan, bukan sebagai ajang kemewahan apalagi pencitraan.
So, bagaimana di tempat Sobat semua?
Adakah tasyukuran haji? Seperti apa kegiatannya
Yuk, sharing dan komen untuk berbagi.