Remaja itu unik. Ada juga yang menyebut mereka generasi lebay. Sok tahu segalanya dan sok benar. Mereka sok jual mahal pula, pura-pura tak butuh, tetapi diam-diam menyimpan keinginan untuk diperhatikan, disayang bahkan dimanjakan.
Dunia remaja itu luas dan beragam, bergantung di mana anak yang akan tumbuh menjadi remaja ini berkembang. Kalau dalam Islam masanya akil baliq. Anak zaman dulu dikatakan memasuki gerbang kedewasaan di usia ± 12 tahun. Salah satu tandanya kalau anak perempuan dengan adanya haid dan anak laki-laki mengalami mimpi basah.
Anak zaman sekarang keperluan gizinya bisa terpenuhi dengan mudah, akses informasi dan lingkungan pergaulan sangat luas. Karena itulah, tak aneh bila anak usia 8/9 tahun sudah memasuki remaja.
Sayangnya, kedewasaan remaja tak selalu beiringan dengan pengertian remaja dari segi usia. Untuk mencapai “dewasa” atau kematangan berpikir, butuh pengalaman dan pola pikir luas. Inilah yang membuat adanya istilah “bayi gede”. Badan sudah besar layaknya remaja, tetapi pola pikirnya masih seperti anak-anak.
Otak dianugerahi suatu kemampuan untuk menganalisa sehingga kita dapat membedakan hal baik ataukah yang buruk. Kalau tidak diasah, kedewasaan ini bisa tidak seimbang dengan pertumbuhan fisik anak.
Gambaran mudahnya seperti ini, ada anak usia 10 tahun telah mimpi basah. Ia belum bisa mandi, bepergian, mengucapkan salam sesui waktu dan tepat serta belum mau salat. Kalau di rumah ia juga tak membantu ibunya. Pun kalau diajak main, ia jarang menggunakan kata maaf, terimakasih, tolong dengan tepat.
Dalam segi usia, anak itu telah memasuki gerbang remaja, tetapi dalam pemikiran ia belum mampu. Karena itulah, kita perlu memberikan tanggung jawab anak sesuai dengan perkembangan usianya.
Anak zaman sekarang lebih rentan daripada zaman baheula. Salah satu alasannya karena pemahaman dan kematangan pola berpikir. Ini tidak muthlak. Ada juga peristiwa sebaliknya, anak dipaksa dewasa oleh keadaan. Salah satu faktor yang bepengaruh adalah ekonomi, karena sebagian dari mereka “terpaksa” bekerja untuk bisa bertahan hidup.
Pendekatan Pada Remaja
Keluhan akan berkurangnya kedekatan orang tua dan remaja seringkali terjadi. Ada orang tua yang beranggapan kalau masa remaja dan anak-anak itu sama. Mereka butuh bimbingan, ditemani apalagi diberi perintah.
Padahal sebaliknya, di masa ini, remaja lebih berpikiran terbuka. Mereka membutuhkan tempat untuk sekadar berbagai, tetapi bukan sebagai pengatur hidup mereka lagi. Keingintahuan mereka luas, pun dengan karakter yang dibentuk sejak kecil semakin mengakar. Kalau sejak kecil ia didik dengan ancaman, masa remajanya bisa semakin menjadi pemalu ataukah sebaliknya,menjadi pemberontak.
Perubahan hormonal juga mempengaruhi mood ataukah emosi yang mereka tunjukkan. Walau kadang tidak disadari, hormon ini berpengauh berat terhadap cara mereka beradaptasi.
Layaknya dalam diri seorang perempuan, hormon selama masa menstruasi mengalami perubahan signifikan. Salah satunya esterogen, dalam hubungannya dengan emosi homon ini biasanya disebut sebagai hormon bahagia. Selain dapat memicu zat dalam otak untuk mengaktifkan zat dopamine(penenang), juga merilekskan kinerja jantung.
Esterogen yang menurun selama menstruasi membuat perasaan seseorang menjadi sensitif, mudah berubah moodnya apalagi emosian. Inilah yang membuat kita sebagai orang tua harus memiliki ketrampilan dan intrik dalam menjalin hubungan dengan remaja.
- Jadilah pendengar yang baik.
Menjadi pendengar dengan melibatkan perhatian dari mata, senyum dari bibir, membuat orang lain merasa diperhatikan. Apalagi kalau kita mampu memberikan apresiasi pada “apa yang mereka lakukan”.
“Terimakasih telah sekolah dengan baik, nilai Kakak kemarin 8. Terus semangat ya.”
“Wah, anak Mama hebat, nilainya 8 ke atas semua.” (SALAH)
Pujilah apa yang dilakukan anak, bukan anak secara personal!
- Jadi guru untuk murid.
Dalam perkembangan keingintahuan mereka, ada banyak hal yang perlu dipelajari. Orang tua juga harus berpikiran maju dan mengikis cara konvensional. Tidak mengubah semua juga, yang penting adaptasi. Kan enak kalau kita nyambung dan dapat menjadi partner anak untuk diskusi.
Misal, walau kita tidak sepenuhnya paham cara menggunakan media sosial, setidaknya tahu dan bisalah. Kalaupun merasa kesulitan, meminta bantuan anak bukanlah suatu keburukan. Belajar itu tak memandang umur apalagi sebuah kepentingan. Kita harus membiasakan diri untuk berlapang dada.
- Hormati privasi anak
Kepercayaan dibutuhkan oleh remaja. Saat mereka bisa melakukannya, kenapa kita tidak memberinya kesempatan? Cara lain yang bisa dilakukan dengan lebih banyak berinteraksi dan adakan kesepakatan bersama.
Misal dalam hal penggunaan ponsel, kita tidak perlu tahu isi media sosial ataukah menentukan teman anak. Yang bisa kita lakukan bertanya. Sebagai bentuk kepedulian pertanyaan ini lebih menjurus kepada rasa kasih sayang bukan mengintrogasi.
“Kamu di mana, sama siapa? Kok belum pulang? Ngapakain berteman dengan orang yang tidak jelas?” Kalau seperti ini, boro-boro anak mau percaya. Mereka bisa jadi malah ilfil (illfeel).
Pun kalau sudah ada kesepakatan bersama, sudah selayaknya itu diapliaksikan “bersama”. Kalau bisa lengkap dengan reward dan punishment. Bila orang tua melanggar, setidaknya ada kata “maaf” dan pembayaran denda. Pun sebaliknya. Untuk wejangan dan yang lain, disimpan dulu ya emak-emak. Kalau memang masih ada yang perlu didiskusikan, carilah waktu yang santai.
- Jadilah teladan yang baik
Kalau ini tak perlu dijelaskan panjang kali lebar. Anak meniru apa yang dilakukan orang tuanya, secara sadar ataukah tidak.
- Memotivasi yang berhubungan dengan cita-cita agar terus berkembang.
Memotivasi berbeda dengan selalu memuji. Dalam mewujudkan mimpi, orang tua berperilaku layaknya penjaga sekaligus teman. Saat dibutuhkan ada, tidak hanya dalam materi. Keberadaan dan penghargaan yang diberikan orang tua adalah kebanggaan bagi anak.
- Memberikan informasi untuk membantu mengelola pergaulan
Hal ini sulit dilakukan kalau orang tua tidak dekat dengan sang anak. Sebagai orang tua yang lebih berpengalaman, kita bediri di garda depan untuk melihat,menimbang dan memikirkan strategi yang tepat dalam menghadapi pemasalahan. Hanya sebatas itu, lebih tepatnya menjadi pengamat dari luar dengan tugas memerhatikan waktu, kapan kita bisa memberikan saran ataukah hanya sekadara menjadi pendengar.
Untuk remaja laki-laki, waktu terbaik untuk diskusi ketika mereka kenyang, istirahat ataukah di saat ia mendapat momen bahagia dalam hidupnya. Sedangkan untuk remaja perempuan, sebaiknya di luar waktu menstruasinya.
- Kelola stres
Masih ingatkan, perihal emosi tadi. Jadi sebaiknya kita mengajarkan anak untuk melepaskan emosi yang tepat. Salah satunya dengan menyalurkan melalui hobi.
Tips Bekali Anak Agar Mandiri
Mandiri bisa diartikan sebagai kemampuan anak dalam mengoptimalkan apa yang dimiliki. Kalau anak sudah mampu memegang sendok, ia sudah mulai bisa dikenalkan dengan tata cara makan. Setelahnya baru dibiasakan makan bersama. Selain untuk menjaga kedekatan, juga menjadi teladan bagi anak bagaimana cara makan yang baik itu.
Nah, untuk melatih kemandirian remaja di rumah. Bisa dilakukan beberapa tips berikut:
- Menyiapkan makan sendiri. Awalnya bisa saja berantakan. Jika kita mau bersabar, kesalahan dan kesempatan inilah yang dapat membuat mereka mau dan berani untuk melakukan semuanya sendiri di masa depan.
- Membereskan barang bawaan
- Mengobati luka
- Berbelanja sendiri, lebih tepatnya dapat menggunakan uang secara bijak. Salah satunya memilih dan memilah barang yang akan dibeli.
- Mengajarkan untuk mengelola keuangan sendiri. Entah uang saku ataukah uang darihasil kerja kerasnya sendiri.
- Pakai transportasi sendiri
- Bangun pagi, plus jangan lupa untuk “mengajak” salat subuh. Bukan “menyuruh” ya! Kalau perlu dibangunkan dan ditunggu setiap hari.
- Berani berpendapat di hadapan orang lain.
Kenapa anak berbuat “nakal”?
Nakal ini relatif. Apakah harus dalam kategori ada wujudnya, kekerasan fisik, suka membolos, dll. Ataukah karena ia aktif bergaul dengan semua temannya, apalagi yang cewek dan suka bepergian pula, juga dikatakan nakal? Tanpa ada maksud untuk mengambil keuntungan, pendapat ini bergantung pula dari prinsip orang tua.
Remaja melakukan segala sesuatu untuk menarik perhatian dan menunjukkan eksistensi diri. Kadang, kalau dengan berbuat baik ataukah berusaha tetap tidak diakui, ada titik jenuh yang membuat mereka justru diam bahkan apatis. Namun, ada juga dari mereka yang agresif.
Berbeda kalau mereka semakin berani berpendapat pada orang tua. Itu tandanya mereka kritis, bukan dalam artian membantah apalagi durhaka yang menggiring opini ke arah nakal.
Kalau sudah tahu sepeti itu, lebih baik remaja dibiarkan dulu dan kita memperbaiki mindset. Tidak ada remaja “nakal”. Adanya hanya remaja yang kreatif, aktif, dan inovatif. Setelahnya baru dicoba tips di atas.
Bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap anak korban bully?
Bully emang berat. Langkah pertama kita harus membangun kepercayaan dirinya. Ajak anak berkomunikasi saat rileks. Buka percakapan dengan pertanyaan terbuka.
“Apa yang terjadi, Kak? Bunda di sini untuk mendengarkan. Kalau Kakak ingin sendiri silakan,Bunda di luar ya.”
“Kenapa mereka bisa seperti itu?”
“Apa yang mereka lakukan?”
Menyemangati mereka agar “tidak” membalas bully-an itu. Berbeda kalau tujuannya untuk mempertahankan diri, kita bisa mengajarkan cara untuk melawan. Selanjutnya, berdoa kepada Allah. Kalau memang tidak bisa diselesaikan, lebih baik melapor ke guru ataukah orang tua.
Masalah pergaulan anak, seberapa jauh batasan orang tua untuk ikut campur?
Orang tua memiliki keterbatasan dalam behubungan dengan anak. Usia 0-6 tahun merupakan glden age dalam menjalin ikatan orang tua-anak. Setelahnya, anak memiliki kecenderungan untuk membutuhkan lingkup sosial lebih besar. Orang tua hanya sekadar sebagai pembina dan pengawas.
Ketika masih kecil anak “wajib” diajarkan untuk mandiri. Hal ini melatih mereka untuk survive ke depannya. Pun untuk sopan santun. Pendidikan seksualitas juga perlu diajarkan sejak dini.
Sedari awal anak dikenalkan sentuhan yang boleh dan tidak boleh. Mereka juga tidak memperbolehkan orang lain menyentuh bagian intim dengan bebas. Pun cara komunikasi dengan lawan jenis “yang sopan dan beradab” harus diajarkan.
Nah, kalau orang tua sudah ada bekal. Melepas anak bersama tanggung jawab yang dipikul bukan masalah lagi.
Orang tua adu argumen dengan remaja, biasakah?
Adu argumen biasanya diawali dengan ketidaksepehaman antara orang tua dan anak. Beda cara pandang, beda dalam menentukan prioritas dan juga beda dalam hal karakter. Jika orang tua sebagai role model tak mampu memberikan contoh dalam menyelesaikan konflik hal buruk dapat tejadi.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah menggali pikiran anak.
“Kamu maunya apa, Dek?” Tanya pendapat, dengarkan keluhan baru koreksi kalau ada yang kurang tepat.
Pun sebelum memberikan saran atau wejangan, sebaiknya minta izin dulu.
“Bunda boleh bicara ndak ? menurut Bunda sih Adek lebih baik minta maaf dulu. Bla bla bla.”
Anak sulung saya(14 tahun) tidak nyaman bermain dengan adiknya.
Orang tua tak perlu memaksa. Samakan frekuensi pemikiran dengan kakak dan turunkan ego untuk mencari kesepakatan bersama. Pun untuk sang adik diberi pengertian agar keinginannya bisa dipenuhi tetapi tidak mengganggu privasi sang kakak.
“Bagaimana kalau di sore hari Kakak main sama Adik ya? Adik sudah janji tidak mengganggu. Adek sebenarnya sayang Kakaklo, tetapi takut untuk memulai. Tolong ajari Adek ya.”
Bagaimana mengenalkan fitrah seksualitas pada remaja?
Perubahan organ reproduksi di masa ini sangat terlihat. Pun dengan perubahan sekundernya, misal dengan tumbuhnya jakun, payudara ataukah bagian tubuh lain. Sudah saatnya orang tua membuka diskusi ini (kalau memang sedari keil mereka belum mengajarkannya).
Malu? Canggung? Bilang maaf telerbih dulu kepada anak. Bila perlu berlatihlah untuk biara didepan cermin. Sebagai bekal untuk bertanya, selalu upayakan untuk terlihat tenang dan tunjukkan kalau pertanyaan atau diskusi tentang seksualitaas itu sudah biasa.
“Bagaimana pendapat Kakak tentang menstruasi/ mimpi basah?”
“Apa yang harus dilakukan kalau seperti itu?”
“Belum tahu cara mandi wajib?”
“Kakak tahu dari mana?”
Jawaban dari mereka menggambarkan kondisi mereka saat ini. Jadinya kita bisa mengantisipasi hal yang akan dilakukan. Kalau masih kesulitan bilang “maaf” dan lanjutkan pembicaraan di waktu lain.
Kalau seandainya memilih belajar secara khusus berdua, lebih baik orang tua mencai bekal. Bisa juga dengan memanfaatkan film, video yutube kemudian diskusi.
Bagaimana menanganai anak yang mengalami pelecehan seksual “sejak” kecil?
Sejak kecil, berarti jangka waktu pelecehan ini lama. Beda kalau ketika kecil yang kejadiannya sewaktu ia kecil dan tidak berulang.
Trauma pada balita lebih mudah dilupakan. Hal ini behubungan dengan perkembangan sel otaknya. Namun, bila hal ini terjadi dalam kasus besar, misal pelecehan di lakukan di tempat gelap. Si anak ini dapat mengalami trauma di kemudian hari, yang kemudian direpresentasikan dalam bentuk fobhia tempat gelap.
Kalau pelecehan terjadi di lingkungan remaja, ia akan semakin tertekan dan membuat otaknya menjadi lebih protektif. Hal ini berpengaruh pada perkembangan pola pikirnya.
Dalam kasus pelecehan seksual, yang terpenting bagaimana kita mengevaluasi setelahnya. Tak perlu menanyakan kejadian yang berlangsung, cukup kuatkan diri anak itu dan yakinkan kalau kita akan selalu berada di sisinya.
“Apa yang bisa ibu lakukan untukmu?’
“Apakah sakit? Apakah malu? Tak apa kalau mau menangis, ibu ada di sini.” (terima kondisinya, pahami perasannya dan susunlah perencanaan bersama di masa depan)
Bagaimana cara membatasi remaja dalam menggunakan ponsel?
Zaman sekarang, kita sulit lepas dengan ponsel. Semua kegiatan difokuskan di sana. Agar remaja dapat lebih bertanggungjawab dalam menggunakan ponsel, sebaiknya dibuat beberapa kebijakan ataukah kesepakatan di antara keduanya.
Misal kesepakatannya:
- Bebas pemakaian ponsel saat makan.
- Selama masih menggunakan uang orang tua dalam menghidupi ponsel, orang tua bisa meminta akses untuk sidak. Izin ke anak dulu tentunya.
- Kamar boleh dikunci ketika tidur dan ibu boleh masuk kamar dengan izin sebelumnya (mengantisipasi anak browsing atau melihat situs yang tidak diinginkan).
Tulis reward dan punishment. Setelahnya sempatkan untuk me time dengan anak, agar mereka dapat lebih leluasa berbicara dan kita tahu aktivitas mereka.