“Mak, sudah zuhur. Waktunya salat!”
Jum menyibak tirai pintu kamar Mbok Darmi, tetapi perempuan bungkuk berusia lebih dari setengah abad itu tak terlihat. Jum mulai panik, tanpa menghentikan panggilan, ia mencari setiap bagian gubuk yang sebagian sisinya sudah bolong dimakan rayap.
Ini bukan kali pertama Mbok Darmi lenyap begitu saja, pikun seringkali membuatnya berjalan tak tentu arah, kemudian lupa jalan pulang ke rumah. Pernah suatu kali, Jum mengunci Mbok Darmi dari luar karena ia mau ke pasar. Nyatanya, si Mbok yang telah melahirkannya itu tetap bisa keluar dan berkeliaran di jalan. Beruntung ada orang yang mau berbaik hati menuntunnya kembali ke rumah.
“Jum, si mbokmu….”
Belum genap Adi menyampaikan maksud kedatangannya, Jum berlari dari dalam rumah dan menuntun Mbok Darmi ke teras sembari membersihkan serpihan debu dan daun yang menempel di jarit.
“Ketemu di mana Kang?”
Sembari menatap Mbok Darmi yang terduduk di lincak, Adi yang juga penjaga musala bercerita. Ia menemukan Mbok Darmi terduduk di depan musala sembari mencabut rumput.
Jum mengembuskan napas berat setelah melihat wajah Adi, “Lalu apalagi Kang?”
“Ia mengancam orang kerja bakti dengan pisau.”
Tatapan mata Jum tak mampu berbohong, ia tersipu malu sekaligus menyimpan amarah. Ah, Jum tak habis pikir, dari manalagi emaknya itu mendapat pisau. Padahal ia sudah menyembunyikan satu-satunya pisau di lemari.
“Maaf, ya Kang.”
“Hati-hati Jum, siapa tahu ia nantinya menyakiti orang lain,” ujar Adi sebelum berpamitan.
Jum sudah jengkel. Sikap Mbok Darmi semakin menjadi. Perampokan yang merenggut nyawa bapak mereka sudah berlalu puluhan tahun lalu. Nyatanya waktu tak mampu mengobati rasa kehilangan Mbok Darmi.
Dulu, Mbok Darmi mampu menyembunyikan kesepiannya dengan bekerja di sawah. Namun, seiring berjalannya waktu, tenaganya tak dipakai lagi. Sejak sering di rumah itulah, Mbok Darmi mulai bicara sendiri.
Kadang tetangga menyebutnya orang gila. Jum pun tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa meneruskan pekerjaan emaknya dan kadangkala menerima laporan dari tetangga. Sejak itu pula, di mana pun dan ke mana pun, Mbok Darmi terkenal karena selalu membawa pisau.
=====
“Min, aku titip si Mbok dulu.”
Minah tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. “Kau mau ke mana?”
“Aku mau ke rumah Mas Yanto dan Mbak Ratri, siapa tahu ada yang bisa dilakukan untuk membantu si Mbok.”
Minah terlihat ragu tetapi Jum segera menyelipkan amplop. “Aku tahu kau butuh uang untuk pengobatan adikmu, pakailah tetapi aku nitip si Mbok beberapa hari.”
“Dari mana kau dapat semua ini?”
“Ini tabungan sekaligus uang dari saudara yang kukumpulkan.”
Minah terlihat ragu, di satu sisi ia tahu sulitnya menghadapi Mbok Darmi, di sisi lain bayangan Anton di atas kasur karena kecelakaan beberapa minggu lalu menyayat hati. Kaki adik semata wayangnya itu patah, pengobatan yang dilakukan hanya ke sangkal putung dan itu pun tak membuahkan hasil.
Jum kembali meyakinkan Minah, “Cukup kau beri makan si Mbok, temani ia di rumah, tengok kalau malam, apakah ia tidur ataukah berkeliaran lagi. Aku janji dalam tiga hari aku akan pulang.”
Minah menampik uluran tangan Jum.
“Seminggu lagi puasa, seperti yang kau tahu Bupati akan melakukan buka puasa keliling dan desa kita ini yang pertama mendapatkannya. Aku tak mau emak mengacau acara itu. Kemarin Pak Dukuh sendiri yang mengatakannya, kalau sampai ada kekacauan, ia terpaksa memasukkan emak ke dinas sosial karena dianggap membahayakan.”
Kali ini Minah tak mampu menolak, tetapi ia juga tak menyetujuinya secara lantang. Namun, Jum sudah menganggap itu sebagai perjanjian.
=====
Kedatangan Jum ke rumah Yanto menyisakan kehampaan. Menurut tetangga, mereka sedang berlibur. Lebih tepatnya untuk merayakan liburan panjang yang bertepatan dengan awal Ramadan.
Jum duduk di pos ronda tepat di sebelah rumah Yanto. Raga yang mendekati kepala empat itu mudah lelah. Dengan tangan gemetar, ia menghirup inhaler perlahan. Sesekali ia memejamkan mata dan berdoa, semoga asmanya tak kambuh.
Pun untuk merilekskan tubuh, Jum menggali ingatannya di masa kecil. Dulu, ketika masih tinggal bersama, Yanto yang paling malas untuk sahur. Mbok Darmi selalu sabar mengingatkannya.
“Nanti kamu ndak kuat dan lemes Yan, apalagi di ladang kerjaanya berat dan panas.”
Perkataan tinggalah angin lalu dan benar saja Yanto sudah terkapar ketika jam makan siang. Ia pun terpaksa harus membatalkan puasa.
Kenangan demi kenangan semasa kecil terputar begitu saja. Tanpa disadari air mata Jum sudah membasahi pipi. Tak ada yang abadi, di balik tembok rumah kakaknya itu tersimpan keangkuhan dan juga rindu yang sulit dilelehkan.
Yah, walau tahu harga diri Yanto tinggi, Jum menyelipkan surat yang berisi kerinduan emaknya di bawah pintu rumah bercat hijau itu sebelum pergi.
=====
“Rumah Yanto kosong?” Ratri seakan memahami pilihan sang adik. Semua pasti ada alasan. Tak mungkin ia pergi, kemarin ia di rumah dan mereka masih berbincang santai di telepon.
“Mbak, tidak bisa membawa emak ke sini?”
Jum menceritakan setiap detail yang terjadi. Pun dengan ancaman Pak Dukuh. Ratri tak memberikan sepatah kata, ia hanya memandang setiap sisi warung. Usaha itu baru mulai, ia tidak bisa mengacaukan perjuangannya dengan membawa sang ibu yang sudah setengah waras.
Ratri menggeleng, sesekali tangannya mengetuk meja kemudian ia menatap Jum tajam.
“Kalau kau tak sanggup mengurus ibu, bagaimana kalau dikirim ke panti jompo saja?”
Jum tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Untuk sesaat ia ragu dan juga tak bisa berkata-kata. Entah apa yang merasuki kakaknya itu.
Mbok Darmi memang telah berbuat salah. Ia tega memanjakan diri dari lelaki satu ke lelaki lain tanpa peduli akan kehidupan mereka bertiga.
“Kau tega, Mbak?”
Ratri kembali menegaskan perjuangan sang bapak hingga harus dirampok ketika pulang bekerja tengah malam.
“Itu semua demi siapa? Di saat bapak meregang nyawa, ibu di mana? Ibu tega kepada kita, kenapa sekarang kita harus bertindak layaknya anak berbakti?”
Jum semakin pusing. Jalan yang dipilih mengalami kebuntuan. Ia pun menghirup inhalernya lagi dan beristighfar untuk menekan hatinya yang kian memanas.
=====
Kepergian Jum ternyata lebih lama dari rencana awal. Dengan memikirkan berbagai pertimbangan, ia mencari rumah petakan untuk dikontrak. Pun Jum juga mendatangi beberapa panti jompo untuk sekadar survei.
Di malam tarawih pertama di bulan Ramadan, Jum akhirnya pulang ke desa. Ia ke rumah Minah untuk memberikan oleh-oleh sekaligus sebagai ungkapan maaf . Namun, belum genap kaki melangkah ada kerumunan di depan rumah sahabatnya itu.
Banyak orang berkerumun diselingi teriakan takbir. Ternyata Pak Bupati tarawih di musala dekat rumah Minah. Ah, entah kenapa orang nomor satu di kota mereka itu datang lebih awal. Sekilas Jum dapat melihatnya di antara puluhan lelaki asing yang berjamaah di musala.
Seketika Jum teringat emaknya. Ia pun memelipir ke rumah. Gelap, beruntung ada senter dari ponsel yang membantu penglihatannya.
Jum tergesa menyusuri tempat penyimpanan kunci, tidak ada. Hanya ada kertas di sana. Kemudian dengan cepat, dada Jum berdegup kencang.
“Emaaak!” Teriakan Jum menggema dalam kegelapan.
Dingin, seakan tak pernah dihuni, rumah itu tak memiliki tanda kehidupan. Jum mulai gemetar, bayangan sang emak tergeletak dan tak diurus membuatnya bersalah. Seandainya ia tak pergi, seandainya ia tetap menjaga dan seandainya ia tak menitipkan pada orang lain tentu saja semua ini tak akan terjadi.
“Bagaimana kalau mereka berbuat jahat?” Pikiran Jum tercemari ancaman dan juga perkataan saudara-saudaranya.
Tiba-tiba, langkah kaki Jum tersendat, napasnya tiba-tiba tercekat di kerongkongan. Anak bungsu yang merindukan emaknya itu menggelosor tak keruan. Ia berusaha menggapai obat asma di dalam tas. Namun, tak ada tenaga yang tersisa.
Dada Jum semakin sesak, dadanya naik turun tak beraturan dan cepat. Ia tak mampu bergerak lagi. Angan untuk masuk rumah dan tidur di pangkuan Mbok Darmi terpatahkan begitu saja.
“Emaaak … maafkan Jum,” rintihnya pelan.
Tangan Jum lemas, ponsel terlepas. pun dengan kertas tadi. Kini kertas di tangannya telah lecek dan tergeletak begitu saja.
Emakmu tinggal di rumahku. Pak RT dan Pak Dusun datang meminta maaf, sekarang ada layanan untuk lansia dari pemerintah. Kau tak perlu khawatir lagi. Di desa kita akhirnya ada kumpulan untuk lansia. Cepat susul ya, si Mbok terlihat bingung ia memanggil namamu, Yanto dan Lastri terus setiap hari.
Sayang, Jum tak melihat isi kertas itu. Pandangannya hanya tertuju pada pintu, tempat di mana Mbok Darmi biasa menyambutnya setelah bepergian.
Bantul, 18 Maret 2022