Trigger
Tantangan berbicara dengan mertua sepertinya dirasakan oleh menantu secara umum. Pun termasuk saya. Salah satu yang menjadi penyebab utamanya karena tak mau ada miss komunikasi di antara kami.
Komunikasi yang sudah terbangun di keluarga mertua berasal dari kebiasaan nenek moyang yang lebih mengutamakan anak laki-laki. Jadilah istri dianggap sebagai seseorang yang perlu manut ke suami dalam keadaan apa pun. Apa yang terjadi pada suami menjadi tanggung jawab istri. Pun kalau suami sakit. Mau tidak mau, sebagai istri saya harus siap menjadi pihak yang secara tak sadar tetap disalahkan.
Kondisi inilah yang saya hadapi sekarang. Sejak suami didiagnosa adanya batu ginjal, saya belum berani menjawab panggilan dari mertua. Selain bingung harus menjelaskan bagaimana, juga karena tak mau adanya perselisihan.
Pergolakan mulai muncul di hati. Kami sebenarnya butuh mereka, tetapi ada beberapa hal yang memang selayaknya tak turut mereka campuri. Jadilah, kami berdua bekerjasama membangun rencana untuk memberitahukan kepada mertua dengan cara terbaik (menurut versi kami).
Disinilah, kami akhirnya. Duduk bersama mereka, saling berhadapan rasanya sesak. Udara layaknya tersedot dalam kekhawatiran kami. Satu dua tiga, layaknya hitungan anak TK mau olehraga, saya mulai mengatur nafas. Belum genap semua dilakukan terdengar suara suami membuka percakapan.
“Pak, Bu, aku keno batu ginjal.”
Layaknya ikut perang tanpa persiapan, hati saya sudah mau copot mendengar pengakuan suami. Saya pun gelapan. Kok enteng sekali ia bicara. Ealah kok tidak ada basa-basi apalagi pembukaan dulu atau bagaimana.
Ah, sudahlah. Bagaikan rentetan senjata yang sudah mulai dikokang, satu persatu deretan kejadian yang dialami suami saya ceritakan. Walau tak ada jawaban, raut muka mereka saat itu sudah memberi gambaran bagaimana suasana hati yang tak menentu itu.
Menyampaikan Pesan dengan Sepenuh Hati
Diawali dengan kalimat pernyataan dengan suami, saya pun turut menjelaskan apa yang terjadi. Rasa kaget dan tak percaya tentu terpancar dari kedua mata mereka. Namun, saat saya memaparkan bagaimana kebiasaan suami (sering duduk dan hampir tidak pernah olahraga ) dengan minuman sasetnya, mereka mulai membenarkan.
Pun saat itu saya berusaha menjelaskan tanpa ada niatan atau maksud untuk menentukan kesalahan yang terjadi. Itu menurut saya, tetapi kalau mereka masih beranggapan sang anak (suami saya) selalu benar, saya sudah pasrah. Dalam artian sudah berusaha menyerahkan semua kepada Allah.
Kenapa? Saya tidak ingin berdebat. Saat ini hanya fokus pada kesembuhan suami. Bagaimanapun, kalau pikiran dan jiwa saya limbung, bukan hanya suami yang kena imbasnya, Hakim dan janin dalam perut kemungkinan bisa ikut stres.
Disitulah saya bertekad berusaha menebalkan dinding telinga dan fokus pada emosi positif diri. Biarlah kesalahan berlalu yang penting ada perbaikan ke depannya. Alhamdulillah suami memahami semua itu dan memakluminya.
Partner Istri Dalam Menghadapi Mertua
Suami menjadi pion sekaligus tameng istri di hadapan mertua. Bagaimanapun, anak biasanya lebih dipercaya diandalkan dan disayang dari pada pasangannya. Di sinilah saya perlu merayu suami untuk bersedia berdiri di hadapan saya.
Suami lebih tahu bagaimana perilaku dan tabiat mertua. Ia juga yang bisa menjinakkan bahkan membuat orang tua merasa lebih tenang. Yah, walau kadang suami mulutnya tak bisa dikontrol, berbincang dan berdiskusi dengannya sebelum menghadapi mertua adalah jalan terbaik yang selama ini saya lakukan.
#tantanganzona2
#harike-4
#bundasayang8
#institutibuprofesional
#ibuprofesionaluntukindonesia
#bersinergijadiinspirasi
#ip4id2023