Isu pemanasan global (global warming) sudah terdengar sejak lama. Saat itu yang jelas terasa adalah perubahan iklim (climate change). Drastis, kata yang mampu menggambarkan situasi yang ada. Hujan memiliki masa lebih pendek dengan intensitas lebih daripada biasanya. Musim panas pun berlangsung lebih lama.
Sebagai orang desa, hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup. Salah satu faktornya karena keberadaan air. Air menjadi salah satu bagian penting untuk memasak, minum, mencuci atau untuk mencari nafkah.
Mengenal Krowe
Dalam Renstra* Magetan 2018-2013, permasalahan air dan juga rendahnya kualitas hidup warga menjadi isu pokok perangkat daerah. Dari studi tata guna air, Kabupaten Magetan terjadi deficit air selama 6 bulan sebesar 139 jutam/ 6 bulan. Tahun terparah dapat dirasakan sejak 2019-2020.
*Renstra Adalah suatu dokumen Perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapi dalam kurun waktu 1-5 tahun sehubungan dengan tugas dan fungsi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Di salah satu desa di daerah Magetan—Krowe, Sumber Macan menjadi pusat pengambilan air. Di lansir dari portal desa Krowe, air di sana dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan warga. Selain besar juga selama ini tidak pernah berhenti. Mata air (sumber) ini bernama Sumber Bening dan berada di bawah pohon beringin dekat sungai yang membelah Krowe menjadi beberapa dusun. Di antaranya Duyung, di mana saya tinggal bersama keluarga.
Sumber Air di Desa
Sungai menjadi sumber air utama. Jika musim bersahabat, aliran air bening. Warga desa menggunakannya untuk mencuci, minum, memasak dan juga untuk BAK atau BAB. Pun mereka harus mau berbagi dengan hewan ternak seperti sapi, bebek ataukah kerbau.
Kalau air bisa protes, mereka pasti sudah ngambek dan tak kembali. Wonge podo rakus lan ora gelem jogo kalen.*
*Orang hanya rakus memanfaatkan tanpa mampu menjaga sungai.
Pak Boiran (Tetua Desa)
BAB dan BAK masih di sungai? Begitulah. Kebiasaan sulit diubah. Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa hingga lansia masih dapat dilihat di bawah buk (jembatan) atau sungai yang kebetulan berada tepat di depan atau belakang rumah. Walau zaman sudah maju dan setiap rumah terdapat toilet, kebiasaan ini masih berjalan hingga sekarang.
Musim Penghujan
Musim penghujan menjadi bencana jika di hulu sungai terjadi banjir. Air meluap, pun rumah warga yang berdekatan dengan sungai dapat menjadi santapan air yang mengamuk. Bahkan, sungai yang tergolong lebar dan dalam ini memakan korban dari orang sekitar. Luapan amarah sungai juga dapat meratakan sawah hingga gagal panen.
Bila hal ini terjadi serpihan pohon atau ranting membuat tanaman di sekitar warga mati. Selain itu, juga menyumbat aliran air kolam ataukah sampai merusak kandang warga.
Ibarat sebagai mangkuk, Duyung sebagai lekukan atau bagian yang berada di dataran rendah. Sedangkan dusun Bondot berada di atas dengan kekayaan hutan. Seiring kebutuhan akan kayu meningkat, penebangan hutan pun merajalela. Akibatnya, sungai tak bersahabat, alirannya pun dapat tersendat saat hujan. Lumpur dan batuan bercampur menjadi satu dalam aliran sungai.
Kejadian yang selalu diingat warga tahun 2017 adalah banjir yang merusak sumber air bersih mereka. Semua ini dampak dari hujan yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Tak ada kata henti atau istirahat. Gerimis menjadi jeda yang seringkali membuat jengkel. Kemudian, tanpa aba-aba, air meluap meratakan beberapa rumah warga. Hewan semacam ular, biawak atau monyet terdampar dalam keadaan miris di halaman rumah warga.
Saat diusut ternyata, pohon yang baru dipotong tetapi belum diangkut terbawa banjir. Pohon itu melintang tepat di bawah jembatan dan menghalangi arus air. Jembatan pun ambruk Akibatnya, perjalanan terganggu dan kinerja warga melambat.
Musim Kemarau
Sebaliknya, bila musim kemarau sungai mengering. Pun dengan sumur warga. Pernah sekali waktu menggunakan sumur bor, tetapi hasilnya tak memuaskan. Air keluar hanya sementara. Juga, kalau musim kemarau mesin pompa air sering mengepul dan rusak. Mungkin karena terlalu lelah bekerja. Berusaha menarik air tapi airnya mengering.
Kesalahan lain yang terjadi, banyaknya sumur bor yang digunakan untuk mengairi sawah. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Keterbatasan air berubah menjadi krisis.
Kemarau panjang pernah membuat kegiatan warga terganggu. Ternak lele/ gurame/ nila menjadi gagal panen. Air kolam menyusut, sedangkan isi kolam penuh. Pun untuk kualitas air juga menurun. Sehingga, yang ada hanya bau amis yang menyebar di sepanjang jalan dusun yang nota bene didominasi ternak ikan rumahan.
Demi memenuhi kebutuhan air dalam kehidupan sehari-hari pengaturan air menjadi krusial. Irigasi sawah mulai diatur secara bergiliran. Pun untuk kolam yang memanfaatkan air sungai lebih dirawat.
Adaptasi Sebagai Jalan Hidup
Adaptasi adalah cara-cara yang dilakukan oleh orang dan atau sekelompok orang dalam menghadapi perubahan iklim dengan melakukan sejumlah penyesuaian yang tepat untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya
(United Nations Development Programme {UNDP}, 2007)
Manusia hidup secara dinamis. Salah satu kemampuan yang bisa dibanggakan tentu saja cara manusia memanipulasi keadaan agar bisa terus hidup. Pun dengan saya dan keluarga.
Mengetahui air yang bisa dikatakan “mahal” dan terbatas. Harus ada upaya untuk lebih bijak dalam menggunakannya. Ada beberapa cara mudah yang bisa diterapkan dalam keluarga dan masyarakat. Cara ini bisa terbilang dari warisan nenek moyang yang sudah dimodifikasi.
Cara Bersama
Bersama dimaksudkan dilakukan oleh sebagian besar warga, berdasarkan musyawarah dan kesepakatan, di antaranya:
Pemanfaatan Air PDAM Desa
Bisa dikatakan, kualitas sumber air (di antaranya Sumber Bening) sama dengan PDAM. Bahkan, lebih segar dan selalu ada. Jadilah, dikelola oleh desa melalui Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas). Melalui jaringan pipa bawah tanah dengan pengontrol meteran, air dapat masuk rumah tanpa perlu antre.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga menggunakan air bersih dari PDAM desa. Jumlah pemasokan air ke rumah pun dijatah. Tidak bebas sebagaimana biasanya. Apalagi kalau di musim kemarau.
Sebelumnya, di tahun 2018/ 2019 pemasangan PDAM ini menghabiskan dana 500 ribu, sekarang sudah berubah.
Perhitungan iuran per rumah tahun 2022:
- Tarif Dasar Rp. 2.000 per meter kubik
- Abonemen Rp. 7.000 per bulan (uang untuk berlangganan)
- Biaya Pasang Rp. 630.000
Memberlakukan Tabungan Pohon
Kebijakan ini diberlakukan setelah adanya pengalaman banjir sebelumnya. Setiap penebangan pohon harus menyisakan pohon yang berusia muda. Sebagai pengganti harus ada bibit yang ditanam dan itu dipastikan sudah tumbuh.
Kebijakan lain yang tak kalah penting mengenai penggunaan lahan. Lahan yang sejatinya sebagai penopang tanah atau berada di lereng tak boleh ditanami tanaman semusim. Setidaknya harus berupa jati atau pohon berkayu yang usianya bisa bertahan lama.
Pun sebagai penyokong hutan tetap lestari, bibit pohon ini disediakan oleh desa secara gratis melalui Perhutani.
Memanfaatkan Karang Taruna dan Organisasi Pemuda di Desa
Pemuda memiliki keaktifan luar biasa. Sebagai penyokong program desa, mereka bisa menjadi tonggak untuk selalu berinovasi. Salah satunya mengadakan penyuluhan mengenai sanitasi, kebersihan lingkungan pun dengan efek cuaca ekstrem ini.
Cara Mandiri
Apa yang dilakukan merupakan pembiasaan yang diajarkan oleh orang tua di rumah. Let’s #TeamUpforImpact. Sederhana, konsisten dan inovatif, demi kebaikan bumi kita.
Membangun Penampungan Air Tadah Hujan Mandiri
Setiap rumah biasanya memiliki penampungan air tadah hujan. Penampungan ini dibuat berdasarkan penggunaannya. Kalau untuk mencuci ataukah mandi, ada dua tahapan yang bisa dilakukan. dimulai dari mengalirkan air dari talang ke bak penampungan kecil (bisa ember besar) kemudian disalurkan ke penampungan air dalam rumah.
Ada pun untuk air yang digunakan sekadar cuci kaki, menyiram tanaman ataukah keperluan kebun bisa dibuat dari terpal. Gali tanah secukupnya, kemudian lapisi terpal dengan memberikan beban di setiap sisi terpal. Bila ingin lebih kokoh, warga membuat bak penampungan dari batu bata dan semen.
Dalam pembuatan bak penampungan ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya berupa kebersihan tempat. Sekali sebulan setidaknya dibersihkan untuk menghindari lumut atau jentik-jentik nyamuk. Jangan sampai niatnya ingin mempermudah diri malah justru membangun sarang penyakit di rumah.
Variasi Tempat Penyimpanan Air matang
Di desa, air galon tidak setenar di kota. Air masih dimasak di atas tungku atau kompor. Khusus bagi yang masih menggunakan kayu bakar, ada bau khas ketika air mendidih. Bau ini biasanya berasal dari asap yang mengepul selama proses pembakaran.
Nah, untuk menghilangkan bau itu ada resep yang layak dicoba. Air yang telah matang dibiarkan di tempatnya seharian, sampai air benar-benar dingin. Kecuali untuk termos. Keesokan harinya, air dipindahkan ke dalam panci besar dengan saringan teh.
Melakukan cara ini setiap sore, membuat air minum tetap terjaga kesegarannya di keesokan hari. Bila ingin memasukkan ke botol atau cerek bisa dilakukan setelah air cukup lama di panci. Namun, kalau kita menggunakan kendi, setelah air matang menjadi dingin, bisa langsung dimasukkan.
Ribet? Tidaklah ya. Ini sudah menjadi kebiasaan. Selain menjaga kualitas air, cara ini juga tak ribet karena harus menyediakan es.
Mencuci dan Mandi secara Efisien
Mencuci baju biasanya memerlukan air melimpah. Namun, di desa dengan keterbatasan ini, sungai menjadi alternatif jalan. Walau sungai tak lagi sepenuhnya bening, cucian tetap dicuci di sana. Sedangkan, untuk membilas terakhir dilakukan di rumah. Namun, ada juga yang cukup puas dengan cara mencuci seperti itu.
Pun dengan mandi. Setiap sore, sudah menjadi kebiasaan anak-anak untuk mandi bareng di sungai dekat sumber air. Ada juga pemandian umum untuk orang dewasa bila berkenan. Pemandian ini bersekat, menjadi satu bagian dengan tempat mencuci massal.
Bagi warga yang memiliki toilet sendiri, membuat tandon menjadi cara untuk menghemat air. Terkadang, bila masih dalam satu kerabat satu tendon dibuat bersama (setidaknya 3-5 kepala keluarga).
Memilih Elektronik Hemat Air
Sebagai warga yang ingin menikmati alat canggih layaknya di kota, barang elektronik menjadi primadona. Di antaranya kulkas dan mesin cuci. Selain memilih daya, saya juga memulai mempertimbangkan perabot yang memiliki sistem hemat air.
Membuat Pembuangan Sampah Mandiri
Di desa, lahan bisa dibilang luas, membuat tempat sampah sendiri menjadi sesuatu yang menarik. Selain dapat mengolahnya menjadi kompos, juga memerlukan ketelitian dalam membuang sampah plastik.
Plastik? Ya, plastik tidak hanya menjadi masalah di kota, desa pun demikian. Dianggap sepele, padahal dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup. Tanpa sosialisasi dan role model, segala limbah dan sampah seringkali dibuang di sungai.
Bisa karena Terbiasa
Air bukanlah permasalahan personal. Tanpa kerja sama dari masyarakat, perubahan itu akan nihil. Butuh banyak penggerak untuk bisa melaksanakan program yang ada. Termasuk program dari desa dan kebijakan dusun. Pun untuk membiasakan di rumah, perlu kerja sama antar keluarga untuk saling membantu dan mengingatkan.
Sebagai warga di sana, apalagi masuk dalam usia muda. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk bisa menjaga keluarga. Salah satunya dengan beradaptasi dengan alam, menghemat air dan mengesampingkan sikap egois.
Egois untuk tak mau tahu persoalan persoalan perubahan iklim.
Egois dengan hanya memikirkan keuntungan pribadi.
Mulai dari diri sendiri, kita harus bertindak. Kalau perlu memaksa diri dan pikiran. #UntukmuBumiku, tiada kata nanti.
Kalau perubahan tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi kita memulainya?