Titik Kesabaran di Level Terendah

Sebagai orangtua dengan anak spesial, ada masa di mana saya merasa berada di titik terendah dalam memperjuangkannya. Beberapa momen itu tidak hanya membuat saya merasa gagal sebagai orang tua. Namun, juga tak habis pikir bagaimana menghadapi sikap keras kepala Hakim yang notabene merugikan. Mulai dari menolak terapi, tidak mau minum obat ataukah enggan berangkat sekolah.
Yups, layaknya roller coster perasaan saya ketika membersamai Hakim pun demikian. Saat dalam keadaan kesadaran tinggi penuh rasa syukur. Apa pun yang dilakukan bisa menerima dan memahami. Saat dalam kondisi lelah dan banyak masalah, apa pun yang dilakukan Hakim pasti memunculkan masalah baru. Serba salah pokoknya.
Perasaan enggan membersamainya mencuat. Puncaknya, saya akan selalu marah dan menganggap anak yang biasa saya sayang, peluk dan banggakan berubah menjadi sosok pengganggu yang layak untuk ditinggal dan disingkirkan.
Hakim Menolak Melakukan Terapi.
Bila hanya sekali, saya dan suami menganggap itu sebagai Upaya anak untuk merajuk ataukah ia bosan pada rutinitasnya. Saya memahami kalau ia ingin istirahat. Sekali boleh, dua kali kok bisa? Muncul tanduk nih! Tiga kali? Tanduk semakin mencuat tinggi. Ada yang salah di sini.
Saat dikonfirmasi, Hakim merasa bosan dengan kegiatan yang dilakukan. Ia ingin tidur. Ia merasa sudah pintar padahal belum ada perkembangan yang berarti dalam kemampuan membaca atau menulisnya. Ya kalau dia membatalkan sehari/ dua hari sebelunya. Seringkali ia membatalkan didetik keberangkatan. Jika dirupiahkan lumayan, sekali terapi menghabiskan sekitar 250 ribu. Kalau dikalikan 4 sudah satu juta.
Sebagai seroang ibu, uang dalam jumah segitu bisa dikatakan banyak. Untuk membeli keperluan dapur selama satu bulan. Sayangnya, pemikiran Hakim belum sampai sana. Mau berangkat ya ayo. Kalau tidak, ia hanya berbaring saja. Tak ada pergerakan. Saat ada paksaan, proses terapi pun alot. Hakim tidak kooperatif. Lebih banyak tantrum dan menguras emosi tenaga terapis.
Hakim Menolak Minum Obat
Sejak bayi, Hakim anti obat. Bayi yang notabene belum bisa berbicara hanya bisa diamati lewat tindakan dan responnya. Saat sakit dan waktunya minum obat, bayi Hakim hanya menangis. Obat masuk, sedetik kemudian muntah. Masuk muntah lagi begitu seterusnya hingga perut kosong. Kadang tanpa meminumkannya atau dengan melihat botol obat, ia sudah muntah.
Kebiasaan ini berlanjut hingga sekarang. Kalau panas atau sakit, Hakim lebih memilih menahannya daripada minum obat. Dibawa ke dokter mau, tetapi minum obat tidak mau. Dinegosiasi, tak ada kesepakatan. Jadinya ia seringkali hanya periksa, tanpa adanya proses minum obat.
Hakim Mogok Sekolah
Alasan sepele dapat membuat Hakim enggan sekolah. Seperti hari Selasa, bila biasanya olahraga yang disenangi berenang dan kebetuan hari itu olahraga diganti futsal/ badminton, ia lebih memilih libur. Proses untuk negosiasi lagi-lagi alot. Perlu alasan lain atau istilahnya adanya suap menyuap agar ia mau bernagkat sekolah.
Sekolah Hakim dapat dilihat di sini!
Salah satu hal yang sampai sekarang masih ampuh untuk menghadapi Hakim yaitu mie goreng. Lebih tepatnya Indomie. Dari segala merk, yang bisa masuk dan dihabiskan hanya Indomie. Bila dibuatkan mie tanpa melihat bungkusnya, ia bisa mengenali apakah yang dibuat Indomie atau merk lain.
Bagaimana dengan mie kuah? Hakim tidak mau. Kuah menjadi alternatif paling akhir bila benar-benar kepepet. Seperti setelah renang. Itu pun akan dimakan saat kuahnya sudah dibuang.
Hakim Sering Lupa Barangnya
Kehilangan barang sudah menjadi kebiasaan yang sampai sekarang masih dalam proses adaptasi. Terutama saya. Kalau Hakim berikap tak peduli. Justru orang disekelilingnya yang harus lebih bersabar dan waspada.
Dari awal hal ini sudah menjadi perhatian saat assasment, tetapi saya tidak menyangka akan separah ini. Alat makan, botol minum, gunting dan peralatan lain ibaratnya harus ikhlas. Dulu, setidaknya saya minimal membelikan Tupperware sebagai wadah. Namun, semenjak barang itu hilang dan Hakim terlihat tanpa beban sedangkan saya sudah uring-uringan. Keputusan diambil. Membelikan Hakim barang mahal bukanlah solusi. Yang penting sekiranya standar aman dan nyaman, sudah cukup. Plus kalau hilang saya tidak tersulut emosi.
Pernah suatu kali, setelah menggunakan hp ia lupa menaruh. Beberapa kali hp selamat karena ada yang menemukan dan mengingatkan. Namun, pernah pula ponsel itu hilang. Saat ditanya, lupa! Titik. Tidak ada penjelasan lain. Saat reka adegan pun, ia bersikukuh kalau sudah meletakkan hp itu pada tempat yang aman. Nyatanya setelah diperiksa di CCTV memang ada keteledoran.
Dompet saya juga sering jadi korban. Memang kalau uang harian seringkali saya simpan dalam dompet. Itu pun letaknya di sepeda roda tiga Hanna, kadang saya letakkan di terasa depan yang mudah dijangkau. Hakim kalau minta uang seringkali membawa dompet itu. Setelah membeli barang, dompet hanya diletakkan di dekat toko, kadang di tempat ngaji. Jadinya orang sekitar/ tetangga yang sering mengamankan dompet.
Sandal, sepeda juga senasib. Kalau Hakim dalam mood tak baik. Ia membawa barang secara acak. Sandal saya yang sebelah kiri pernah dibawa dan dibuang begitu saja di pekarangan dekat tempat ngaji. Sepeda Hakim, yang seringkali menemaninya main hanya digeletakkan di jalan ataukah lahan tetangga. Tanpa mau memasukkan ketika sore atau setelah selesai main.
Hakim Jahili Adiknya (Hanna)
Sejak kelahiran Hanna, saya berusaha untuk selalu dekat dengan Hakim. Namun, seiring berjalannya waktu kebersamaan saya dengan Hanna semakin lama dan intens. Imbasnya, waktu bersama Hakim berkurang.
Saya tahu seharusnya, sayalah yang berusaha mendekati Hakim. Sayangnya, waktu dan kondisi tidak berpihak. Orang di rumah termasuk suami, ipar ataukah mertua belum terbiasa memegang bayi. Jadilah peran itu terbalik. Saya sering bersama Hanna, sedangkan mereka membersamai Hakim.
“Ibuk kok tidak sayang Hakim lagi!” protes Hakim suatu hari. Hati saya mencelos. Pelan-pelan saya memberi perhatian, tetapi masih belum optimal.
Beberapa bulan sejak Hanna lahir, Hakim mulai menggoda Hanna dengan menarik tangan kadang menggigit. Maksudnya bukan menggigit betulan karena tidak pernah ada bekas gigitan. Lebih tepatnya memasukkan tangan Hanna ke mulut. Di lain waktu memasukkan tangan, kepala atau anggota tubuh Hanna ke dalam bajunya yang bau keringat. Pernah juga memegangi tangan tanpa memberi celah/ kelonggaran dan tiba-tiba menarik (menjambak) rambutnya.
Secara naluri, Hanna semakin sensitif dengan keberadaan Hakim. Di mana Hakim mulai beraksi, Hanna memberikan perlawanan dengan menangis. Saya pun refleks sering memanggil nama Hakim dengan nada tinggi.
“Selalu Hanna dan Hanna. Hakim selalu dimarahi dan salah!”
Respons Hakim semakin menggila saat saya menunjukkan pembelaan pada Hanna. Sejak saat itu saya mencoba memperbaiki pola komunikasi dan perhatian. Namun, kalau dalam kondisi capek, amarah dalam menghadapi sikap Hakim yang random dan kadang di luar nulur itu tak dapat dielakkan.
Hakim Jago Berargumen
Saat mengalami kesulitan ataukah dalam keadaan darurat, saya seringkali membutuhkan bantuan. Sayangnya, empati Hakim belum sampai sana. Bila diminta atau disuruh apa pun jawabannya selalu sama, “Kok Hakim lagi dan Hakim lagi!”. Hakim seringkali memerintah, tatapi menolak saat gantian diberi perintah/ dimintai tolong.
Hakim menganggap dirinya bos yang harus dilayani. Ia sebagai anak harus disayang, tak boleh dimarahi dan apa yang diminta harus dituruti. Jika saya meminta tolong ataukah menyuruhnya melakukan sesuatu itu dianggap sebagai penyiksaan. “Kok, anak-anak disuruh terus!”
Dalam segala hal, debat menjadi sesuatu yang sering Hakim tawarkan. Saat waras saya mencoba mengalah dan mendengarkan. Namun, kalau suasana hati tak menentu, saya pun menyahut dengan emosi yang meluap-luap. Kalau sudah seperti ini, saya dikatai sebagai anjing gila oleh Hakim.
Pernah saya membalas dan mengatakan, “Hakim juga anjing gila! Kan anaknya ibu.” Hakim langsung marah. “Ibu tidak sopan, anaknya kok dibilang anak anjing.”
Saya pun kadang jengkel, la yang mengatakan duluan tetapi ketika dibalik pernyataan itu malah saya yang disalahkan. Di matanya, saya selalu menganaktirikan. Debat kusir walau tak menemukan titik temu menjadi perbincangan seru. Kadang saya bisa marah, sedetik kemudian tergelak tawa. Kok bisa ya anak seumur Hakim bisa berpikiran seperti itu.
Sebenarnya masih banyak yang bikin jengkel bin mecucu. Sikap Hakim yang mudah lupa malah sering membuat saya tambah stress. Yup, short memory Hakim bisa dibilang terganggu. Selain pelupa barang, emosi pun gampang terpengaruh. Belum genap saya berdamai dengan perasaan diri sendiri malah Hakim sudah enjoy saja dan minta makan.
Ah, bismillah. Semoga dikuatkan! Walau pernah di titik terendah tetapi saya tidak menyesali akan keberadaannya. Saya justru semakin bersyukur dan ingin berdamai dengan diri sendiri. Karena saya tahu, suatu saat Hakim pasti akan jadi orang sukses di dunia dan akhirat. Aamiin.
Kalau Sobat, bagaimana? Adakah pengalaman menghadapi anak spesial seperti Hakim?