Rumah sederhana kami terlihat lebih terang seterang hatiku, malam telah larut tapi kami berdua masih terjaga. Sebagai seorang manusia yang baru menyandang jabatan sepasang suami istri kami berupaya untuk lebih saling mengenal. Biarpun pagi hingga malam kami jarang bertemu, disetiap ada jeda kami selalu berusaha memanfaatkan kebersamaaan entah dalam bentuk apapun. Seperti hari-hari sebelumnya kami bercengkrama sebelum tidur, ini adalah ritual yang selalu kudambakan. Di waktu inilah kami bisa salingmelepas rindu. Selepas perut terisi, duduk di tikar dan bersandar di pundaknya adalah tempat ternyaman.

“Bagaimana kondisi Zian sekarang?”

Rasa bahagia yang memenuhi dada langsung terhempas. Ya Allah ada rasa cemburu saat kau menyebut namanya. Ia memang adikku tapi ia juga wanita, kami wanita.

Aku memiliki kepekaan mas seandainya kau memahami itu.” Bisikku perlahan, sembari mengusap setetes air mata yang lolos tak tertahankan.

“Apa?”

Tanpa kau sadari rasa pedulimu lebih dari yang kautunjukkan. Inikah salahku? Akulah yag telah memulai mengenalkannya padamu namun aku takut akan akhirnya. Akulah yang menumbuhkan rasa simpati di hatimu bahkan akulah yang telah memupuknya. Kini tanpa kita sadari rasa itu mulai tertanam dalam hatimu mas.

“Mengapa mas bertanya tentangnya?”

“Tidak ada, aku hanya merasa perlu bertanya karena ia sekarang adalah adikku juga, bukankah wajar kalau aku juga perhatian padanya!

“Iya, mas. Aku mulai memikirkannya. Bagaimana kalau yang menikahi adik orang yang telah mengenalnya?”

“Bagus itu, yang pasti orang itu harus tahu mengenai kondisi adikmu”

“Ya, menurutmu bukankah jaka atau duda sama saja asalkan bisa menerima?”

Terlihat ada keraguan diwajah suamiku. Ia menggeser kepalaku dan berdiri mengambil segelas air putih yang dalam sekejap telah berpindah ke perutnya.

“Hm, walau kecil kemungkinannya, pasti ada laki-laki yang mau menerima kondisi adikmu. Mungkin…aku juga tidak yakin. Salah satunya laki-laki yang memiliki masa lalu kelam lalu bertubat ataukah duda yang mengesampingkan keperawanan.

Kupandangi wajahnya sekali lagi. Kini kami duduk berhadapan yang terpisah dengan sebentuk bantal.

“Kalau mas masuk yang mana?”

“Maksudmu?”

“Kalau mas masih belum menikah apakah mas mau menikah dengan adik?”

“Kau ini bicara apa?” -Tatapan kami saling bertemu.- “Tentu saja, siapa yang tidak mau menikahi adikmu itu.Tapi ini kehidupan dek cantik bukan jaminan seseorang bisa menikah ataupun dinikahi. Tidak, sebenarnya ini tergantung orang tua kalau mereka mau ya setuju kalau tidak mas tidak bisa memaksa. Tapi yang pasti kalau ada yang tahu kondisi adikmu yang telah kehilangan keperawanannya karena apa yang dilakukannya dulu pasti berat dek.

“Begitu? Berarti masih ada kemungkinan ya mas untuk melakukannya?, ada tatapan menyelidik disana.

“Hentikan pembicaraan ini, kita mau membahas apa? Kau terlalu baik pada adikmu. Sudahlah kita bicara lagi lain waktu.” – Badan tegap itu telah berdiri, meliukkan badan beberapa kali. Sesekali mulunya menguap menahan kantuk.- “Mas sudah mengantuk”

“Kalau seandainya mas adalah duda apakah ibu masih menolaknya?”

“Kau ini beicara apa lagi? Belum tahu kalau situasinya seperti itu kemungkinan besar akan diterima, hei kenapa kau bertanya sesuatu yang aneh seperti ini. Jangan bilang kau akan berkorban untuk adikmu?”

“Tidak mas, memangnya aku Nabi Ismail yang rela mengorbankan nyawanya demi ayahnya? Aku kan hanya bertanya.

“Sudahlah kalau seperti ini lebih baik kita tidak membahasnya lagi aku sudah ngantuk mau tidur dulu.

Setelah mengecup keningku kau langsung terbuai dalam mimpi, meninggalkanku dalam ketidakpastian. Ingin kumenyusul dan memejamkan mata tapi tetap tak bisa. Perlahan kurebahkan diri ini disampingmu. Dada bidangmumu yang naik turun perlahan, hidung yang besar disertai rahang yang besar semakin membuatmu terlihan mempesona.

Memandangimu dalam tidur adalah pemandangan terindah, namun mengapa terlintas perasaan aku akan kehilangan momen seperti ini?

Perasaan apa ini Ya Allah…

—…—

Entah kenapa kematian terasa begitu dekat.

Hari itu Hpmu berdering dan kau masih diluar, tanpa sengaja aku melihat dan membuka salah satu pesanmu. Yang membuatku terkejut adalah pesanmu dengan adikku.

“Sejak kapan kau seperti ini mas?”, air mataku meleleh.

Aku memang tidak sempurna jauh berbeda dengan adikku. Ia cantik berbadan proporsional dan mungil, setiap lelaki pasti ingin melindunginya. Sedangkan aku? Aku hanya lah wanita kudet yang bertumbuh tambun. Walau kami bersaudara aku lebih mirip ibu sedangkan adikku memiliki wajah ayah, ia putih dan bersih.

Kita menikah memang karena proses perjodohan. Dimana kau mengira adikku adalah aku. Hatiku sakit namun disaat bersamaan ada harapan tumbuh disana. Kondisi adikku saat ini dalam keterpurukan, semuanya tidak lain adalah karena “keperawanan”. Kecerobohannya dalam memilih teman telah membuatnya terjerumus dalam lumpur zina. Tidak ada yang bisa menolak saat Sang ilahi berkehendak dan itulah yang terjadi.

Keguguran itulah awal dari terbongkarnya semuaini, inilah rahasia keluargaku namun karena menganggap kau adalah bagian darinya aku menceritakannya padamu. Hingga tanpa kusadari akulah yang telah menggali lubang hubungan kita. Ceritaku justru membuatmu semakin simpati dan memiliki ikatan dengannya

—…—

Kabar bahagia menghampiri. Ada orang yang mau melamar adik, ia merupakan teman kuliahnya. Proses pertemuan antar kedua keluarga telah terjadi tinggal menentukan hari pernikahan. Inilah saat yang kami tunggu setelah sekian lama. namun sesuatu terjadi sebelum hari bahagia berlangsung, pihak laki-laki memutuskan hubungannya bahkan ia dan keluarga kini berbalik menghina keluargaku.

“Sebenarnya apa tujuanmu mas?”

“Maksudmu dek?”

“Mengapa kau yang mengatakannya bukan orang tuaku ataupun adek yang melakukannya. Kenapa kau ikut campur urusan orang lain!

“Orang lain?, kalian adalah keluargaku begitu juga Zian, ia adalah adikku juga!”

“Mas ini bukan kewenanganmu mengatakan semuanya kepada Deni.

“Kalau mas tidak membertitahunya apakah keluargamu akan memberitahunya? Kapan? Dek tanggal pernikahan di depan mata tapi ia tidak tahu semuanya tentang adikmu.

“Mas hentikan!”

“Kenapa? Kalau aku berada di posisi Deni, aku akan lebih menyesal saat mengetahuinya di malam pertama ketika kami telah menjadi suami istri.

“Jadi kau sempat membayangkan sampai sejauh itu?” –Badanku lunglai dikursi ruang tamu.- “Mas masih mengharapkannya?”

“Bukan itu maksudku!”

Kualihkan pandangan untuk meredam api cemburu yang kian berkobar.

“Mas kumohon, kami sudah merundingkannya dan memang kami akan memberitahunya secara perlahan tapi kenapa mas kejam melakukan ini pada kami? Lihatlah semuanya menjadi batal.

“Jadi siapa yang berperilaku sebagai penjahat sekarang?”

“Mas seharusnya bisa menjawab sendiri, sekarang kehormatan keluargaku rela mas obral di depan keluarga Deni.

“Bukankah itu bagus, berarti ia memang bukan lelaki yang cocok untukmendampingi adikmu”

“Siapa yang lebih pantas mas? Dirimukah?”

“Dek hentikan semua ini, lebih baik kau cari sendiri. Kenapa kita perlu bertengkar tidak berguna seperti ini.

“Tidak berguna? Kau yang membuatnya jadi sangat berguna mas! -Isak ini sudah tidak dapat kutahan lagi.“Sampai saat ini aku masih belum memahami perhatianmu padanya apakah karena kau mulai menyukainya ataukah kau memang menganggapnya sebagai adik.

“Dek hentikan!” –Jari-jemari yang kokoh itu mulai menyusuri garis rambut perlahan-. “Kau dan dia berbeda.”

“Benar, kami memang berbeda tapi…”

“Sudahlah!Kau ini bicara apa Aku sudah mengatakannya aku tidak menyesal kita menikah. Aku justru bersyukur hanya saja kalau melihat orang lain menderita karena pernikahan adikmu aku tetap tidak bisa dek. Mereka nantinya pasti akan merasa dibohongi bukankah ini akan lebih memperburuk keadaan?”

“Ya kejujuran yang kau banggakan itu kini telah merenggut kebahagiaan dan kehormatan keluargaku. Terimakasih mas atas apa yang telah kau lakukan!”

Aku beranjak ke kamar dan menguncinya meninggalkan suamiku sendirian di ruang tamu.

—…—

Perselisihan hari itu masih berlanjut di hari-hari selanjutnya. Padahal saat itu adalah ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Terlebih saat itu mulai ada gesekan dengan mertua. Dimana beliau masih belum bisa menerima keputusanku untuk meninggalkan pekerjaan dan menjadiseorang ibu rumah tangga.

Hari itu tidak seperti biasanya, saat menerima telepon dari ibu Mas Tio duduk di halaman belakang rumah.

Apakah kau sudah makan nak?

Sudah bu!”

Istrimu masak sendiri ataukah tadi beli diluar?

Masak sendiri bu.”

Iya seharusnya istrimu jangan dimanja terus, biar dia masak sendiri bukankah dia tidak bekerja? Ibu saja walaupun bekerja bisa masak sendiri.”

Dan apakah istrimu telah hamil?

Belum bu.”

Bagus, ibu memang mendoakan kalian punya anak paling cepat tahun depan setelah kau bisa membuat ekonomi dan pondasi keluargamu kuat.

Ada rasa sakit saat mendengarnya, akulah yng telah memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun saat peranku dalam keluarga diremehkan ini sangat menyakitkan. Memang kami belum diberikan karunia anak namun aku selalu menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga. Saat Mas Tio mengetahui aku telah mendengar pembicaraannya ia meminta maaf namun tidak ada kata lain.

—…—

Hari itu entah kenapa ada keinginan untuk menulis surat untuk suamiku. Disaat ia terlelap dalam buaian mimpi akupun hanya bisa menuliskan kerinduan ini padanya.

Mas Tio tersayang

Aku selalu mencintai dan menyayangimu semoga engkau pun seperti itu. Maafkan segala sikapku, tidak ada niatanku untuk menyakitimu. Aku menikahimu karena Allah. Apapun dan bagaimanapun dirimu aku selalu berusaha untuk memantaskan diri. Semua ini demi dirimu dan kebahagiaanmu. Semoga engkau selalu bahagia saat diriku disampingmu ataupun tidak. Selama ini kau telah memberiku segalanya hingga sebagai istri aku tidak pernah merasa kekurangan.

Maafkan aku mas yang telah membuatmu murka, hingga akhirnya aku kehilangan senyummu yang paling berharga. Aku menyesal, maafkan aku!

Kuharap kau berlapang dada untuk memaafkan kekhilafan istrimu ini. Salam sayang untuk orang tuamu.

Dari Istrimu, Lena

—..—

Akhirnya hari itu tiba, Zian menginap di rumah sesuai permintaanku. Awalnya ia menolak namun kemudian ia menyerah. Ini hari spesial karena pertama kalinya sejak kami berumah tangga ada orang lain di meja makan kami. Akupun berusaha memberikan topik pembicaraan namun suasana menjadi aneh. Mas Tio juga tidak banyak bicara begitu juga dengan Zian.

“Penyesalan terjadi saat kita tidak bisa jujur dengan diri sendiri, kematian adalah jarak pemisah yang tidak dapat dijangkau. Lebih baik menikmati kebahagiaan kitadisaat kita dapat melakukan sesuatu.”, kataku sebelum mereka meninggalkan meja makan.

Selama Zian di rumah, Mas Tio jarang pulang, sudah tiga hari. Pekerjaan selalu menjadi alasan utama dan akupun hanya bisa diam, menerima. Memang keberadaan Zian disini karena persoalan kampus dimana ia ingin melanjutan kuliah yang sempat terbengkalai. Pada awalnya ia ingin kost dekat kampus, tapi aku menolak dan memintanya untuk menginap. Saat keputusan ini kuberitahukan kepada Mas Tio ia sempat terkejut, tapi tidak ada penolakan yang keluar dari mulutnya.

Hari itu ibu menelepon, namun karena Mas Tio ada di kamar mandi aku yang mengangkatnya. Memang beberapa hari ini beliau lebih sering menelepon, terlihat dari riwayat panggilan Mas Tio. Kemungkinan karena tahu akan keberadaan Zian di rumah. Keraguan merasuki hati, tapi tangan ini seakan menguatkan untuk menyentuh layar.

“Assalamualaykumwarohmatullohiwabaroatuh.”

Tidak ada suara dari seberang.

“Kenapa ibu tidak jadi bicara? Adakah yang ingin ibu katakan?

Hening

Baiklah bu, sebelum ibu menutup teleponnya tolong maafkan aku sebagai menantu aku belum bisa membahagiakanmu. Kuharap kita dapat berbicara dari hati ke hati sebagai seorang ibu dan anak.

Tidak ada suara dari seberang kemudian tut tut tuuuut. Saat kuletakkan hpnya di atas meja, Mas Tio keluar dari kamar mandi.

“Ibu tadi menelepon mas tapi kemudian terputus.

Tanpa sepatahkata Mas Tio berlalu meninggalkanku sendirian dalam dinginnya kamar.

—…—

Kebahagiaan itu muncul saat tidak disangka, aku hamil. Setelah sekian lama menanti akhirnya aku akan memiliki anak. Berita ini belum kuberitahukan kepada siapapun. Termasuk kepada suamiku. Aku ingin memberinya kejutan, namun ada satu hal yang ingin kulakukan yaitu menemukan jodoh untuk adikku. Setelah itu baru berita ini akan kusampaikan.

Hari minggu yang cerah kukayuh sepeda menembus keramaian Kota Jogjakarta. Menikmati bersepeda dengan adik sangatlah menyenangkan. Sudah setahun lebih aku menetap di Kota Gudeg ini, tapi ini pertamakalinya aku bisa menjelajah di gang-gang bersejarah yang penuh akan arti sejarah. Kotagede memang luar biasa. Cukup lelah menikmati pemandangan kami beristirahat sejenak di taman yang berada di samping aliran sungai Gajah Wong.

“Aku akan segera pulang mbak, sepertinya aku akan bekerja saja. Kuliah sepertiya cukup melelahkan. Aku ingin istirahat sejenak.” Kata Zian lirih

Aku hanya bisa menatapnya, ia menggenggam tanganku.

“Aku tidak ingin membuat keluarga kalian dalam masalah. Aku tahu kalau sikap Mas Tio terganggu akan keberadaanku disini.”

“Maafkan aku!”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, aku tahu Mbak Lena sudah berbuat banyak. Mungkin inilah hukuman untukku.”

Zian beranjak pergi, melompati pagar tanaman, sesekali mengganggu kupu-kupu yang bercengkrama di atas bunga yang mekar. Tanpa menoleh ia mengambil sepeda dan membunyikan bel beberapa kali. Tanpa dimintapun aku mengangkat pantat dengan enggan.

Matahari semakin terik, udara semakin panas. Lalu lintas semakin padat mendekati waktu shalat dhuhur. Lampu lalu lintas teramat banyak hingga akhirnya akupun harus berpacu dengan waktu.Tinggal satu perempatan lagi. Namun saat lampu tiba-tiba berwarna merah aku tidak bisa menerobos hanya adikku yang sempat menerobos, hingga posisiku kini berada di bagian depan diantara mobil besar. Namun tiba-tiba, terdengar suara dentuman keras dan akupun tidak bisa mendengar apapun.

—…—

Sayup terdengar panggilan nama, tangankupun terasa hangat. Aku ingin membuka mata tapi teramat berat. Kejadian ini berulang hingga panggilan itu semakin keras, dan akupun tersentak bangun.

“Dek, maafkan aku.”

Isak tangis seorang laki-laki terdengar, ialah Mas Tio. Melihatnya menangis tanpa terasa airmatakupun meleleh.

“Alhamdulillah kau dan calon anak kita selamat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi padamu. Aku sayang padamu.”

Mulut ini seakan terkunci, kualihkan pandangan. Menyusuri ruangan yang terasa asing. Menggali setiap serpihan ingatan yang berserakan.

“Apa yang terjadi mas?”

“Mobil yang tepat berhenti di samping kananmu ditabrak truk pasir yang kehilangan kendali dari belakang. Beruntug truk dan mobil terguling ke kiri. Mereka menemukanmu pingsan disamping kejadian. Aku sangat takut, kupikir kaulah yang jadi korbannya. Tapi kata dokter kau pingsan karena kelelahan. Mungkin faktor dari janin yang ada dalam kandungamu. “

Genggamannya semakin erat. Perlahan kucerna semua perkataan Mas Tio. Tidak ada keraguan dan kebohongan di sana. Ia terlihat sangat khawatir. Air mata yang tidak pernah kutemui selama pernikahan kami kini terukir nyata. Kupejamkan meresapi semua ini. Sayup terdengar suara lain dari luar ruangan, tidak salah lagi ada kedua orang tuaku, mertua dan juga adikku.

Bara api yang tersimpan erat dalam hati serasa disiram air. Begitu dingin dan nyaman. Aku yang semula merasa tersaingi kini semakin tersadar. Akulah yang harus berbenah, ada ketidakjujuran dalam hubungan kami. Ada ketakutan, kerapuhan, dan juga cela. Selama ini aku menganggap dapat mengatasi sendiri tapi ternyata aku salah. Kelemahanku adalah kekuatannya dan kekuatannku untuk melengkapi kelemahannya.

“Ada banyak hal yang ingin kukatakan, kuharap kita bisa segera pulang.”

            Kuberikan senyum terindah yang dapat kulakukan saat keluargaku masuk. Satu persatu memelukku dan itu sangat hangat. Bahkan mertuapun ikut menangis tatkala melihatku.

“Ibu sayang dan menerimamu nduk.” Bisik beliau perlahan disertai isak tangis.

Ada banyak tanya dalam hati, tapi yang pasti mereka mencintaiku dengan cara mereka. Ada proses penerimaan yang terjadi dalam keluarga kami. Entah disukai atau tidak, pasti ada perubahan. Aku melihat ada celah yang bisa menyatukan kami secara perlahan. Yang kami perlukan adalah saling berbicara dari hati ke hati. Kini aku semakin berani untuk tersenyum dan bersyukur.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *