Toxic di Lingkungan Kerja, Hadapi atau Hindari?

Punya rekan kerja yang rese? Saya pernah. Tidak semuanya. Lebih tepatnya hanya segelintir orang. Jumlah sedikit, efeknya seperti parasit.

Punya atasan yang pilih kasih? Saya pun pernah. Mau melawan susah, berdiam diri malah menderita.

Pejuang di kantor Politeknik Furniture Kendal (dokumentasi pribadi)

Dunia kerja itu kejam. Banyak persaingan. Beragam intrik dan tipu daya ditampilkan demi kepentingan pribadi. Apalagi di masa sekarang ini. Corona menjadi pemicu akan kesenjangan dalam kehidupan. Yang miskin semakin miskin, orang kaya belum tentu merasakan miskin.

Bagi pejuang rupiah, awal masuk kerja, kita disuguhi beragam kriteria dan persyaratan. Gelar sarjana, nilai IPK, organisasi yang diikuti, dan juga pengalaman kerja menjadi prioritas. Melalui serangkaian seleksi dari lembaran kertas yang berisi ijazah, surat lamaran, hingga piagam dan juga surat keterangan baik dari kepolisian, kita bejuang untuk ikut seleksi tahapan selanjutnya, biasanya wawancara.

Dari satu kantor ke kantor lain. Dari departemen satu ke departemen lain. Semua dicoba. Entah swasta atau negeri semua dicicipi. Itu pun belum sepenuhnya mendapat jaminan diterima kerja.

Ketika sudah diterima, rasa bahagia dan syukur sampai ke hati. Itu tak berlangsung lama. Masih ada persaingan di masa magang hingga menjadi pekerja tetap. Bagi PNS pun demikian, walau tidak ada magang setidaknya ada posisi senior dan junior.

Ya, kalau mau jadi pegawai. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyandang status itu. Kita belum genap benapas dan menikmati gaji pertama, sudah disuguhi rutinitas harian. Proses adaptasi memaksa kita untuk terus bergerak. Belum lagi kalau lingkungan dan orang di sekeliing kita ternyata tak sesuai harapan.

  • Bos mendominasi tanpa mengayomi.
  • Teman sinis dan cemburu akan diri kita.
  • Rekan kerja tidak suka kalau kita lebih unggul.
  • Berkumpul lebih banyak untuk gibah.

Apa yang bisa kita lakukan? Mau keluar sayang, tak keluar pun pemikiran jadi ruwet, hati dan badan pun jadi mudah capek.

Inilah namanya toxic relationship di dunia kerja. Bukannya toksik itu hanya dalam istilah medis yang berarti dapat membuat keracuan. Tidak sepenuhnya benar. Hubungan pun bisa mengalami masa toxic. Terlebih kalau hubungan yang kita jalin membuat semakin tepuruk dan merasa tak berguna.

Manusia hidup bersosialisasi dan tak mampu hidup sendiri. Hubungan dengan orang lain pun menjadi suatu keharusan, agar kita dapat bahagia, saling belajar, saling memahami, dan berinteraksi demi kebaikan bersama. Sayanganya, tidak semua hubungan seperti itu. So, waspadalah pada orang yang menjerumuskan kita ke hubungan toxic, diantaranya:

  • Hobi mengomentari orang lain.
  • Kalau mood jelek, berbuat seenaknya. Orang jadi takut.
  • Agresif.
  • Tidak mau minta maaf dan disalahkan.
  • Tidak menghargai orang lain dan posesif.
  • Suka mengeluh.
  • Mudah down/ terpuruk.
  • Selalu membenci.
  • Terlalu banyak teori sedikit aksi.

Bagaimana? Sudahkah kita mengenal lingkungan beserta teman/ atasan kerja?

Bila hal di atas terjadi, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan, diantaranya:

Hindari terlibat dari drama kantor

Sebagai pegawai baru, kita perlu bermain aman. Sebisa mungkin menjauh di kala mereka membicarakan/ bergosip dan merundung pegawai lain. Di awal bekerja, fokuskan pada penyesuaian diri dengan lingkungan kerja.

Lebih baik lagi kalau kita menggali infomasi tentang semuanya dari beberapa pihak, tanpa melakukan diskriminasi. Apalagi kalau dalam lingkungan kerja terdapat dua atau lebih kubu yang tak bisa dikesampingkan.

Memangnya tidak boleh memilih sama sekali? Boleh saja, keputusan ini kembali kepada yang bersangkutan. Yang perlu diingat, segala pilihan itu ada konskuensi. Bayangkan saja ada dua skenario yang ada.

  1. Kalau kita memilih salah satu kubu, apakah kubu itu akan bertahan selamanya? Bagaimana nasib kita bila kubu itu terjatuh?
  2. Apakah kita yakin kubu yang dipilih itu benar? Ataukah kita lebih mementingkan keuntungan yang didapat.

Menjadi diri sendiri

Memiliki hidup dengn prinsip sendiri itu sulit. Pinsip hidup sejatinya menjadi pegangan kita untuk bisa bertahan dari pengaruh lingkungan. Ya, kalau pengaruh itu baik, bila sebaliknya?

Sebagai pegawai baru, kita perlu mengenalkan diri sendiri yang sesungguhnya, bukan hanya untuk terlihat baik. Sejatinya untuk menyamankan diri kita sendiri sebelum memikirkan kepentingan orang lain. Memang sulit, tetapi bukan mustahil untuk dilakukan.

Langkah awal untuk memulai semua ini dimulai dengan menumbuhkan rasa syukur akan semua yang ada dalam diri. Perasaan menerima ini membuat kita menjadi lebih tenang, tidak mudah terpengaruh orang lain. Inilah yang sejatinya membuat kita terus berkembang.

Seseorang yang mampu menemukan jati dirinya tidak akan berfokus pada penilaian orang lain. Ia lebih mementingkan bagaimana membangun komunikasi dalam lingkungan yang positif.

Aktif menciptakan lingkungan yang positif

Pembawaan seseorang yang bahagia dan supel memberikan dampak positif pada lingkungan. Suasana tercairkan dan dapat membangun komunikasi dua arah dengan rekan kerja.

Bagaimana kalau kita tidak memiliki sikap itu? Sopan adalah kunci utama. Menghormati yang lebih tua ataupun senior, beserta pekerja yang ada di dalamnya. Termasuk office boy, satpam, atau tukang parkir.

Bersikap rendah hati dalam menerima kritik dan saran akan membuat mereka peduli. Kita juga memberikan kesan khas tentang diri sendiri. Semisal selalu memberikan permen di pagi hari, mengucapkan salam ketika berpapasan, ataukah hanya sekadar senyum.

Dari ingkungan seperti inilah kita dapat berperan aktif untuk terus melakukan inovasi dan kreativitas tak terbatas. Dari kegiatan diskusi dan bertukar pikiran, kita akan menemukan kenyaman di tempat kerja.

Berani bilang TIDAK

Sebagai pegawai baru, kemampuan dan kekuasaan kita lebih kecil dibanding rekan kerja yang lain. Disinilah senioritas dipasang dan dijadikan pedoman. Baru berate tak jauh dari kaum lemah yang wajib dijadikan jongos.

Diminta ini, Siap.

Diminta itu, YES.

Setelahnya bisa dibayangkan apa yang akan terjadi?

Disinilah perlunya kita memberanikan diri untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Penolakan selain membuat kita terlihat memiliki kepercayaan diri, juga sebagai indikasi kalau kita berani.

Resign dari tempat kerja

Pilihan resign harus diputuskan secara matang. Kalau sudah berkeluarga perlu didiskusikan dengan pasangan. Sedangkan bagi yang belum diskusi dengan orang tua.

Bagaimana? Sudahkah keputusan diambil?

Kalau belum, yuk dipikirkan lagi. Apakah alasan kita keluar memang murni karena kita membutuhkannya, ataukah karena emosi sesaat. Di mana pun pasti ada konflik, ada orang yang tak selaras dengan jalan pikirn kita, ada orang yang selalu menginginkan kita menderita. Semuanya bergantung bagaimana kita bersikap.

Selain itu, pertimbangkan benefit dan kerugian yang ada. Apakah tabungan kita cukup untuk bertahan, ataukah ada pekerjaan lain yang mampu menggantikan pekerjaan kita sekarang.

Kalau masih tak mampu menahan diri lagi, sebaiknya susun dulu rencana sebelum surat pengunduran diri diberikan kepada atasan.

Mencari pekerjaan itu memang sulit, pun dengan mempertahankannya. Namun, kepentingan itu masih belum sebanding dengan kewarasan kita! Jadi, untuk menghindari semua ini, dari awa kita perlu memikirkan seluk beluk pekerjaan yang ada. Pun dengan risikonya.

Sanggup atau tidak? Kalau sanggup bertahan, kalau tidak ya mundurlah pelan-pelan untuk menyusun rencana dan maju lagi di lain waktu.

Bantul, 2 Juli 2021

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *