Akad terucap diiringi doa dari malaikat. Pesta pernikahan dalam balutan bunga yang diiringi alunan melodi syahdu berlangsung dalam satu hingga dua jam. Keriuhan menyambut suatu hubungan yang terjalin perlahan sirna ditelan kegelapan malam. Yang tersisa hanya tonggak besi ataupun bambu bekas tenda, tumpahan sisa makanan dari catering dan sampah dari semua peralatan. Rumah kembali sepi, tapi kedudukan sebagai ratu/ raja dalam sehari masih melekat dalam ingatan.
Tawa terdengar riang saat bersama-sama membuka kado dari sanak kerabat. Ada tawa, canda dan kasih yang terlukis. Senyuman dibalas kecup. Cubitan terasa menggelikan dan romantis. Bahkan pandangan mata terasa menentramkan. Kini status telah berubah, dari seorang menjadi berdua, dari aku dan kamu menjadi kita. Aku telah menjadi istri dan kamu adalah suamiku. Inilah impian kita selama ini.
friend zone
Mengapa itu semua berlalu begitu saja?
Sesak dada ini ketika pernikahan dengan mudahnya dipermainkan bagaikan sandiwara. Jika menguntungkan akan berlanjut, jika tidak kata ‘cerai’ mudah terucap.
 
Berkaca dari pernikahan para pesohor di seluruh dunia, tidak semuanya bisa terseleksi dalam satu tahun pertama. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Ini berdasarkan pengalaman saja, bagi kami yang sudah melalui pernikahan bertahun tahun sampai sekarangpun permasalahan selalu tetap ada. Kadang tanpa bisa diprediksi permasalahan selalu muncul. Entah itu kecil atau besar kami selalu berupaya untuk menyelesaikannya. Memang sulit tapi tak ada kata menyerah untuk menghadapi semua itu. Waktu kian mengisi kebersamaan. Sikap kamipun mulai berubah dalam mengatasinya. Dulu di awal nikah merasa sendiri dalam mengatasi sekarang sudah melalui pemikiran dua orang. Alhamdulillah…Allah masih sayang pada keluarga kami.
Apakah ada perbedaan pernikahan dari proses taaruf dengan pacaran?
 
Pertanyaan ini muncul karena sebagai seorang perempuan aku tidak berpacaran. Berbagai alasan menyertai, bukan berarti sok suci hanya takut untuk memulainya. Terlebih takut untuk kecewa.
 
Sebelum mengambil jalan taaruf, kami (aku dan suami) sudah ikhtiar untuk membentuk pernikahan dalam suasana pembelajar. Belajar dalam apa? Semuanya. Belajar mencintai, belajar memaknai hidup, dan belajar untuk menjalani kehidupan dibawah ridhoNya. 
Pernikahan melalui proses taaruf tidak memiliki waktu cukup banyak untuk mengenal pasangan lebih mendalam. Kecewa akan harapan yang membumbung tinggi tidak sesuai dengan awal perkenalan ataupun marah akan adanya “ternyata oh ternyata”. Ada riak-riak kecil yang siap menanti dan setia mendampingi demi menghadapi gelombang besar dalam kehidupan. Setiap hari terasa sebagai perjuangan, perjuangan dalam mengelola ego, berjuang untuk selalu bersabar dalam melayani suami dan anak, belajar menentukan prioritas hidup masih banyak lagi hal yang kualami.
Tapi apakah yang kurasakan akan berbeda dengan mereka yang sudah menjalin hubungan ‘pacaran’ sebelum menikah? Yang notabene mereka menikah atas nama cinta (ini katanya). Sepertinya tidak. Semua ini berdasar pada kisah mereka. Ada yang sudah berpacaran selama 6 tahun tapi ternyata berpisah setelah sekian bulan. Salah satu penyebab yang pasti karena adanya ketidakjujuran hati. Saat pacaran semua terasa indah atas nama cinta, keburukan dan kegelapan dapat tertutupi. Giliran tinggal 24 jam rasa tidak betah mulai tumbuh.
Itu semua tidak menjamin satu lebih buruk atau lebih baik dari yang lain. Tergantung bagaimana kita memaknainya. Nah dari semuanya, jika dikumpulkan ada beberapa penyebab yang perlu di waspadai. Antara lain:
1.       ♥️Kebiasaan yang berbeda
Percaya atau tidak, kalau kebiasaan mandi bisa menjadi awal dari sebuah bencana? Setelah menikah hal seperti ini perlu dipercaya 100%. Ada seorang teman, menikah dengan kekasihnya karena menganggap ia keren, bersih dan rajin. Tapi setelah sebulan menikah apa yang terjadi? Mereka bertengkar hebat karena masalah mandi. Sang istri yang notabene pecinta kebersihan bisa mandi 3-5 kali sehari tergantung keperluannya. Sedangkan suami, mandi jika ingat. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi mereka.
Itu baru contoh, bisa saja kebiasaan yang lain juga akan menimbulkan dampak besar dalam keluarga.  Masalah belanja, merokok, kebersihan, makanan bahkan pemilihan warna. Dalam hal ini sikap saling pengertian, mengalah pada tempatnya dan bertoleransi sangat diperlukan. Perlu diingat, pasangan kita bukan kita tapi ia adalah orang yang melengkapi hidup kita. Bisa dimengerti maknanya? Jika tidak nanti didiskusikan bersama.
2.      ♥️ Keuangan
 
Sebelum pernikahan sebelumnya permasalahan keuangan dibahas dulu hingga tuntas. Bukan hanya tentang permasalahan persiapan pernikahan. Dalam pencarian nafkah perlu diperbincangkan hingga menemui titik temu. Apakah istri di rumah atau berkarir, atau yang lainnya. Karena jika dianggap sepele dan angin lalu konflik pasti terjadi. Terlebih kalau ada turut campur pihak ketiga dalam urusan ini.
3.      ♥️ Kenyataan vs Harapan
Semakin banyak harapan kita akan semakin kecewa. Terlalu banyak menonton drama yang menggambarkan tokoh utama sebagai sosok cool, romantic, penyayang semakin membuat hati terasa sakit tatkala pasangan kita tidak demikian. Sehari, seminggu, sebulan masih mencoba untuk bertahan. Tapi ketika itu terus berlanjut dan kita menahannya suatu saat  pasti akan meledak. Untuk itu, kita perlu menyiapkan semuanya sendiri, menenangkan pikiran dan belajar untuk selalu bersyukur.
4.     Kepuasan seksual
 
Dalam hal ini tidak bisa berkata banyak. Setiap orang memiliki tingkat kepuasan seks yang berbeda beda. Ada yang puas dengan sekali saja, ada yang berkali kali, ada juga yang puas jika bisa berfantasi baik dengan bantuan alat seks ataupun imajinasi. Memang hal ini terbilang tabu untuk dibicarakan secara umum, tapi ketika sudah menikah kita harus mencoba untuk terbuka kepada pasangan. Agar keduanya bisa saling mengerti dan mencoba untuk saling memuaskan.
5.       ♥️Masalah keluarga besar (mertua ataupun ipar)
 
Permasalahan klasik yang tak kunjung sirna. Sebagian pasangan memiliki kesulitan untuk menjalin hubungan ‘baik’ dengan keluarga pasangan. Entah itu dengan mertua ataukah dengan ipar. Yang bisa disarankan hanyalah sekiranya untuk berkomunikasi seperlunya. Kalau serumah? SAMA. Jika terlalu memasuki urusan mereka kita akan dianggap terlalu ikut campur. Sebenarnya hal ini berlalu juga untuk sebaliknya (itu kalau mereka mengerti).
 
Kalau mereka masih terlalu ikut campur, sekiranya kita mundur selangkah dan instropeksi diri. Terlalu tertekan dengan mereka juga tidak baik. Karena itulah penting dalam memilih calon suami yang bisa kita jadikan partner. Kenali ia, buka hati kita dan buatlah ia bisa percaya dengan apa yang kita lakukan. Kita perlu sayang pada pasangan, begitupun dengan keluarganya. Hanya saja kita tidak HARUS menyamakan standar arti sayang itu. Bukankah pemaksaan kehendak akan menyakiti diri sendiri?
Jadi berjuang semampunya jika sudah mencapai batas berterusteranglah pada pasangan. InsyaAllah akan lebih baik daripada memaksakan diri sendiri dan merasa sendirian untuk berjuang dalam keluarga.
6.      ♥️ Pola asuh anak
 
Dasar pendidikan kita dengan pasangan berbeda sejak awal. Ibaratnya seperti koin yang saling berkebalikan. Jika salah satu memaksakan kehendak akan menimbulkan permasalahan baru. Untuk itulah keduanya perlu melebur, mempelajari kelebihan dan kekurangan dalam pengasuhan yang dilakukan orang tua terdahulu. Saling berdiskusi dan bekerjasama terlebih lagi saling berkomunikasi dengan cara yang baik. Saat ‘kita’ sudah menemukan satu visi misi bersama benteng keluarga akan bisik-bisik tetangga semakin kokoh. Keluarga tidak akan mudah goyah.
Demikianlah beberapa hal yang perlu masuk daftar death notekeluarga. Semoga bermanfaat. Jika masih ada lagi silakan beri saran, agar kita bisa berdiskusi nantinya.
Salam sayang dari keluarga D.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *