Sharing Orang Tua dan Guru Pengampu: Sekolah Anak ADHD

Murid saya ada yang didiagnosis ADHD, sebut saja A. Kebetulan saya mengajar di salah satu TK. Orang tua tahu akan kondisinya. Ia juga diikutkan terapi. Bahkan, saya juga sudah melakukan homevisit ke rumah A agar tahu lebih detail bagaimana pola asuh di rumah. Memang perilaku A di sekolah atau di rumah hampir sama. Saat itu, terjadi diskusi dan orang tua pasrah menitipkan anaknya.

Saya sempat menyarankan kepada kepala sekolah untuk memberitahu orang tua A agar mencari sekolah yang lebih mendukung perkembangan anak A. Namun, kepala sekolah menolak dan menganggap kalau anak itu masih bisa ditangani. Ia menganggap pengalamannya selama puluhan tahun mengajar di TK mampu mengatasi hal itu.

Nyatanya, sebagai guru lulusan Psikologi yang mengampu anak A, saya merasa kewalahan. Ia bisa berteriak kapan saja. Memukul teman sembarangan, tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Kalau marah bisa teriak atau melempar sesuatu. Tidak jarang menyakiti teman-temannya. Duduk tak mau. Apalagi mendengarkan perkatan saya.  Perhatian saya lebih tercurah padanya dari pada belasan anak lain di kelas.

Pernah sekali waktu, ia diliburkan karena mengganggu temannya yang belajar. Namun, tatkala diberi kesempatan lagi untuk masuk, perilakunya masih sama. Ada orang tua yang komplain, tetapi kepala sekolah masih menganggap kalau hal seperti itu tidak perlu. Namanya anak-anak pasti ada masanya seperti itu.

Sekelumit cerita di atas, saya dengar dari salah seorang tetangga di perumahan yang juga berprofesi jadi guru. Sebagai warga baru, saya mulai berkenalan dengan tetangga kanan-kiri. Walau tidak ada rencana untuk menetap, setidaknya tahu akan kondisi sekitar di mana suami tinggal. Dari sanalah saya bertamu dengan Bu Guru dan tukar cerita perihal Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD ini.

Mengenal dan Memahami Anak ADHD

Sebagai orang tua yang memiliki anak (ADHD), ada rasa enggan dan ketakutan yang saya rasakan. Tidak hanya untuk kenyamanan anak, tetapi juga untuk orang lain.

Cerita di atas potret kecil dari kelemahan pemahaman kita akan kebutuhan anak ADHD. Ada perbedaan kemampuan dan kebutuhan antara mereka dengan anak biasa seusianya. Dari sisi orang tua, menerima anak kita ADHD dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu tidak mudah lo. Butuh waktu panjang untuk bisa lapang sekaligus refleksi diri.

Apakah ADHD mengganggu? Tentu saja. Tanpa disadari anak dengan ADHD ini mengalami peningkatan aktivitas motorik. Sehingga mereka seringkali berbuat di luar nalar dan cenderung berlebih. Tenaga mereka berlebih karena itu butuh sarana penyaluran yang tepat.

Dari Buku 100 Persoalan Umum Seputar ADHD, ada tiga ciri khusus yang bisa diamati dari mereka:

  • Inatentif

Inilah yang membuat mereka seringkali gagal fokus. Perhatian mudah teralihkan. Terlihat gelisah dan selalu ingin bergerak. Bila memiliki barang mudah hilang atau lupa. Diajak bicara pun tidak bisa memperhatikan lawan bicaranya. Pun bila berhubungan dengan mental, mudah menyerah dengan keadaan. Butuh usaha ekstra untuk dapat menjaga mood.

  •  Hiperaktif

Kalau ini lebih dikenal oleh masyarakat. Anak terlihat gelisah dan biasanya anti duduk/ kursi. Suka dengan kegiatan menantang, seperti naik kursi atau berlari-lari. Sering bereksperimen kemudian membuat berantakan. Tidak hanya tangan dan kaki, mulut pun tak berhenti bicara. Sangat cerewet, banyak permintaan dan alasan. Daya sabar mereka setipis tisu. Sulit antri (lama). Tak jarang, mereka juga menyela percakapan atau permainan.

  •  Impulsif

Inilah yang membuat saya lebih merasa khawatir. Tanpa aba-aba, secara spontan bergerak dan berbicara begitu saja. Emosi anak sering meletup-letup. Berbicara semaunya. Tidak hanya ceroboh dalam melakukan sesuatu, mereka juga bertindak seenaknya. Bahkan tidak jarang menyakiti orang lain. Bersifat agresif. Bertindak tanpa memikirkan konsekuensi.

Beberapa bentuk tindakan seperti di atas membuat anak/ orang di sekitarnya tidak nyaman. Tidak hanya dalam lingkup pertemanan. Di rumah, berhubungan dengan tetangga pun dapat terusik karena daya berisik anak yang membludak. Apalagi kalau di sekolah.

Sharing Orang Tua Sekolah Anak ADHD

Berbekal kondisi anak, saya senang sharing dengan orang tua lain yang memiliki case serupa. Dari mereka, saya tahu. Ada yang masih di fase denial. Menganggap kalau apa yang terjadi pada anak akan bisa sembuh dengan seiringnya bertambah usia. Ada juga yang sudah di tahap menerima. Mau mengikuti terapi, mematuhi dan menerima saran dari sekolah bila anak membutuhkan sekolah khusus. Pun kalau perlu bantuan shadow teacher sudah bukan hal asing lagi.

Yang paling menyenangkan kalau sudah easy going. Terapi ya ayo, anggap saja sebagai liburan keluarga. Berusaha menikmati dalam membersamai anak. Memang bukan hal mudah. Harus meluangkan waktu untuk selalu berkomunikasi dua arah dengan sekolah. Aktif dalam mengajak anak belajar sosialisasi dengan tetangga. Ataukah mendukung bakat anak. Semua dilakukan secara suka cita. Tidak ada paksaan apalagi beban.

Sayangnya, masih ada orang tua yang menolak untuk memeriksakan anak bila ada tanda dan gejala muncul dalam rentang waktu lebih dari 6 bulan. Keilmuan dan daya pengetahuan yang terbatas, sering menghambat perkembangan anak.

Yah, sebagai orang tua dengan anak ADHD, saya merasakan kalau proses untuk menuntuk mereka ke jalan yang semestinyadan sesuai dengan arah yang ia iangin tuju itu tidaklah murah. Maksudnya memilih sekolah, tempat ngaji, pergaulan ataukah daya penunjang seperti kebutuhan IT dan hobi anak itu membutuhkan biaya lebih. Semua membutuhkan perencanaan keuangan.

Masyarakat yang hidup di kalangan bawah tentu saja kesulitan. Hal ini pun dialami oleh salah seorang teman Hakim di desa. Adanya indikasi yang mengarah ke sana, tidak membuat orang tua sang anak segera memeriksakannya. Anak di sekolahkan di sekolah dekat rumah. Bisa dibayangkan bagaimana interaksinya di sekolah. Cap anak nakal, tak bisa diatur, tak tahu sopan santun ataukah pemarah dan bahkan disebut preman TK.

Semua itu secara tidak langsung menjadi bahan perbincangan di antara orang tua lain. Muncullah labelling lagi! Belum lagi kasus bullying yang melibatkan anak itu. Bisa jadi pelaku pada teman sebaya ataukah sebagai korban jika bermain dengan anak yang lebih tua.

Tulisan sebelumnya tentang resolusi tahun 2025 membersamai anak ADHD.

Sharing Guru Pengampu Sekolah Anak ADHD

Sebagai guru pengampu ada masa trial yang harus dijalani. Selain untuk mengukur kemampuan Hakim juga mengetahui kemampuan guru dalam menangananinya. Setelah dua kali masa trial, hasilnya sisa tenaga guru pengampu hanya 25%. Itu hanya menghadapi Hakim, bagaimana dengan kebutuhan anak lain? Jadilah saat seperti itu dibutuhkan bantuan shadow teacher yang setidaknya mengasuh dan mendidik anak paling banyak 3 anak.

Apel hari pertama masuk sekolah-SD Syakila (tempat hakim bersekolah)

Pernah pula di masa TK, guru di sekolah mengatakan secara langsung kalau mereka tidak mampu menangani Hakim. Saat itu, ada rasa tersinggung, marah dan juga sedih. Separah itukah anak saya? Nyatanya, setelah saya lebih legowo dan membuka pikiran ya memang seperti itu. Tidak hanya satu sekolah, ada beberapa sekolah yang pernah Hakim ikuti juga mengatakan hal serupa.

Kejujuran sekolah seperti itu sangat membantu orang tua dalam mengoptimalkan pendidikan anak. Walau menyakitkan, kenyataan memang harus kita hadapi. Sekolah yang tahu akan kapasitasnya tentu tidak akan menuntut anak di luar jangkauannya. Di mana anak ADHD memiliki keterbatasan dalam semua itu. Pembelajaran mereka perlu lebih pelan, sedangkan guru pengampu yang lebih sabar.

Pun sekolah bukan milik personal, ada banyak anak dan orang tua yang memiliki harapan tinggi di sekolah. Kalau karena satu anak dan membuat yang lain tak nyaman tentu menjadi beban tersendiri bagi anak dan orang tua.

Yah, semua pilihan ada konsekuensi. Kalau Sobat pernahkah punya pengalaman berinteraksi di sekolah dengan anak ADHD? 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *