Surat Cinta Perpisahan untuk Mbak Lini di Bunda Cekatan

Surat cinta dari mentee sudah saya kantongi. Alhamdulillah, menyejukkan hati. Demi menghormati Mbak Lini yang sudah menulis dengan sepenuh hati, sudah selayaknya saya juga membalas surat itu.

Surat Cinta Perpisahan untuk Mentee (Mbak Lini).

Hai Mbak, ternyata waktu berlalu begitu cepat. Singkat ya! Berkomunikasi dalam bentuk mentoring terasa kurang. Layaknya ngobrol dengan sahabat, kita bisa berbicara tanpa beban dalam waktu lama.

Di awal waktu, saya masih melihat adanya rasa malu. Mungkin karena belum saling mengenal. Setelah pembicaraan pertama, ternyata Mbak Lini ini rame ya. Saya pun menikmatinya. Inilah yang memantik saya untuk memberanikan diri berbicara banyak.

Saya bukan orang yang mudah nyaman dengan orang. Sifat ini melekat sampai sekarang. Mungkin karena sifat tidak enakan. Sungkan dalam bahasa Jawanya. Pun karena punya pengalaman tidak mengenakkan dengan orang baperan. Jadilah, saya termasuk pemilih. Berbicara itu kalau perlu. Tidak kenal ya lebih baik diam. Mau bicara banyak mikirnya kelamaan. Takut salah, takut menyinggung ataukah takut garing malahan.

Bersama Mbak Lini, semua sifat itu luntur. Saya bisa berbicara lepas. Titik tolak yang saya jadikan pegangan, gigihnya usaha Mbak Lini dalam mengupayakan jadwal mentoring di setiap minggunya. Pernah saya telat, tapi ditanggapi santai tanpa merasa tersinggung. Dan yang membanggakan, setiap minggu selalu ada progres.

Mbak Lini di mata saya

Ibarat burung merpati, Mbak Lini itu bagaikan induk burung yang selalu berusaha mengayomi keluarga di sarang tetapi juga ingin bebas berkreasi di luar. Salah satunya bebas mandiri dengan membantu keluarga sebisanya. Ia terlihat sebagai sosok yang tak ingin hanya berdiam diri. Selalu mencari celah dari kemampuan diri untuk terus berkembang. Kebetulan, yang ingin didalami adalah menulis novel.

Saya kadang malu kalau berkaca pada Mbak Lini. Di waktu yang terbilang singkat, dengan modal nekad (yang katanya minim ilmu kepenulisan), ia memberanikan diri menulis untuk khalayak. Dalam hal ini saya melihatnya sebagai hal positif, karena ia dapat mengenali diri, mampu mengukur kemampuan serta mengutarakan isi kepalanya sehingga dapat tersampaikan ke pembaca. Sifat ini mengingatkan saya akan kecerdasan merpati. Di mana merpati mampu mengenali individu, mempersepsikan warna, merencanakan jalur, dan menyampaikan pesan.

Pun darinya saya dapat melihat cinta dan penghormatan. Walau bisa dikatakan saya ini bukan siapa-siapa yang baru dikenal karena sebagai teman perjalanan di Buncek. Namun, ia tetap mau menggali ilmu serta menerimanya secara positif. Sifat tukar pikiran ini juga mentransfer cinta dan semangat belajarnya. Jadilah sebagai merpati, saya merasa Mbak Lini dikirimkan Allah sebagai penyampai pesan untuk bisa fokus pada apa yang dipilih dan dijalani sekarang.

Jalan masih panjang, tetapi harus mulai dilakukan dan ditekuni secara konsisten. Layaknya memilih pasangan, setia kepada satu bidang itu sangat sulit. Banyak godaan untuk mencoba hal lain.

Seperti kata Mbak Lini, kalau apa yang dilakukannya itu bisa menghasilkan cuan juga lo. Nah, siapa sih yang tidak tergoda! Kalau saya tidak setia dengan jalan menulis di blog, pastilah saya balik ke jalan saya dulu. Sebagai penulis cerita fiksi (novel) seperti dirinya.

Terimakasih, telah memberikan banyak pelajaran. Tidak hanya dalam bentuk ilmu, tetapi ketepatan waktu juga menjadi salah satu hal yang layak untuk dinantikan. Jadi, kalau hari Rabu itu ada perasaan, kok aku tidak dihubungi ya? Penasaran apa yang akan dibicarakan di setiap mentoring.

Sebagai penutup, silaturahmi ini menjadi jalan pembuka bagi kita. Buncek hanya menjadi batu loncatan. Kalau saja di lain waktu ada kesempatan untuk mengobrol dan bertukar pikiran lagi, pastilah saya akan ikut di dalamnya.

Semangat menulis. Jangan lupakan untuk terus berpegang teguh pada niatan saat menulis. Bagaimanapun, kita akan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan di dunia. Termasuk tulisan kita. Menjadi penulis berkualitas itu sulit. Semoga kita menjadi salah dua di antaranya. Pun kita bisa mencari ridhoNya dalam tulisan yang sudah kita torehkan.

Rayakan Kemajuan

Evaluasi perubahan dilihat dari kemajuan yang dicapai. Di tahap awal, Mbak Lini terlihat menulis dengan bebas. Semau gue. Tidak ada pegangan/ patokan. Kalau dalam kepenulisan biasa disebut draft cerita.

Selama proses mentoring, draft ini menjadi salah satu bahasan kami. Baik dalam menentukan pembukaan cerita, tokoh, jumlah bab ataukah mengenai kedalam konflik yang diangkat. Sehingga novel yang dibuat menjadi lebih terarah.

Selain dari materi kepenulisan, sifat Mbak Lini yang gampang pindah haluan juga mengingatkan diri saya di masa lalu. Sebagai pembelajar, yang juga bersemangat tinggi untuk menghasilkan novel bagus, saya layaknya ulat yang kalap kalau lihat daun. Makan dan makan ilmu. Lupa untuk memilih dan memilah mana yang sekiranya sesuai untuk saya terapkan atau tidak.

Menulis itu butuh emosi dan juga sentuhan personal. Kalau kita mudah goyah dan mengikuti gaya tulisan atau melahap ilmu tanpa adanya penyaringan, tulisan kitalah yang justru terlihat mentah. Di sinilah perlu adanya keseimbangan antara menulis dan menyerap ilmu.

Tatkala menulis, ya tulislah. Bila ternyata ada yang kurang sesuai atau saran dari pembaca, catat! Gunakan masukan itu untuk bab selanjutnya ataukah tulisan kita yang lain. Yang pasti, perkembangan penulisan di setiap bab itu selalu ada. Kematangan dalam pemilihan kata atau karakter pun semakin kuat. Tulisan jadi lebih nyaman untuk dibaca dan dinikmati.

Nah, bagaimana dengan kemajuan saya?

Kemajuan sebagai mentor

Baca juga surat cinta perpisahan saya yang lain. Bagaimana dengan Sobat semua? Sudahkah pernah menulis surat cinta perpisahan? Sudahkah menggambarkan metamorfosis diri sebagai kupu-kupu di Bunda Cekatan?

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *