Prolog
Perempuan itu berlari tanpa menghiraukan sekeliling. Menabraki setiap orang yang menghalangi jalannya. Tergesa-gesa ia menutupi pergelangan tangan menggunakan ujung kain. Mata coklat kelabu bersembunyi di balik helaian rambut panjang, menyiratkan kebimbangan dan ketakutan. Sesekali ia menengok ke belakang. Para pengejarnya tampak semakin dekat.
Baru beberapa jam lalu ia bersalin. Melahirkan bayi yang ia sendiri tak tahu harus diapakan dan bagaimana. Kelebatan cerita hidupnya melintas sesaat. Membuatnya limbung dan kehilangan keseimbangan. Ia ingin bumi terbelah dan menelannya bulat-bulat. Menyelamatkannya dari seluruh kehinaan serta nista yang menimpanya malam itu. Dirasakannya berat pisau di dalam saku daster. Tekadnya membulat untuk segera mengakhiri kesakitannya.
Hingga sesuatu bergerak dalam gendongannya. Sesuatu yang hidup, yang sesaat lalu ia lupakan. Tanpa mampu ditutupi, jari-jemari putih pucat menyembul dari balik kain. Sesekali mengepal kemudian bergoyang. Perlahan tapi pasti, gerakan itu semakin kuat kemudian diikuti anggota tubuh lain. Dalam keheningan suara― tangis bayi pecah!
Perempuan hilang akal itu menggenggam erat gagang pisau dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Ikut Ibu, ya, Nak. Bersama kita akan pergi dari sini. Ibu… menyayangimu.”
“Marni, hentikan! Kumohon.” Aya terengah berusaha membujuk Marni.
Marni menatap nanar Aya. Tangannya yang memegang pisau, mulai bergetar.“Maafkan, aku.”
Proses Pembuatan Novel Romantika di Balik Pintu IGD
“Saya pernah hamil di luar nikah, Mbak.”
Kalimat itu keluar dari sahabat sekaligus adik tingkat yang selama ini saya kenal sebagai panutan. Ama, begitulah panggilan kesayangan dari keluarga dekat. Ayahnya seorang pemangku desa yang disegani dan dituakan, sedangkan sang ibu bekerja sebagai pendidik.
Ama memiliki kakak seorang perempuan. Hubungan mereka tidak terlalu baik. Selain karena keahliannya berbeda, juga karena prestasi yang selama ini Ama dapatkan. Seperti kebanyakan orang tua di desa yang mengukur kepandaian anak dari nilai, orang tua Ama pun berpikiran serupa.
“Saya sering mendapat nilai di batas bawah dalam pelajaran eksak, sedangkan yang lain dianggap tidak penting.”
Di awal persahabatan kami, saya mengenalnya sebagai pribadi yang supel dan menyenangkan. Walau memiliki paras ayu nan rupawan, ia tak sombong dan juga bersedia berteman dengan siapa pun. Temasuk dengan saya yang pas-pasan ini.
Pas butuh uang, ada. Pas ingin makan burger, dibelikan teman. Pas ingin main ada yang mau antar. Halah malah melantur ke mana-mana.
Kami berteman sejak SMP, tetapi harus berpisah menjelang SMA. Pertemuan berlanjut setelah saya kuliah di Malang dan ia pun demikian. Di saat itulah kami mulai betukar cerita dan pikiran, pun dengan masa lalunya yang kelam.
“Wis kadung ndak iso dibaleni.”(Sudah terlanjut, tidak bisa diulang.) Senyum yang biasanya memiliki nyawa kini terasa hambar.
Ama seorang gadis polos, kepercayaannya dimanfaatkan oleh lelaki yang tidak bertanggungjawab. Belum genap ia bangkit dan mencoba menerima keadaan, satu persatu keluarganya diambil oleh Sang Pemilik Nyawa.
Dimulai dari sang ayah yang terkena serangan jantung tepat setelah berita kehamilannya terdengar. Di lain waktu, kecelakaan sang kakak yang mengakibatkan kematian. Keluarga Ama tinggal sang ibu dan janin dalam kandungannya.
Ketegaran Ama memang perlu diacungi jempol. Ada hal yang harus ia relakan demi menjaga dan merawat sang ibu. Pun untuk kuliah, ia tak lagi mengandalkan uang pensiun ibunya, Bekerja sebagai guru privat dan membantu skripsi teman, Ama lakoni demi biaya hidup dan pengobatan sang ibu.
Tidak berbeda jauh dengan Ama, Ita pun juga hamil di luar nikah. beruntung, sang pacar rela bertanggungjawab. Namun, kehidupan pernikahannya memang tak bejalan mulus, ada perselingkuhan di sela hamil tua.
Kedua perempuan ini memiliki cobaan berat, tetapi mereka memberikan kesempatan kedua bagi orang yang pernah menorehkan luka di hati.
Kalau saya? Entahlah apa sanggup atau tidak!
Belajar dengan Membaca
Cerita yang bagus bergantung dari penuturan si penulis, itulah yang masih menjadi kendala. Segala sesuatunya perlu dimulai, tetapi saya masih bingung apa langkah yang harus dilakukan. Apakah dimulai dari belajar tanda baca, belajar membuat alur ataukah belajar merangkai kata yang tepat dan berperasaan.
Di saat itulah, saya mengenal KBM, sebuah grup kepenulisan yang diasuh Bunda Asma Nadia dan Pak Isa. Bermula dari satu kelompok kepenulisan, saya hinggap dan menyerap ilmu dari kelompok lain. Hingga saya nyaman di NAD Nulis Aja Dulu).
Membaca memang memberikan ide dan juga pemikiran yang lebih beragam, tetapi belum menjamin kemampuan menulis akan bekembang pesat. Berlatih adalah jalan ninja yang harus terselesaikan. Tanpa menulis apalagi mendapat kitik dan saran, kemampuan kita tak akan teruji.
Saya sempat menyerah dan mengambil jalur belakang, dengan modifikasi 3M (Mengamati, Meniru dan Memodifikasi) yang lebih dekat dengan plagiasi. Dari sanalah saya merasa kapok dan jengah.
Sejak saat itu, saya lebih memilih menulis seadanya dan mengikuti berbagai seminar kepenulisan. Selain untuk upgrade diri juga sebagai bekal menulis ke depannya.
Tokoh dalam Novel Romantika di Balik Pintu IGD
Ayana merupakan potret Ama. Walau tak selalu identik, ada sisi Ama yang memang saya tekankan padanya. Ia penakut, tetapi dari sisi kelemahannya itu ada usaha untuk bangkit. Di sinilah kebaikan Ayana mulai menyentuh hati orang-orang di sekitarnya.
Pemeran lelaki saya beri nama Langit, ia seorang pemuda pandai tetapi keras hati. Seorang lelaki yang rupawan, tetapi sulit digapai. Dalam kehidupan masa kecil, ia tidak mendapat perhatian layaknya seorang anak. Ayah yang telah berselingkuh, pun dengan kehidupan malam ibunya. Cinta menjadi prioritas ke sekian sebelum ketemu Ayana.
Hubungan Ayana dan Langit diwarnai dengan adanya Rama dan Rea. Pasangan kedua ini memiliki hubungan yang juga unik. Rama seorang pendiam yang berkebalikan dengan sikap Rea yang jauh dari kata feminism.
Ramon, Tara, dan Nisa menjadi tokoh penyulut permasalahan yang ada. Belum lagi sosok abah dan ummi yang memang memiliki sikap berwibawa dan bijaksana.
Semuanya saling terkait dalam mencari cinta. Ada yang berusaha dengan jalan mendekatkan diri pada Ilahi, ada juga yang berpatok pada kebutuhan duniawi. Semua memiliki konskuensi dan ada harga yang harus dibayar.
Sebagai latar tempat tejadinya cerita, saya memilih rumah sakit. Kenapa IGD? Di sanalah saya mendapat kesan mendalam akan pentingnya pertolongan petama itu. Di ruangan ini pulalah saya mendapatkan skill yang banyak, salah satunya menyuntik, memasang kateter, memasang infuse, EKG jantung dan melakukan sunat.
Selain terkesan akan pengalaman, saya juga mudah mengenali dokter dan perawat yang biasa mangkal di sana. Semua memiliki cerita dan rahasia yang kadang saling digunjingkan (Ini bukan untuk ditiru!). Salah satunya mengenai percintaan dokter dan perawat.
Hikmah dari Kesempatan Kedua
Setiap oang ingin memiliki kesempatan kedua. Namun, kesempatan itu tak selamanya ada. Hanya orang pilihan yang bisa mengambilnya. Kasarnya harus ada izin Ilahi untuk bisa mendapatkannya.
Inilah fokus utama yang ingin saya tekankan!
Siapa sih yang tidak pernah berbuat salah?
Siapa orang yang bisa menjamin kebenaran yang dipegangnya?
Inilah kesalahan yang sering disepelekan.
Bagaimana kalau kita sudah telanjur hamil tanpa adanya tanggung jawab dari pihak laki-laki? Apakah kita bisa memaafkan orang tersebut?
Hal yang bisa disoroti salah satunya mengenai trauma yang ada. Segala sesuatu yang berlebihan dan menyakitkan membuat hati, pikiran dan jiwa kita terluka. Kalau membekas, inilah yang akan menggerogoti kepercayaan dan semangat hidup kita.
Trauma semacam ini menjadi parassit. Kadang, bisa membuat orang untuk mengedepankan kematian. Padahal, tidak ada yang mutlak di dunia ini. Segala trauma bisa disembuhkan dengan izin Allah. Inilah yang tekadang kita lupakan.
Diri sendii merasa tersakiti dan hina seakan menjadi makhluk yang paling menderita. Padahal sebaliknya, siapa tahu ini jalan untuk mendapat perhatian dari Allah dan membuat kit alebih kuat dan kokoh.
Selain dari cerita, ini juga pengalaman pertama menulis sebuah novel yang panjang. Butuh waktu 2-3 tahun untuk percaya diri dalam mengunggahnya.
Bagaimana dengan penjualannya Mbak? Alhamdulillah ada yang beli. Walau belum sebanyak penulis lain ini menjadi tombak untuk menancapkan rasa percaya diri. Ada rekam jejak bagaimana perjuangan dan juga kesulitan dalam menjualnya.
Nano-Nano Memiliki Buku
Sebagai penulis yang telah menyelesaikan tulisan, membuat jadi buku salah satu jalan yang dipilih. Selain sebagai bukti eksistensi diri juga sebagai proses untuk melatih keahlian. Setelahnya, ada pengalaman dan tantangan dalam penjualan.
Disinilah saya merasa menganak tirikan tulisan sendiri. Sampai sekarang pun, saya masih mencoba untuk membangun benteng kepercayaan diri itu. Yah, walaupun tidak mudah setidaknya ada kebanggan yang tercipta.
Semoga bermanfaat!