Sejak kecil saya menyukai alam, jalan jalan ke tegalan, sungai ataukah hutan. Pergi sendirian sejak kecil sudah mencari keseharian. Ibu menjadi TKi, bapak juga bekerja membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Desa Jatilengger di daerah Blitar masih menjadi tempat yang asyik untuk menjelajah alam.
Hidup itu dekat dengan kekecewaan. Semakin beranjak dewasa, saya menyadari kalau hidup itu tak selamanya bisa sesuai keinginan. Ada masa kita harus beradaptasi dan bersahabat dengan ekspektasi.
Saat itu, kondisi pergaulan belum menakutkan seperti sekarang. Sesama anak sepermainan saling melindungi. Laki-laki dan Perempuan saling berbaur dan menjaga. Dari sanalah saya punya cita-cita untuk ke pantai atau naik gunung. Namun, semua itu hanya bertahan sebagai wacana. Di mana hal itu menjadi sesuatu yang wah dan istimewa tatkala saya di SMP atau SMA.
Sayangnya, orang tua masih kolot. Perempuan layaknya di rumah saja. Itu kegiatan laki-laki. Keinginan berpetualang akhirnya harus benar-benar pupus. Baru terlaksana saat saya selesai kuliah dan mulai bisa mencari uang sendiri. Memilih sandal gunung, tas ransel ataukah peralatan lain bukan hal baru. Walau bisa dibilang tidak sekeren dan terkenal brand yang dipilih, setidaknya bisa mempunyai.
Tantangan Menjaga Emosi
Sikap untuk bisa lebih berlapang dada pada keadaan pun harus saya pupuk saat memiliki anak. Dulu, Ketika tahu memiliki anak laki-laki, saya ingin sekali mengajaknya menjelajah. Setidaknya biar dia lebih mengenal alam. Qodarulloh, Allah memberi saya anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang memiliki rasa untuk bergerak itu sangat minim.
Dalam kondisi anak saya (Hakim), ada beberapa hal yang menjadi catatan tersendiri. Anak ADHD memang terkenal hiperaktif, tetapi bukan sesuatu yang positif dan memiliki tujuan. Saat di tempat/ lingkungan baru, rasa penasaran dan daya penjelajah mereka sangat besar. Tangan/ kaki ataukah mulut akan selalu bergerak. Hakim juga demikian, tetapi berbeda kalau ia diajak untuk olahraga. Pun untuk kegiatan fisik lainnya. Ia lebih memilih rebahan.
Mau mengajak ke sawah, ya saya harus siap menggendong setiap saat. Hakim tidak mau terkena lumpur. Jijik dengan sesuatu yang lembek ataukah yang kotor. Pun Ketika saya mengajak ke bukit, satu langkah sudah diiringi ratusan keluhan ataukah rasa marah. Tangis pun seakan bukan lagi hal asing saat mengajak dia pergi.
Pun Ketika memilih sesuatu, saya harus berdamai dengan apa yang menjadi pilihan anak. Harga menjadi salah satu permasalahan. Namun, bukan itu yang terpenting. Walau menabrak warna, tidak sesuai dengan umur, ataukah fungsi, sekali dia mau ya harus barang itu yang digunakan.
Salah satu hal yang paling terlihat saat dia mulai beranjak SD, mengenai pemilihan tas. Satu tas eiger ada di rumah. Hadiah dari kantor suami. Ketika awal melihat, anak langsung jatuh cinta dan merengek meminta untuk menggunakannya. Suami mengalah.
Tas itu memang fungsional. Tahan panas atau hujan. Ruang di dalamnya luas dan banyak. Nyaman dipakai di punggung, tetapi bagi dirinya yang baru kelas satu SD. Terlihat sangat besar.
Tantangan lain juga bermunculan saat mengantar sekolah atau yang berhubungan dengan kegiatan membaca/ menulis. Hakim seakan sudah menutup pikiran dan minatnya. Harus ada adu mulut. Kenaikan suara layaknya menjadi kebiasaan yang seringkali diprotes anak.
“Ibu jadi monster!”
“Ibu selalu marah-marah ke Hakim!”
“ibu selalu menyuruh belajar, capek tahu!
Masih banyak lagi keluhan dan label yang mampir di telinga. Inilah yang menjadi titik tolak saya untuk bisa berubah.
Persiapan Anak ADHD Terapi
Terapi dilakukan di hari Sabtu, pukul 10.00-12.00. Jenis terapi yang dilakukan kadang dua/ tiga yang dilakukan secara bersamaan. Ada SI (Sensori Integrasi), terapi perilaku dan terapi okupasi.
Hakim diingatkan jadwal terapi, sehari sebelumnya. Ia dibangunkan dan siap-siap sejak pukul 07.00. Mandi dan makan memerlukan waktu lama. Belum lagi kalau teralihkan kegiatan lain seperti lihat youtube ataukah tidur lagi karena masih mengantuk.
Saat suami di rumah, ia yang biasa mengantar. Bila ia berhalangan, sayalah yang harus bergerak dengan membawa adik Hakim—Hanna yang berusia 1,5 tahun. Jam 9 kurang, kami sudah berangkat. Hal ini untuk mengantisipasi hal tak terduga, seperti ban bocor ataukah mogok. Kadang juga menghindari kemacetan di jalan.
Sebelumnya, saya sudah mempersiapkan jaket, penutup dada, helm dan segala prentilan Ketika melakukan perjalanan jauh. Yang lebih penting safety untuk anak. Namun, bocil mengalami masalah sensori yang membuat segala benda yang bersentuhan langsung dengan kulit seakan bagaikan serangan ribuan semut. Terasa gatal, mengganggu dan kadang menggigit. Jadilah saya hanya memakaikan helm tanpa tutup wajah, jaket dan tempat duduk di depan. Walau usianya sudah beranjak 7 tahun, kami tidak pernah menaruhnya di belakang karena ia mudah ngantuk dan takutnya jatuh di tengah jalan.
Tantangan Menjaga Emosi Selama Terapi
Selama perjalanan, mengobrol menjadi salah satu jalan untuk mengajak Hakim aktif berbicara sekaligus ngecek, apakah dia dalam posisi mengantuk atau tidak. Seringkali kalau mengantuk, saya jawil kakinya. Namun, kalau tidak mempan saya berhenti. Kalau terburu-buru, dengan paksaan atau teriakan.
Kenapa tidak naik mobil/ gocar saja? Berat diongkos. Biaya transport dengan biaya terapi, sama. Pengeluaran bisa membengkak.
Selain kondisi jalan atau cuaca, di tempat terapi seringkali Hakim tantrum. Entah karena mainan, tidak diberikan stiker oleh fasilitator karena tidak mampu mencapai target yang disepakai atau penyebab lain. Pun seringkali ia mengeluh capek ataukah tidak mau terapi. Maunya hanya tidur dan nonton youtube.
Puncaknya, hasil kadang terlihat lambat dari apa yang diharapkan. Ekspektasi tentang kemampuan beajarnya yang dirasa lebih cepat nyatanya sangat lambat. Terutama untuk menulis atau membaca. Ujian tidak dikerjakan, selalu mengantuk saat diajak mengerjakan soal ataukah tantrum saat keinginannya tidak terpenuhi.
Menjaga Emosi dengan 2 S (Self Talk dan Smile)
Menurut Mbak Latifah Andriyani dalam salah satu materi di rumbel Healing IP Yogyakarta, Self-talk adalah suatu upaya memberikan afirmasi positif untuk diri sendiri dengan melakukan monolog menggunakan kalimat-kalimat yang baik. Positive self-talk dapat berpengaruh pada pikiran, perasaan, serta perilaku diri sendiri.
Saya pun mulai menggali diri lagi. Alhamdulillah diberi karunia anak. Di tengah padatnya rutinitas harian, sejenak saya selalu meluangkan waktu untuk bicara pada diri sendiri. Inilah yang terbaik. Hakim paling sesuai dengan saya yang mudah marah. Kesabaran saya setipis tisu.
Saya pun memberikan ruang pada diri untuk berbicara dengan nurani. Biasanya saya melakukan self talk untuk hal-hal yang mengganjal di hati. Sesuatu yang dirasa belum tuntas. Termasuk Ketika interaksi saya dengan Hakim terasa garing.
Saya mencoba mengajak nurani bicara. Memposisikan diri bahwa apa yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Saya pun lebih Rida dan bersyukur. Saya tidak ingin sesuatu yang tidak enak di hati memicu emosi negatif.
Saya berusaha berdamai dengan apa yang telah terlewati, kemudian menata hati untuk kembali melangkah. Biasanya saya melakukan self talk ketika sendiri, dalam artian berdiam diri tanpa ada komunikasi dengan orang lain, atau seusai salat dan menjelang tidur.
Selesai bermonolog dengan diri, saya mencoba memaafkan diri saya sendiri dan juga Hakim karena membuat perasaan saya tidak nyaman.
Selanjutnya, saya berusaha tersenyum. Saat kita senyum, hormon kebahagiaan seperti dopamine, endorfin, dan serotonin itu akan muncul. Oh ya, senyum ini tak sekadar senyum. Senyumnya harus tulus.
Jadi, saat stimulus yang memancing emosi negatif, pertama kita hadapi dengan senyum tulus. Meski kita sudah senyum dengan setulus hati, belum tentu respons rekan bicara secepat yang kita harapkan. Belum tentu berhasil. Tapi yang terpenting ketika tersenyum, dengan sendirinya emosi pada diri kita akan berubah menjadi positif.
Selamat mencoba!